Erotika
Hidung dan Identitas
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA di Kompas Minggu
|
KOMPAS,
25 Maret
2018
Berstatus orang bule di
Indonesia, saya kerap menghabiskan waktu untuk menyangkal adanya perbedaan
yang berarti antara kultur dan ras. Saya berupaya untuk menyatukan impian
universalis Perancis, warisan Revolusi 1789 itu, dengan impian universalisme
khas Indonesia, di mana manusia sama-sama merupakan warga Tuhan (Pancasila 1945).
Akhir-akhir ini, ada
beberapa hal yang membuat saya mempertanyakan universalisme ini. Oh! Tenang
aja, saya tidak mau memperdebatkan keunggulan agama ini atau itu. Tidak! Saya
hanya mau membicarakan suatu hal di mana perbedaan mencolok justru karena tidak
pernah dibicarakan. Soal hidung.
Saya telah lama percaya
bahwa istri saya telah memilih saya karena semacam keunggulan intelektual
yang, pikir saya dengan bodoh, inheren pada diri saya. Arogan khas bule
Perancis! Akan tetapi, akhir-akhir ini, saya baru menyadari betapa saya
keliru. ”Waktu bertemu sama Jean,” ucap dia baru-baru ini, ”yang paling saya
sukai adalah hidungnya, mancung, dengan semacam belahan di ujungnya.”Jadi,
yang paling disukai ibu dosen pada penulis yang maunya kondang ini adalah bentuk
hidungnya!! Saya kaget, dan seketika, sembari hidung saya naikkan, arogansi
intelektual saya turun sederajat. Lalu, dia berbicara tentang orang berhidung
bagus yang pernah dia temui. Turun sederajat lagi. Namun, syukurlah, pikiran
saya masih normal. Dan dari pengalaman pribadi di atas ini muncul berbagai
pertimbangan.
Yang pertama menyangkut
erotika kepala. Di dalam konteks tradisional Indonesia, jangan coba menggigit
kuping orang yang disayangi. Reaksinya bisa garang. Jangan mengelus dahi dan
ubun- ubunnya—tempat di mana roh kehidupan masuk dan keluar; dianggap
menghina. Jangan juga mencoba berkecup-kecupan. Menjijikkan. Tinggal hidung.
Di situ, no problem, bebas. Digesek kanan-kiri, atas-bawah, boleh, tetapi
yang paling diminati adalah mengendus atau ”menciumi” hidung lawan jenisnya.
Jadi, tak ayal hidung adalah fokus dari erotika khas Nusantara. Dengan puncak
sublimasi tarian ”Tambulilingan” di Bali. Dan puncak lainnya entah apa lagi.
Dari erotika kepala ini
muncul pertanyaan yang, mau tidak mau, bersifat rasis. Mengapa orang bule
jarang mempraktikkan ciuman hidung: apakah karena gesekannya terhalangi
batang hidung yang memang terlampau menonjol? Bisa jadi: saya memang agak
sulit mengesek-gesek hidung istri. Maka, bukankah ada semacam kodrat alamiah
yang menyebabkan orang bule terpaksa mengalihkan fokus erotika dari hidung ke
mulut, seperti apa pun baunya? Tidak mustahil. Apalagi konon ciuman mulut itu
dibawa dari India ke Eropa (Yunani) oleh tentara Iskandar Agung pada abad
ke-4 SM; dan hidung orang India memang rada mancung, kan? Kenyataan ini telah
memunculkan pertanyaan susulan di kalangan cendekiawan terhormat seperti
saya: Sejauh mana segi kodrati hidung menjadi determinan sikap ras: apakah
memang ada dua kategori manusia, ras berhidung pesek di satu pihak, yang
secara alamiah cenderung mengendus, yaitu berciuman dengan hidung; dan ras
berhidung mancung di lain pihak, yang karena gesekannya terhalangi
kemancungannya, terpaksalah ia berkecupan. Menurut Mc Willis (2006: 201),
pembagian manusia berdasarkan bentuk hidung ini perlu mendapat perhatian dari
para ahli genetika dan semiotika. Lebih penting daripada warna kulit, karena
menentukan gairah dan reproduksi! Serius lho….
Sayangnya, dibantu
imperialisme Amerika, sebuah pasta gigi dan demam film Hollywood, kebiasaan
berkecupan tengah memukul mundur ciuman hidung asli Nusantara. Menurut
penelitian LSAN (Lembaga Survey Andal Nusantara), yang mengacu pada kategori
rasial Mc Willis di atas, tak kurang dari 67 persen warga metropolitan
Jakarta, yang 99 persen berhidung pesek, telah beralih ke pola berciuman ala
hidung mancung. Ini nyata lho!
Namun, nasib para hidung
pesek bukan tanpa harapan. Menurut Kumar Baba (2002: 8), abad ke-21 ini
adalah Abad Asia, yang akan disertai perubahan dari keseluruhan sistem nilai.
Memang ketika gesekan hidung aktor China akan se-erotis French kiss-nya ala
Marlon Brando, orang Jakarta pun tak ayal akan kembali ke jati diri berhidung
pesek, lengkap dengan endusannya. Lalu, yang akan menjadi fokus identitas
bukan lagi agama atau etnisitas, melainkan kepesekan hidung khas Nusantara.
Imperialisme kultural pada akhirnya akan lunglai.
Sementara itu, siapa tahu,
nun di kota-kota Eropa, atau bahkan di Indonesia, akan ada satu-dua bule
berhidung mancung, seperti saya, yang akan terus menggesek-gesek hidung istri
Nusantaranya karena tidak percaya pada perbedaan mutlak etnisitas, agama,
atau apa pun lainnya. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus