Di
Bawah Bayang-Bayang Perang Dagang
Rafli Zulfikar ; Center for International Studies and Trade
|
KORAN
SINDO, 13 Maret 2018
KEGADUHAN ekonomi global kembali mengemuka
setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor baja
sebesar 10% dan alumunium sebesar 25%. Tentu kebijakan tersebut akan memukul
Mexico dan Kanada. Selain impor baja dan alumunium, setidaknya selama awal
tahun ini Trump juga sudah mengoreksi kebijakan dagang AS yang mengalami
defisit seperti tekstil, solar panel, dan elektronik.
Penegasan proteksionisme Trump diucapkan
dalam pidato inaugurasi kepemimpinannya pada 20 Januari 2018 yang mengatakan,
"From this day forward, a new vision will govern... it's going to be
only America first, America first."
Sebenarnya kebijakan Trump cukup bisa
dipahami dalam hubungan internasional. Basis argumentasi Trump adalah zero
sum game di mana relasi perdagangan
asimetris sehingga ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
Dalam perspektif ilmu hubungan
internasional, pandangan zero sum
dilandasi asumsi dengan menganggap nature sistem internasional adalah anarki sehingga
kepentingan nasional adalah yang utama. John Mearsheimer dalam The Tragedy of
Great Power Politic menyatakan,
".... State face an uncertain situation in which any state might use
it’s power to harm another." Ketika AS mengalami defisit perdagangan
yang cukup besar yakni USD566 miliar,
secara alamiah negara ini mementingkan keselamatan dirinya sendiri (self-help
) melalui kebijakan proteksionisme. Itu merupakan jalan keluar yang logis.
Proteksionisme Trump merupakan kalkulasi
kepentingan nasional atas defisit yang diderita AS. Defisit paling besar dari
perdagangan dengan China sebesar USD375 miliar atau sekitar 66% dari total
defisit.
Sikap tersebut juga sangat logis ketika
approval rating Trump merupakan yang
terendah di antara seluruh presiden AS. Retorika kepentingan nasional melalui
"American First " sangat penting dan kebijakan menaikkan tarif
untuk membangkitkan atau minimal melindungi industri baja alumunium AS sangat
strategis.
Kebijakan Trump menaikkan tarif baja dan
alumunium dapat dibaca sebagai upaya untuk meningkatkan daya tawar AS untuk
dapat melakukan negosiasi ulang seluruh perdagangan internasional AS.
Perjanjian NAFTA mendapatkan pengecualian dari kebijakan tarif baja dan
alumunium setelah Kanada melakukan negosiasi.
Australia, Jepang, Korea Selatan, Brasil,
dan Uni Eropa sedang mengajukan pembicaraan ulang. Kondisi yang demikian
dapat dibaca sebagai strategi memperkuat aliansi dalam perang dagang,
sedangkan China berencana akan melakukan kebijakan balasan untuk merespons
kebijakan tarif baja dan alumunium Trump.
Kondisi yang demikian tentu tidak
menguntungkan baik bagi ekonomi global maupun ekonomi Indonesia. Bagi ekonomi
global, di tengah gejala tak menentu yang serbaambigu dan kompleks serta
kecenderungan global mengalami stagnasi sekuler (secular stagnation ), perang
dagang jelas bukan kabar baik bagi perbaikan ekonomi global.
Bagi Indonesia, kabar perang dagang meski
secara langsung tidak mempunyai pengaruh, tetapi itu membawa kekhawatiran
bahwa barang yang tidak lagi bisa masuk ke pasar AS akan membanjiri pasar di
negara-negara berkembang.
Di sisi lain, perang dagang juga akan
memengaruhi ekspor Indonesia di mana pasar ekspor Indonesia masih tetap
menggantungkan diri pada pasar tradisional yang sebagian besar merupakan
negara maju. Negara yang berpotensi perang dagang.
Merujuk riset Sulthon Sjahril Sabaruddin
dalam "Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia Mendesain Clustering Tujuan
Pasar Ekspor Indonesia: Pasar Tradisional vs Pasar Nontradisional"
(2017), pasar tradisional Indonesia selama lima tahun belakangan ini masih
berkutat pada Australia, China, Hong Kong, Jerman, Italia, Jepang, Korea
Selatan, Malaysia, Belanda, Filipina, Singapura, Inggris Raya, dan Amerika
Serikat.
Pasar yang potensial nontradisional seperti
India, Rusia, Thailand, dan Vietnam belum maksimal digarap Indonesia, apalagi
pasar Asia Selatan seperti Uni Emirat Arab, Pakistan, Brasil, Swiss, Kanada,
dan Swedia.
Ancaman perang dagang sebenarnya menjadi
warning bagi Indonesia agar "dont
put all your egg in one basket ". Menggantungkan pasar ekspor ke pasar
tradisional di bawah bayang-bayang perang dagang tentu sangat berisiko bagi
Indonesia. Apalagi, dengan kecenderungan gejala perang dagang sebagai upaya
konsolidasi kekuatan aliansi ekonomi global seperti kelonggaran kebijakan
tarif Trump untuk negara-negara aliansi dengan AS, maka Indonesia dengan
posisi politik bebas aktif tidak akan masuk dalam skenario "negara
pengecualian".
Memperkecil risiko dan berusaha mendapatkan
berkah dari perang dagang dapat ditempuh Indonesia dengan fokus pada
perluasan pasar. Diplomasi ekonomi Indonesia harus memiliki roadmap yang jelas. Tidak lagi seperti sekarang
perdagangan ke Trinidad and Tobago relatif besar, namun pasar Asia Selatan
yang mulai mencatatkan kinerja ekonomi relatif bagus justru tidak tergarap
secara serius.
Ketidaktahuan informasi dan strategi
antaraktor akan mendorong setiap aktor untuk berusaha secara rasional memilih
pilihan yang menguntungkan bagi dirinya seraya menebak apa pilihan dari aktor
lain. Pun demikian dalam perang dagang, negara akan berusaha memilih pilihan
rasional untuk kepentingan nasional. Indonesia tidak boleh tinggal diam,
butuh diplomasi ekonomi yang komprehensif
dan penuh perhitungan agar bisa survive dalam situasi global yang
serbakompleks dan ambigu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar