Celah
Obligasi Daerah
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi BNI Securities;
Staf Ahli Komite Ekonomi dan
Industri
|
KORAN
JAKARTA, 12 Maret 2018
Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 atau sepanjang
masa jabatan Presiden Joko Widodo, kebutuhan dana infrastruktur prioritas
ditaksir 4.796 triliun rupiah. Hanya, ternyata kemampuan pendanaan melalui
belanja negara dan daerah tak sampai separuhnya, hanya 41,3 persen atau 1.978
triliun rupiah. Itu pun baru sebatas hitung-hitungan di atas kertas.
Kenyataan
lainnya, dilihat dari realisasi tahun 2015 hingga perencanaan pendanaan tahun
2017, total dana infrastruktur baru sekitar 990 triliun. Memang masih ada dua
tahun tersisa untuk memenuhi. Tapi, tampaknya akan terasa sangat berat untuk
mengejar target tersisa hampir 1.000 triliun.
Di
sisi lain, kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tidak mampu
menutupi kekurangan tersebut. Perusahaan-perusahaan pelat merah diperkirakan
hanya bisa menyumbang 1.066 triliun (22,2 persen) dari total kebutuhan. Jadi,
mau tak mau, harapan besar pada swasta untuk menutupi kekurangan tersebut.
Dengan
kondisi itu, belakangan mulai banyak daerah mengeluh soal pembiayaan infrastruktur
di luar APBN dan APBD. Ini mengingat memang terdapat keterbatasan kapasitas
fiskal di banyak daerah. Calon-calon kepala daerah hendaknya mulai melirik
opsi-opsi pembiayaan yang mungkin. Jika tidak, kondisi akan tetap sama dan
lemparan wacana obligasi daerah akan tinggal kenangan.
Nah,
salah satu yang cukup menarik perhatian instrumen dana infrastruktur (dinfra)
dari OJK. Sampai kini, Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT) dan Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragunan Aset (KIK EBA) dua bentuk riil dinfra.
Dengan kata lain, dinfra muncul dalam rupa Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
OJK sudah mengeluarkan beleid sebelum komisioner berganti. Beleid yang
termuat dalam POJK Nomor 52/POJK 04/2017 terbilang strategis. OJK menyebut,
dinfra dirilis demi mendukung program pemerintah untuk membiayai kebutuhan
pembangunan infrastruktur jangka menengah.
RDPT,
misalnya, yang ditujukan ke sektor riil baik secara langsung maupun tidak.
Maka, karena instrumen seperti RDPT memiliki ruang bermain begitu luas
underlying RDPT bisa semakin fleksibel bergerak untuk mempercantik diri
sehingga makim menarik di mata pelaku pasar.
Sebut
saja, misalnya, RDPT Bandara Kertajati Majalengka, Jawa Barat. Dana yang
berhasil dihimpun sebesar 936 miliar untuk membangun fasilitas darat seperti
terminal penumpang dan tempat parkir. Skema investasinya, pembeli RDPT akan
menjadi salah satu pemegang saham (maksimum 49 persen) PT Bandar Udara
Internasional Jawa Barat.
Pilihan
Sementara
itu, selain RDPT, KIK Efek Beragunan Aset (KIK EBA) bisa juga menjadi pilihan
menarik. KIK EBA untuk infrastruktur, misalnya, dirilis PT Indonesia Power
Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya dan PT Jasa Marga Tbk (Persero).
Indonesia Power melakukan sekurititasi aset berupa piutang di PT PLN
(Persero) dengan nilai total 9,9 triliun. Dananya digunakan anak usaha PLN
untuk membangun beberapa pembangkit listrik.
Sedangkan,
Jasa Marga melakukan sekuritisasi terhadap jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi
(Jagorawi) senilai 2 triliun untuk membangun proyek jalan tol baru. Jasa
Marga melepas pendapatan tol selama lima tahun ke depan, sebagai gantinya
aset Jasa Marga bertambah.
Jasa
Marga berencana menambah enam ruas tol baru sepanjang 210 kilometer tahun
ini. Belanja modal untuk mendanai ekspansi tersebut mencapai 31 triliun.
Selain dari penerbitan KIK EBA, operator jalan tol terbesar di Indonesia itu
juga mengincar penerbitan surat utang global berdenominasi rupiah sebesar 200
juta-300 juta dollar AS.
Namun,
sama halnya dengan RDPT, selama ini KIK EBA lebih banyak digunakan untuk
kepentingan non infrastruktur, terutama perbankan. Bank BTN adalah yang
paling rajin memanfaatkan KIK EBA dengan melakukan sekuritisasi terhadap
tagihan KPR yang mereka miliki.
Lalu
bagaimana dengan potensi pasar? Potensi yang bisa dimanfaatkan untuk
pendanaan infrastruktur via instrumen ini cukup besar, asal produk yang
ditawarkan menarik. Sebut saja industri asuransi jiwa yang memang melakukan
investasi dalam jangka panjang. Saat ini total aset industri asuransi jiwa
sekitar 500 triliun rupiah. Yang sudah diinvestasikan sekitar 400 triliun
rupiah. Dari angka itu, baru 100 triliun rupiah masuk ke reksadana. Aasuransi
lebih banyak berinvestasi ke obligasi, saham, dan deposito.
Kondisi
serupa juga terjadi di industri keuangan nonbank lainnya. Para pemilik dana
seperti dana pensiun (DP) lebih senang menumpuk uang di deposito. Paling
banter dana dalam porsi besar ditempatkan di obligasi negara atau saham. Nah,
RDPT atau KIK BA memiliki opsi menarik yang tidak terdapat di produk lain.
Artinya, kedua instrumen ini seharusnya bisa memberi rasa nyaman dan jaminan
keamanan lebih buat untuk investor seperti asuransi jiwa dan DP.
Sebagai
perbandingan, selama ini proyek-proyek milik BUMN yang dibundel dalam RDPT
ternyata sukses menarik minat pemilik dana. Maka, dinfra diharapkan bisa
menjadi penambal kekurangan produk yang sudah lebih dulu ada. Manariknya
lagi, produk semacam dinfra bisa memberi fleksibilitas manajer investasi
(MI).
Sebut
saja dalam RDPT, MI wajib menempatkan dana antara 5 miliar dan 15 miliar
rupiah. Besarannya tergantung nilai dana kelolaan RDPT di MI tersebut. Dari
segi karakteristik proyek, produk anyar dinfra juga berpotensi memantik minat
investor. Sebab, pilihan yang tersedia memang beragam. Dinfra diwajibkan
berinvestasi minimal 51 persen di aset infrastruktur.
Di
antaranya yang mendukung program pembangunan atau penyediaan infrastruktur
pemerintah. Kedua instrumen ini sebenarnya bisa dipatut-patut oleh tim ahli
kepala daerah. Pemprov, kabupten atau kota, bisa melakukan komunikasi intens
dengan beberapa BUMN yang memiliki potensi untuk menggarap proyek
infrastruktur daerah. Kemudian menjajagi penerbitan RDPT atau KIK EBA.
Atau,
pula, daerah bisa berbicara tuntas dengan BUMD perbankan. Kemudian menjajagi
penerbitan Mid Term Note (MTN) atau KIK Efek Beragun Aset (KPR atau jenis
kredit yang prospektif) . Ini terutama yang mayoritasnya nanti untuk
pembiayaan project infrastruktur daerah yang bernilai strategis secara bisnis
dan untuk kemajuan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar