Cadar
dalam Demokrasi Pancasila
Nurainun Mangunsong ; Direktur Pusat Studi Syariah dan Konstitusi
UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
|
JAWA
POS, 14 Maret 2018
PADA
20 Februari 2018, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Yudian Wahyudi
mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/ AK.00.3/02/201 tentang
Pembinaan Mahasiswa Bercadar, yang sontak menimbulkan kontroversi. Namun,
pada 10 Maret 2018, rektor mencabut surat edaran tersebut.
Sebagian
masyarakat menilai surat edaran yang sebenarnya perihal pembinaan (bukan
larangan) itu diskriminatif dan melanggar HAM. Namun, bagi Rektor Yudian
sendiri, kebijakan tersebut sangat prinsipiil karena terkait eksistensi
sebuah keyakinan yang bertentangan dengan ideologi negara, yakni Pancasila
dan UUD 1945. Benarkah pembatasan penggunaan cadar di kampus melanggar
konstitusi dan HAM?
Demokrasi
Pancasila
Tujuan
bernegara Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka itu,
pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional secara
demokratis, desentralistis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi HAM (UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/SPN). Pendidikan demokratis
berarti pendidikan yang memberikan penghormatan atas harkat dan martabat
manusia.
Selama
rezim Orde Baru, pendidikan telah menjadi instrumen pembangunan dan
subordinasi kekuasaan. Alhasil, pendidikan sangat instrumentalis, birokratis,
dan tidak independen. Reformasi mengubah paradigma itu menjadi pendidikan
demokratis dan otonom.
Pertanyaannya,
pendidikan demokratis konstitusional itu yang seperti apa? Jika menilik pasal
2 UU SPN bahwa dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan UUD 1945,
pendidikan demokratis itu adalah penyelenggaraan pendidikan yang menempatkan
harkat dan martabat manusia dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945. Nilai
pendidikan demokrasi Pancasila tersebut meliputi nilai keagamaan
(keindonesiaan) yang toleran, damai, rukun, ramah, dan guyub; nilai
kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban; nilai persatuan dalam keragaman
budaya; nilai kebijaksanaan yang bersendi musyawarah; dan nilai persamaan
serta pemerataan sebagai wujud keadilan sosial.
Pancasila
merupakan grundnorm, sumber hukum tertinggi dalam pengambilan setiap
kebijakan pendidikan. Institusi pendidikan negeri khususnya harus mengacu
pada cita negara Pancasila sebagai cita bersama. Kesepakatan luhur itu harus
dipupuk dan dipelihara demi keutuhan NKRI.
Berdasar
cita dan nilai tersebut, surat edaran rektor UIN Sunan Kalijaga sesungguhnya
dapat dibenarkan. Ada dua sasaran yang dituju surat edaran itu. Pertama,
penggunaan cadar sebagai bagian dari atribut ideologis radikal. Kedua,
terkait dengan selubung cadar yang menutupi dan membatasi pola interaksi
serta keterbukaan dalam proses pembelajaran.
Selama
ini tidak sedikit dosen dan karyawan yang merasa sulit mengenali dan memahami
mahasiswi bercadar dalam interaksi dan komunikasi perkuliahan, ujian, serta
pelayanan administrasi. Umumnya mereka sangat pasif dan tertutup. Sementara
terkait paham radikal dan pengguna cadar yang terdampak, perlu ada kajian
yang lebih komprehensif. Sebab, paham radikal tidak hanya bisa menyusup
kepada mereka yang bercadar, tapi juga mahasiswa dan dosen laki-laki. Jika
penyisiran tersebut hanya pada kelompok bercadar, kebijakan itu dipandang
diskriminatif dan tidak akan menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya.
Di
beberapa perguruan tinggi Islam seperti Universitas Al Azhar Mesir, sejak
2009 penggunaan cadar juga dilarang. Larangan tersebut disebabkan cadar bukan
tradisi Islam, melainkan tradisi sebelum Islam. Karena itu, Mesir tidak
mensyariatkan cadar dalam institusi sekolah, rumah sakit, pengadilan, dan
pemerintahan.
Konstitusionalitas
HAM
Adapun
relevansi substantif pembatasan kebebasan bercadar dalam kampus sejalan
dengan visi HAM Indonesia yang partikularistis (cultural relativism). Pasal
28J UUD 1945 menegaskan pembatasan itu dengan alasan UU, moral, agama,
ketertiban umum, serta keseimbangan hak dan kewajiban dalam konteks
kenegaraan. Indikator lain terlihat pada Putusan MK No 065/PUU-II/2004 yang
tidak memberlakukan secara mutlak asas nonretroaktif (pasal 28I) terhadap UU
26/2000 tentang Pengadilan HAM dan Putusan MK No 140/PUU-VII/2009 yang juga
tidak memutlakkan pasal 28D, 28E, 28I, dan 29 ayat (2) pada UU 1/ PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam
konsiderannya, MK memandang penegakan HAM harus berada dalam bingkai keadilan
substantif dan keindonesiaan.
International
Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi dalam UU 39/1999
tentang HAM pun memungkinkan pembatasan HAM berkeyakinan (nonderogable
rights) itu dengan alasan darurat negara (misalnya ancaman terorisme), UU,
ketertiban publik, keselamatan publik, moral publik, dan keamanan publik.
Jika
merunut pada alasan dan tujuan penetapan surat edaran rektor itu, ada
keselamatan utama yang diperjuangkan. Yakni keselamatan negara, mahasiswa,
dan institusi UIN dari rongrongan ideologi radikal. Jika rektor ingin
mengevaluasi, kiranya tidak perlu mencabut. Tapi melakukan pola pembinaan
mahasiswi bercadar yang terus-menerus hingga muncul kesadaran Pancasila
sebagai ideologi negara dan beragama. Pembinaan cadar demi menyelamatkan
generasi bangsa bukanlah merupakan kebijakan yang diskriminatif dan melanggar
HAM, melainkan keadilan bagi kemanusiaan itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar