Bermula
dari Revolusi Mental
Idrus Marham ; Menteri Sosial RI
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Maret 2018
SUATU ketika, di hadapan
sejumlah 'santrinya', Li T’aiPo, sang penyair besar Tiongkok, yang hidup di
tahun 700-an Masehi, turun menelusuri lembah Sungai Yangtze. Di tepi
kejernihan sungai ini, penyair yang dikenal dengan ketajaman spontanitas dan
imajinasinya itu menghanyutkan sejumlah puisinya.
Para murid terperangah
sebab mereka tahu bahwa sang guru adalah penyimpan arsip yang baik. Lalu
mengapa tiba-tiba bisa begini? Ketika sang murid bertanya, Li dengan tenang
menjawab, “Ketahuilah bahwa memiliki berarti kehilangan." Ia lalu
ngeloyor menaiki lembah. Tinggal para murid melongo, menafsir-nafsir apa
makna kalimat sang guru tadi.
Tafsirnya tentu menjadi
sangat beragam. Namun, yang jelas, di kemudian hari, di hadapan sejumlah
muridnya, Li membuka tabir. Terkuak sudah mengapa ia rela menghanyutkan
goresan sajak-sajaknya. Rupanya, ia tidak mau 'kehilangan' motivasi saat
sudah 'memiliki' karya. Li tak merasa khawatir kehilangan beberapa karya
terbaiknya asal rasa kehilangan itu bisa mendongkrak motivasinya untuk
berkarya lebih baik lagi. Di sini ia seperti sedang menabuh genderang, menabuh
motivasi diri untuk target-target kreatifnya.
Kalau karya-karya
terbaikku hanya akan membelenggu gairahku untuk terus berkarya, lalu buat apa
aku menghasilkan satu-dua karya terbaik. Begitu kira-kira wasiat umum Li di
depan 'santrinya'. Tentu, bukan tanpa alasan kalau penyair ini begitu takut
kehilangan motivasi. Ia mafhum betul bahwa tanpa motivasi manusia sebenarnya
bukanlah 'khalifah'. Tanpa motivasi, kehidupan bisa tanpa juntrungan. Mungkin, dalam kesehariannya, Li kerap
melihat bagaimana merananya mereka yang lalai membangun motivasi diri. Hidup
bak layang-layang.
Motivasi
diri
Kisah di atas, sebenarnya
hanya pesan agar jangan pernah meremehkan soal motivasi diri karena risikonya
bisa menyumbat etos dan nasib hidup. Kita harus berani membangkitkan motivasi
sebagai ikhtiar sekaligus kebutuhan terus-menerus. Dengan kesadaran
motivatif, prestasi bisa berinkubasi menjadi energi asasi dalam diri. Maka
wajarlah jika seorang Lie begitu gusar ketika motivasinya mulai temaram.
David Mac Clelland, guru besar
psikologi dari Harvard, menggandengkan kesadaran bermotivasi ini dengan
berprestasi. Ia memformulasikan pemikiran tentang perlunya memotivasi diri
untuk berprestasi--need for Achievement. Kebutuhan berprestasi ia pastikan
sebagai salah satu pintu perubahan sosial ke arah yang lebih positif.
Bermaslahat.Dalam pandangan David Mc Clelland, orang yang punya hasrat kuat
kebutuhan untuk berprestasi pasti akan bekerja lebih baik, lebih gigih. Punya
target, dan lebih bermasa depan. Maka dari itu, kalau ingin mendorong
masyarakat maju, 'virus' need for achievement, kata David Mc Clleland, mesti
disuburkan, disebarkan. "Diinkubasikan!" Dorong semua orang agar
rasa butuh berprestasinya tadi bersemayam dan menetas di dalam dirinya. Sadar
motivasi! Saya pun sepakat dengan pikiran ini.
Seperti yang dilakukan Li
T’ai Po, meski karyanya sudah kesohor ke mana-mana, ia tanpa lelah bergeliat
terus membangkitkan motivasi dirinya. Ia percaya, jika motivasi menyala,
karya akan terus bersinar. Li pun percaya bahwa nyala motivasi itu bukan
sekadar lampu pijar biasa, melainkan sebuah energi hidup, pelita kreatif.
Tidak mengherankan jika
sampai akhir hayatnya Li membuktikan dirinya tidak kepadaman motivasi.
Puisi-puisi penyair Tiongkok yang terkenal di masa dinasti Tang ini terus
produktif. Kini hampir seribuan karyanya tersimpan di Eropa dan penjurunya.
Sebagian telah diterjemahkan.
Kekuatan
energi mental
Dari persektif sejarah
yang berbeda, Thariq bin Ziyad, seorang panglima perang, pernah menorehkan
sejarah motivasi yang legendaris. Itu terjadi tatkala Thariq bin Ziyad
bersama 7.000 tentaranya menyeberang ke daratan Spanyol. Di sana Thariq
menerima laporan 'intelijen' yang mengatakan bahwa 100 ribu pasukan sudah
dipersiapkan Raja Roderic, raja lalim yang berasal dari bangsa Visigoth,
untuk menghadangnya.
Dilema. Jika balik pulang,
panglima gagah berani ini akan dicatat sebagai pecundang sepanjang masa.
Pengecut! Tapi maju perang dengan kekuatan tak seimbang, konyol juga! Dalam keadaan seperti inilah, Thariq
mengambil langkah mencengangkan. Tiba-tiba, ia memerintahkan sejumlah anak
buahnya membakar semua perahu yang mengangkut pasukannya. Lalu ia
berkobar-kobar pidato. "Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang
kalian! Musuh di hadapan kalian. Kekuatan keduanya sama besar."
Pilihan mundur dan maju
sama beratnya! Karena itu, lebih baik, singkirkan sifat takut, ganti dengan
sikap terhormat. "Perang atau mati!” Seusai dimotivasi, pasukkan Thariq
berlari bak air bah yang mengejar seratusan ribu lawan. Dilumpuhkan. Mirip dengan
pasukan pejuang kemerdekaan kita yang menaklukkan senjata penjajah dengan
bambu runcing, persis setelah tekad 'merdeka atau mati' digelegarkan.
Memang, tak seorang pun
menafikan dahsyatnya kekuatan energi mental. Meski energi mental tak
kelihatan wujudnya, power-nya tak pernah tertandingi. Dahsyat. Maka terasa
tepat dan realistis sekali jika di zaman seperti sekarang ini, Presiden
Jokowi memberi perhatian khusus pada gerakan Revolusi Mental. Saat bangsa ini
harus dibangkitkan, beliau realistis! Dan paham bagaimana cara membangkitkan
power bangsa ini supaya melesat, berdaya saing, dan berprestasi, setara
dengan bangsa besar.
Secara teori, apa sih
kurangnya Indonesia? Jika sampai hari ini kita masih tersendat di kategori
negara berkembang, ini bukanlah suratan takdir. Ini hanya sebuah pekerjaan
rumah yang belum selesai. Hanya PR. Maka, urusannya terpulang pada bagaimana
kesungguhan kita menyelesaikannya. Dalam perspektif inilah, urgensi gerakan
Revolusi Mental terletak. Mari bangkit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar