Berdamai
dengan Taliban?
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Analis Pemikiran dan Politik
Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
|
DETIKNEWS,
01 Maret
2018
Presiden Afghanistan,
Ashraf Ghani, berencana mengambil langkah besar untuk memulai lembaran baru
dalam lanskap politik di negaranya, yaitu berdamai dengan Taliban.
Langkah tersebut mendapat
perhatian dunia, karena Afghanistan saat ini dianggap sebagai salah satu
negara yang paling tidak aman akibat banyaknya aksi bom bunuh diri, konflik,
perang, dan berbagai macam kekerasan lainnya. Pada 2017, PBB mencatat
setidaknya ada sekitar 10.000 warga korban konflik di Afghanistan: 7,015
orang di antaranya luka-luka dan 3,438 orang tewas. Perempuan dan anak-anak
termasuk korban dari konflik tersebut.
Afghanistan sedang berada
di persimpangan, akan menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara-negara
Asia lainnya atau justru sebaliknya terus terpuruk dalam kubangan konflik
yang berkepanjangan.
Proposal damai yang
ditawarkan oleh Presiden Ashraf Ghani merupakan sebuah terobosan penting
dalam rangka mengakhiri konflik dengan Taliban. Pasalnya Taliban selama ini
dianggap sebagai musuh negara, pemberontak, bahkan teroris.
Proposal yang ditawarkan
Ashraf Ghani akan mengubah citra buruk yang selama ini disandang oleh
Taliban, termasuk di dalamnya gencatan senjata dan pembebasan para tahanan
politik. Taliban akan diakui sebagai organisasi yang mempunyai legitimasi
politik. Karena itu diperlukan sebuah pembicaraan yang serius dan proses
perdamaian yang terbuka di antara kedua belah pihak.
Dari proposal tersebut,
Presiden Ahraf Ghani berharap Taliban juga mengakui pemerintah yang sah dan
menghargai hukum yang berlaku di Afghanistan. Intinya, Taliban harus
bersama-sama kelompok yang lain turut serta membangun Afghanistan dari
puing-puing kehancuran akibat konflik yang berkepanjangan. Pertanyaannya,
mungkinkan proposal damai dengan Taliban ini terwujud?
Tidak ada yang tidak
mungkin dicapai jika semua pihak mempunyai itikad baik untuk mengedepankan
kepentingan bersama daripada kepentingan kelompok. Setelah lama terlibat
dalam kubangan konflik, maka saatnya kembali ke meja perundingan untuk
mewujudkan perdamaian.
Apalagi sekarang India dan
Pakistan memberikan dukungan politik dan ekonomi kepada Afghanistan. Minggu
lalu, Afghanistan baru membuka pipa gas ke Tukmenistan, Pakistan, dan India
senilai USD 10 Miliar dollar Amerika Serikat. Konon, Taliban akan mendapatkan
fee dari traksaksi bisnis tersebut.
Hal tersebut membuktikan,
bahwa negara-negara yang berbatasan langsung dengan Afghanistan juga
mempunyai kepentingan yang sama, yaitu stabilitas politik yang akan mendukung
sepenuhnya stabilitas ekonomi.
Namun yang menjadi
hambatan besar dalam konteks perdamaian dengan Taliban adalah Amerika
Serikat. Jantung konflik sebenarnya bukan pemerintah Afghanistan dengan
Taliban, melainkan Amerika Serikat dengan Taliban. Sejak 2001, AS dan NATO
melakukan serangan ke kantong-kantong Taliban. Tragedi runtuhnya Menara
Kembar World Trade Center di New York telah menjadikan Taliban sebagai musuh
utama AS dan sekutunya. Taliban ditengarai sebagai aktor di balik aksi
terorisme yang sangat mematikan itu.
Sebagai balasannya, AS dan
sekutunya mengirimkan pasukan militer dalam jumlah yang sangat besar untuk
menggempur Taliban. Namun operasi militer yang dilakukan AS tidak menjadikan
Taliban semakin lemah, melainkan justru semakin kuat dan eksis melakukan aksi
bom bunuh diri dan serangan terhadap tentara AS dan sekutunya.
Taliban tidak hanya
menganggap AS sebagai musuh utama, melainkan pemerintah Afghanistan yang
selama ini mendukung AS. Karena itu, bagi Taliban menentang pemerintah
Afghanistan sama halnya menentang AS, karena mereka berada dalam satu
persekongkolan.
Kondisi objektif politik
dan ekonom dalam negeri AS yang semakin terpuruk membuat Taliban semakin
leluasa melakukan konsolidasi, karena Obama mengambi kebijakan untuk menarik
sebagian besar militernya dari Afghanistan. Faktanya, Taliban sejak itu
justru semakin kuat melakukan konsolidasi internal dan semakin mudah
melancarkan aksi bom bunuh diri dan serangan mematikan. Sementara Presiden
Donald Trump tidak mempunyai strategi yang jelas dalam menghadapi Taliban.
Saat ini belum ada sikap
resmi dari AS terkait proposal damai dengan Taliban. Padahal inti masalahnya
adalah perseteruan antara Taliban dengan AS. Sepertinya AS akan sangat berat
berdamai dengan Taliban, karena Donald Trump akan berada di balik kubu
konservatif yang selama ini mempunyai doktrin perang dengan pihak-pihak yang
dianggap sebagai musuh. Kabarnya Trump akan mengirimkan militer tambahan ke
Afghanistan untuk menggempur Taliban.
Maka dari itu, Presiden
Ashraf Ghani tidak bisa berdiri sendiri dalam mewujudkan perdamaian dengan
Taliban. Dari pihak Taliban pun sudah memberikan syarat, bahwa perdamaian
hanya bisa dilakukan dengan pihak AS yang selama ini telah melakukan operasi
militer ke kantong-kantong mereka.
Bagi Taliban, perdamaian
dengan pemerintah Afghanistan lebih mudah, karena mereka dapat menjadikan
kepentingan dalam negeri sebagai pijakan bersama. Namun perdamaian dengan AS
pasti akan lebih rumit karena terkait dengan pangkalan militer AS di
Afghanistan. Jika mereka masih berada di sana dalam jumlah yang besar, maka
perdamaian akan jauh api dari panggangnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla
sedang berada di Afghanistan untuk membantu proses perdamaian di antara
berbagai suku, termasuk dengan suku Pashtun yang merupakan basis kekuatan
Taliban selama ini. Kehadiran Jusuf Kalla dapat menjadi oase bagi Afghanistan
dalam rangka menindaklanjuti kunjungan Presiden Jokowi beberapa minggu lalu.
Itu maknanya, Indonesia
dapat menjadi inspirasi bagi Afghanistan dalam merajut kebhinnekaan sebagai
kekuatan utama membangun solidaritas kebangsaan. Namun yang paling berat
dalam mewujudkan perdamaian adalah faktor-faktor geopolitik dan eksternal
yang sedang bermain di Afghanistan. Maka dari itu, diperlukan diplomasi yang
serius khususnya dengan AS untuk mendorong sepenuhnya perdamaian di
Afghanistan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar