Senin, 12 Maret 2018

Bercadar di Kampus

Bercadar di Kampus
Sudjito Atmoredjo  ;   Guru Besar Ilmu Hukum UGM
                                                  KORAN SINDO, 08 Maret 2018



                                                           
Tiada maksud memihak sia­pa pun dalam urusan ber­cadar. Sejujurnya, kita prihatin atas munculnya kem­bali isu bercadar. Terlebih, isu ini berasal dari salah satu uni­versitas negeri Islam ter­na­ma di Yogyakarta. Isu sedemi­ki­an seksi dan sensitif ini telah ber­kembang luas. Disadari atau tidak, isu ini telah mencoreng mu­ka umat Islam sendiri. Ma­sa­lah­nya bisa menjadi genting, apa­bila kebijakan larangan ber­ca­dar itu merembet ke per­gu­ru­an tinggi lain. Isu yang bersifat lo­kal-universitas bisa berkem­bang menjadi isu nasional. Ini sa­ngat tidak sehat dan perlu se­ge­ra diredam.

Berbagi pemikiran tentang ber­cadar merupakan cara bagus me­mahami isu yang tergolong "abu-abu" atau multitafsir ini. Dengan cara demikian diha­rap­kan ada feedback dan titik temu atas berbagai pemikiran yang berbeda-beda. Secara di­alek­ti­ka, ketika ada tesis bahwa ber­ca­dar di kampus itu salah dan ka­re­nanya dilarang, maka di­pa­s­ti­kan ada antitesis bahwa ber­ca­dar di kampus itu boleh, bahkan wa­jib hukumnya. Ketika tesis dihadapkan dengan antitesis, ti­­dak semestinya berlanjut men­ja­di konfrontasi dan pe­ni­hil­an satu pihak atas pihak lain­nya. Perlu sikap bijak, int­e­lek­tual-akademik, dan ber­wa­wa­san sosial-kebangsaan agar didapatkan sintesis yang diterima ber­sama. Kehidupan sosial-ke­bang­saan akan menjadi nya­man ketika proses dialektika te­lah membudaya.

Cadar adalah kain penutup ­wa­jah muslimah sebagai ke­sa­tu­an dari jilbab (hijab). Bercadar ada­l­ah cara berpakaian untuk menutupi aurat. Di dalam Islam ti­d­ak ada mazhab mana pun meng­haramkan muslimah ber­ca­dar. Menutup aurat itu hu­kum­nya wajib. Aurat per­em­pu­an adalah seluruh anggota b­a­dan, kecuali muka dan kedua ­te­la­pak tangan. Aurat itu wajib di­tu­tup, disembunyikan, dan ha­ram orang bukan mahram m­e­li­hatnya. Inilah substansi yang per­lu dipahami.

Dalam konteks bercadar di ruang sosial-kebangsaan (mi­sal: di kampus), sangat mung­kin muncul riak-riak sebagai implikasinya. Riak-riak itu bisa po­si­tif. Misal, diterimanya banyak pi­hak sehingga bercadar mem­bu­daya. Akan tetapi, riak-riak itu bisa pula negatif, antara lain mun­culnya sikap sinis, curiga, ba­h­kan dituduh sebagai bibit ra­dikalisme. Sudah tentu amat berbahaya bila riak-riak itu s­e­ba­­gai isu pinggiran dibiarkan be­r­kembang liar, liberal, tanpa ada upaya pengendalian diri, dan tanpa ada upaya memi­ni­­ma­lisasi agar ke­nya­man­an ke­hi­dup­an so­sial-kebangsaan tak ternodai.

Bercadar itu sehat dan in­dah. Sehat da­lam keutuhannya men­­­c­akup: sehat ro­ha­­ni, jas­ma­ni, dan so­­sial. Perempuan ber­­c­a­dar dapat di­ka­ta­kan se­hat ro­ha­ni bila d­i­la­kukan atas dasar ke­iman­­an, pengamalan ajar­an aga­ma Islam, ser­ta sebagai ben­tuk kepatuhan pada Allah SWT dan rasul-Nya. Be­r­cadar di­la­ku­kan de­ngan niat dan ke­sa­daran se­mata-ma­ta demi ridha Allah SWT. Bercadar de­mikian men­jadi in­dah karena m­e­ru­pa­kan pancaran indahnya ke­iman­an da­lam hati nurani. Ke­tika hati nurani sehat, maka si­kap, pe­ri­la­ku, dan amalan apa­ pun akan se­hat dan indah.

Berbeda halnya bila bercadar de­ngan niat lain. Misal, untuk me­nunjukkan identitas diri se­ba­gai penganut mazhab, go­long­­an, dan kelompok tertentu. Se­i­ring dengan itu, kemudian ber­sikap eksklusif. Apalagi me­no­lak pergaulan dengan ma­nu­sia lain. Bercadar dengan mo­ti­va­si demikian, tergolong sesat, ti­dak sehat, berpenyakit, dan meng­ganggu lingkungan.

Dimensi sosial-kebangsaan amat penting diperhatikan da­lam bercadar. Sebagai makhluk sos­ial, setiap muslim-mus­li­mah harus dapat ajur-ajer, tepa-salira, empan-papan, dan mam­pu berinteraksi dengan ling­kung­an sosialnya secara luwes. Bang­sa Indonesia amat ma­je­muk dalam soal sosial-ke­aga­ma­­an. Niat baik bercadar tidak me­s­ti dapat dipahami sebagai ke­baikan semua pihak. Dalam ke­terbatasan ilmu dan w­a­wa­san, ada penguasa, tokoh aga­ma, anggota masyarakat yang su­­udzon, termakan isu-isu ping­­gir­an, terjebak riak-riak pe­­ma­kai­an cadar, dan lalai te­r­ha­dap substansinya.

Gara-gara isu larangan ber­ca­­dar, masyarakat luas kini se­akan terperangkap di dalam se­­buah “turbulensi religius”, yak­­ni kesimpangsiuran p­e­ma­ha­m­an tentang ajaran ber­ca­dar. Be­nar atau salah perihal ber­cadar, di­aduk-aduk, diseret ke­ sana-kemari, dan tiada jelas mu­­a­ra­nya. Turbulensi religius mu­ncul ke­tika agama di­hi­lang­kan nilai-ni­lai kesakralan­nya. Dogma-dogma agama di­ang­gap tidak ada lagi. Semua orang boleh tam­pil sebagai "ah­li agama". Dalam konteks so­sial-k­e­bang­sa­an, agama ditempatkan di ko­ri­dor se­ku­le­ris­me. Mereka in­ter­ven­si, men­dekonstruksi, bah­kan mem­permainkan dalil-dalil aga­­ma untuk kepentingan-ke­pen­­tingan duniawi semata. Per­mainan-permainan politik de­­ngan objek-objek institusi aga­­­ma–seperti cadar–dilakukan sedemikian intens melalui pendayagunaan media. Media main­stream (televisi, koran, ra­d­io), maupun media sosial (Whats­App, FaceBook, Twit­ter, dan lainnya) menjadi alat-alat per­mainan canggih untuk me­­mo­rak-porandakan sta­bi­li­tas ma­syarakat penggunanya. 

Dalam kondisi demikian, pen­­ting diingat pernyataan JF Lyo­­tard dalam Just Game (1990) bahwa keputusan apa­ pun yang dikenakan pada perem­­puan bercadar akan di­konta­­­minasikan oleh kepentingan po­­litik. Bercadar di kampus di­­bolehkan ataukah di­la­rang me­r­u­pakan sikap po­li­tik, bukan si­kap kea­gam­a­an. Karenanya, s­i­kap sabar dan tawakal pada umat Is­lam perlu diperluas de­ngan p­e­mahaman tentang tur­bu­lensi religius dan per­main­an-pe­r­mainan politik itu.

Sungguh bagus bila pe­ngua­­sa, tokoh agama, ma­u­pun pe­rem­puan bercadar m­a­m­pu men­jauhkan diri dari sikap aro­gan ataupun an­­tagonis. Kede­pan­kan s­i­kap intelektual-aka­de­mis, re­ligius, dan ber­wa­wa­san so­sial-kebangsaan. Jangan sok Islami, jangan sok mo­de­rat, dan jangan sok berkuasa. Kem­­ba­lilah ke tuntunan Islam se­ca­­ra kaffah.

Isu dan polemik bercadar se­be­narnya sudah basi. Tak perlu di­angkat lagi. Islam adalah aga­ma rahmatan lilalamin. Dari padanya terpancar kesejukan, ca­h­­aya cerah, dan keindahan bagi se­mua pihak. Polemik bercadar akan lenyap ketika umat Islam se­hat dan cerdas dalam ber­in­ter­aksi di ruang sosial-ke­bang­sa­an. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar