Anomali
Pasar Beras
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Kelompok Kerja Dewan
Ketahanan Pangan (2010-sekarang)
|
KOMPAS,
22 Maret
2018
Presiden Jokowi meminta para pembantunya mencari cara
untuk menurunkan harga beras sebelum Ramadhan. Jika tidak ada perubahan,
Ramadhan akan berlangsung 15 Mei – 14 Juni 2018. Itu artinya sekitar dua
bulan lagi Ramadhan akan dijelang. Permintaan Presiden wajar. Meski ada
kecenderungan menurun, saat ini harga beras masih tinggi.
Menurut laman Kementerian Perdagangan, 11 Maret 2018,
harga beras medium Rp 10.814/kilogram (kg), lebih tinggi dari harga eceran
tertinggi (HET) sebesar Rp9.450/kg. Jika harga tak turun, seperti tahun-tahun
lalu, harga beras akan melonjak tinggi saat Ramadhan. Inflasi pun meroket.
Pertanyaannya, mengapa harga beras bertahan di level
tinggi? Bukankah saat ini memasuki masa panen, bahkan oleh Kementerian
Pertanian, diyakini sudah panen raya? Apakah ada kebijakan yang salah?
Bukankah pasar beras selama puluhan tahun telah memberikan pelajaran penting
bagi pembuat kebijakan untuk merakit beleid yang andal?
Sudah puluhan tahun merdeka, mengapa masalah seperti ini
selalu terjadi? Aneka pertanyaan ini harus dicarikan jawaban agar kejadian
serupa tidak berulang.
Titik kritis cadangan
Dari pengalaman berpuluh-puluh tahun diketahui titik
kritis cadangan beras akan terjadi tiap 31 Desember. Cadangan beras
setidaknya harus cukup untuk memenuhi tiga bulan (Desember-Februari)
konsumsi, baik langsung maupun tak langsung atau sekitar 9 juta ton.
Ini terkait dengan irama tanam serentak yang menghasilkan
panen yang ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari
total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total
produksi) dan musim paceklik (Oktober-Januari).
Menjadi masalah karena cadangan beras saat 31 Desember
2017 cukup rendah: di bawah 1 juta ton. Ini bisa dilihat dari stok awal Bulog
tahun 2018 yang hanya tersisa 700.000-800.000 ribu ton beras. Ini merupakan
jumlah yang amat kecil dibandingkan dengan stok awal selama satu dekade
terakhir yang berkisar 1,3 juta-1,5 juta ton.
Stok yang amat kecil ini membuat pasar beras mudah sekali
memanas. Bukan saja pemerintah tak memiliki instrumen memadai, tetapi jumlah
beras juga tak cukup untuk mengoreksi kegagalan pasar. Pelaku pasar dominan
tiap saat bisa berspekulasi untuk dapat keuntungan besar.
Dalam kondisi demikian, pasokan gabah/beras ke pasar
mundur dari kebiasaan. Anomali iklim/cuaca membuat musim tanam dan panen
mundur, dari Februari menjadi Maret. Gabah/beras hasil panen Maret baru
mengisi sebagian pipa (pipeline) distribusi yang terkuras, baik karena musim
paceklik maupun akibat kebijakan baru.
Kebijakan baru HET yang berlaku sejak September 2017
membuat risiko usaha kian tinggi, insentif menurun, dan menciptakan
ketidakpastian baru. Pada saat yang sama, langkah agresif Satgas Pangan telah
merusak pasar, menciptakan ketakutan, dan trauma berkepanjangan.
Karena pasar jauh dari jenuh, terjadi perebutan gabah oleh
pelaku pasar. Panen di satu wilayah akan diperebutkan, termasuk oleh pembeli
dari luar wilayah, hingga terjadi fenomena “gabah wisata”. Dalam kondisi
seperti ini, pemerintah membuat kebijakan blunder: memberikan fleksibilitas
pembelian gabah/beras sebesar 20 persen kepada Bulog, naik dari tahun lalu
yang hanya 10 persen.
Artinya Bulog bisa membeli gabah kering panen (GKP) dan
beras 20 persen di atas harga pembelian pemerintah (HPP) seperti diatur
Inpres No 5 Tahun 2015: Rp 4.440/kg GKP dan beras Rp 8.850/kg beras. Bagi
dunia usaha, fleksibilitas ini sinyal untuk menyesuaikan harga. Harga
gabah/beras pasti di atas tingkat fleksibilitas.
Fleksibilitas diberikan agar penyerapan beras Bulog
optimal. Tahun lalu Bulog hanya mampu menyerap 2,1 juta ton atau 56 persen
dari target 3,74 juta ton beras. Ini bukan kali pertama Bulog gagal mencapai
target. Tahun 2016, Bulog menyerap 2,97 juta ton beras atau 76 persen dari
target, dan pada 2015 menyerap 2,7 juta ton beras atau 82,3 persen dari
target. Hingga minggu kedua Maret 2018, harga gabah masih tinggi: Rp 4.700/kg
GKP.
Jika harga bertahan tinggi, pengadaan beras Bulog akan
seret. Padahal, musim panen adalah waktu terbaik Bulog menyerap gabah/beras.
Masalahnya saat Bulog agresif masuk ke pasar membuat perebutan gabah/beras
kian sengit. Harga pun terpantik menjadi tinggi.
Memang per 28 Februari 2018 pasar domestik diisi oleh
beras impor sebanyak 261.000 ton. Namun, berita impor beras maupun
kedatangannya tidak signifikan memengaruhi harga karena selain volumenya
kecil, beras impor itu langsung masuk ke gudang-gudang Bulog. Bukan mengisi
pasar. Dalam kondisi demikian, para pembantu Presiden Jokowi lalai dalam
menyalurkan bantuan sosial beras sejahtera (bansos Rastra).
Bansos Rastra yang mestinya mengucur sejak Januari 2018
baru disalurkan minggu kedua Maret. Sengaja atau tidak, kelalaian ini
memperburuk keadaan yang sudah buruk. Dugaan saya, kelalaian ini bukan
kesengajaan, tapi karena ada masalah teknis penyaluran. Seperti diketahui,
sejak 2017 pemerintah menginisiasi perubahan mekanisme penyaluran
Raskin/Rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).
Jika pada 2017 hanya menjangkau 1,286 juta kelompok
penerima manfaat (KPM), pada 2018 diperluas bertahap. Skemanya: Februari
menjangkau 3,947 juta KPM, dan Maret 7,291 juta KPM. Jumlah total KPM sama
dengan rumah tangga sasaran Raskin: 15,498 juta rumah tangga. KPM yang belum
terjangkau oleh BPNT tidak lagi terima Rastra, tetapi bansos Rastra.
Tak belajar dari sejarah
Dalam mekanisme baru ini bukan lagi Bulog yang menerima
subsidi dan mengantarkan Raskin/Rastra kepada masyarakat, melainkan
pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan Rp 110.000/bulan ke
rekening KPM berkartu debit. Uang
hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti beras, gula dan telur
di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Di pengecer ada
beraneka ragam beras, dengan harga beragam pula.
Warga miskin/rentan bisa memilih sendiri, baik harga,
kualitas maupun jumlahnya. Jika uang dalam voucer tidak habis, sisa uang
menjadi tabungan.
Karena bansos Rastra terlambat dibagikan, agar tetap bisa
makan, para KPM berburu beras ke pasar. Jika dikalkulasi setara beras,
bantuan yang terlambat dibagikan pada rentang Januari-Maret itu sekitar 0,5
juta ton. Perburuan KPM ke pasar membuat harga beras menjadi tertekan ke
atas.
Akhirnya, semua rangkaian uraian ini menuju pada satu
titik: logis dan masuk akan harga beras bertahan tinggi saat panen. Ini
terjadi selain karena kita tidak belajar dari sejarah puluhan tahun
perberasan, juga karena kebijakan yang blunder dan salah.
Kalau kemudian pasar beras terjadi anomali di sana-sini,
seperti impor dan operasi pasar saat panen (raya), adalah keniscayaan.
Anomali ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Agar ini tak berulang, pemerintah perlu menimbang ulang
beberapa hal. Pertama, perlukah pemerintah mengatur HET beras secara kaku
sepanjang tahun? Kedua, perlukah pemerintah menggiring tujuan kebijakan beras
nasional untuk menurunkan inflasi pangan sebagai tujuan sentral?
Ketiga, perlukan Satgas Pangan masuk secara agresif ke
pasar? Keempat, haruskah Rastra diubah jadi BPNT dan bansos Rastra dengan
menggembosi peran Bulog? Untuk menjawab ini perlu kajian dan riset yang
komprehensif. Kalau pasar beras dipahami keliru, keliru pula resep untuk
mengobatinya, seperti yang terjadi saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar