Tidak
Cukup Seorang Buya Ahmad Syafii Maarif
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset dan Tim
Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan
toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
16 Februari
2018
Yogyakarta
adalah juga Jalan Kaliurang yang masih lengang di subuh hari. Ia jadi saksi
jamaah muslim selepas salat yang berpapasan dengan para suster biarawati yang
berangkat ke seminari tinggi St. Paulus mengayuh sepeda atau berjalan kaki
bersama-sama. Di Yogya, Alm. Gus Dur bersahabat dengan Alm. Romo Mangun,
menjadi juru selamat tak hanya di kota ini, tapi untuk semua yang dilukai.
Pagi
ketika tersiar kabar penyerangan di Gereja St. Lidwina pada Minggu (11/2)
adalah pagi pengecualian yang begitu kelabu. Teman-teman dari Jaringan
Gusdurian saling bertukar informasi via aplikasi pesan instan.
"Sedih
sekali. Kita kecolongan, justru di rumah sendiri."
Pesan
dari Rifqi Fairuz, salah satu pegiat jaringan sangat dimaklumi. Belum ada
satu pekan acara puncak Haul Sewindu Gus Dur digelar di Yogyakarta yang
dihadiri oleh tak kurang tiga ribu hadirin lintas iman. Pengisi acara adalah
para tokoh dan remaja lintas iman, yang membawa pesan bahwa keberagaman
adalah kekayaan bangsa, yang dapat diperas nilai-nilai luhurnya untuk
kebaikan bersama. Selama tiga bulan, sejak Desember, rangkaian acara Haul Gus
Dur digelar di berbagai kota, mulai dalam bentuk tahlilan keliling pesantren,
pemberdayaan masyarakat, lomba antarsekolah, seminar dan diskusi ilmiah,
hingga pengajian budaya.
Tak
lama, foto Buya Syafii Maarif yang menengok lokasi gereja, lalu dilanjutkan
dengan menjenguk pelaku dan korban di RS Panti Rapih beredar di media dan
linimasa. Rupanya, jika kepedulian spontan dilakukan oleh seorang Buya Ahmad
Syafii Maarif, manusia Indonesia merasa memiliki harapan. Ketakutan akan
bayangan senjata tajam yang melukai korban dan menghancurkan patung di dalam
gereja, seakan sirna begitu saja, berubah menjadi kepercayaan kolektif bahwa
"kami tak takut teror".
Pesan
solidaritas mulai muncul, bahwa semua pihak diharapkan untuk mengendalikan
diri dan komunitasnya. Bahkan, situasi linimasa sangat terkendali.
Pesan-pesan marah berlebihan yang berpotensi membangkitkan kemarahan lainnya
hampir tak ada. Sebentar kemudian, beredar foto viral milik Dr Ahmad Muttaqin
Alim, memotret istrinya yang berjilbab sedang menyapu di sisi patung Bunda
Maria. Masyarakat sekitar juga berbondong-bondong datang ikut membersihkan
gereja dan mengirim simpati.
Belakangan,
diketahui bahwa pelaku yang berusia sangat muda, yakni 22 tahun mengakui
motif penyerangannya adalah pemahaman yang eksklusif dan sempit dalam
menginterpretasikan agama. Pertama-tama, kondisi ekonominya lemah.
Selanjutnya, ia belajar agama pada kelompok yang ingin menukar nyawa manusia
dengan bidadari surga. Faktor keterbatasan ekonomi yang mempertemukan faktor
keyakinan akan eksklusivitas agama, konon adalah paduan paling berbahaya yang
melahirkan seorang ekstremis.
Keyakinan
seseorang, sekalipun ia adalah seorang penyembah lampu gantung adalah hak
pribadi, tapi ketika ia mencederai hak-hak orang lain yang dilindungi
konstitusi dalam sebuah negara sesungguhnya adalah tanggung jawab hukum.
Sayangnya, jejak kasus kekerasan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak cukup
baik.
Beberapa
peristiwa terakhir, seperti kekerasan yang dialami pemimpin Pondok Pesantren
di Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri hingga Komando Brigade PP
Persis, Ustaz Prawoto yang meninggal dunia akibat mengalami penganiayaan oleh
seorang pria. Menarik bagaimana narasi orang gila selalu dimunculkan untuk
menutup kasus. Awal Februari 2018, muncul video seorang biksu Budha yang
dipaksa meninggalkan kediamannya di Tangerang. Alih-alih dilakukan
penyelidikan mendalam terhadap kelompok mana yang terlibat atau menggerakkan
aksi persekusi, berita hilang seiring terbit rilis berita yang mengabarkan
semua telah selesai dengan baik-baik.
Menurut
Sidney Jones dalam Pelintiran Kebencian
karya Cherian George (2017), masalah terbesar bagi demokrasi Indonesia
bukanlah terorisme, tetapi intoleransi yang menjalar dari kelompok radikal
yang pinggiran ke arah arus utama (mainstream).
Tahun
2018 dan 2019 masih cukup panjang. Tetapi, baru saja kita berharap berbagai
kebaikan, awal tahun langsung disambut dengan gegap gempita teror di berbagai
daerah. Entah itu peristiwa yang terjadi begitu saja secara organik atau
rekayasa kebencian yang sengaja dioperasikan penguasa dalam dinamika tahun politik,
sebagaimana analisis George, adalah alarm tanda bahaya.
Kemarin,
kehadiran Buya Ahmad Syafii Maarif yang menyimbolkan potret toleransi mungkin
cukup membuat kita mampu menekan kecemasan, mengendalikan emosi dan membangun
solidaritas swa-rekonsiliasi. Hari esok, jaminan bukan lagi ada pada sosok
Buya. Kita perlu menjadi Buya. Kita harus membangun kesadaran bahwa sejarah
kekerasan atas nama politik, agama maupun sentimen ras, tak pernah
menyenangkan melainkan mewariskan dendam dan trauma yang sulit dicari obatnya
meskipun puluhan tahun telah terlewati. Sehingga, yang utama adalah prinsip
membela harmoni kebangsaan dibanding membela hak-hak pribadi maupun kelompok
kecil.
Mohamad
Sobary dalam Spiritualitas Baru, Agama
dan Aspirasi Rakyat (2004) memunculkan istilah kepemimpinan kultural. Ini
adalah sebuah konsep kesepakatan bahwa agama apa pun bersetuju pada nilai
yang membangun kehidupan yang damai. Tanggung jawab berikutnya adalah
bagaimana masing-masing agama memunculkan tokoh atau sosok yang tidak hanya
menjalankan visi misi teologis, namun juga misi sosial. Orang Islam punya
sosok kiai rakyat, yakni tokoh pemimpin muslim yang selama ini dinilai dapat
mendampingi masyarakat dalam menghadapi konflik sosial yang bersifat
horisontal maupun vertikal.
Ada
baiknya jika semakin banyak muncul romo rakyat, biksu rakyat, suster rakyat
dan lain-lain sebagai simbolisasi mengakarnya kepemimpinan kultural pada
level grassroots. Tidak cukup seorang Buya Ahmad Syafii Maarif. Oleh
karenanya, jika terjadi teror, kabarkan kepada keluarga, tetangga, jamaah
tempat ibadah, teman kantor, dan siapa saja orang yang Anda temui di jalanan,
bahwa kita semua tak pernah takut. Alih-alih keberagaman ini dikoyak, ikatan
justru akan semakin rekat dan padat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar