Terobosan
Baru Memperkuat
Cadangan
Beras Nasional
Andi Irawan ; Dosen Pascasarjana Agribisnis Universitas Bengkulu
|
DETIKNEWS,
06 Februari
2018
Fenomena
klaim surplus beras di satu sisi dan kemudian diikuti dengan impor beras pada
saat yang sama bukan hal baru yang hanya terjadi di zaman pemerintahan
Jokowi-JK saja. Pada periode 2004-2010 misalnya, pemerintah menyatakan
akumulasi surplus produksi terhadap konsumsi selama 2004-2010 menghasilkan
total surplus beras di akhir 2010 sebesar 15,76 juta ton. Perhitungan yang
sama berlaku untuk 2014. Dengan produksi padi 70,83 juta ton GKG setara 39,82
juta ton beras dengan konsumsi per kapita beras sebesar 125,6 kilogram per
tahun akumulasi surplus produksi beras 2014 mencapai 45,41 juta ton.
Surplus
terus naik tetapi anehnya Bulog selalu mengalami kesulitan mengamankan
Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan alasan harga pasar sangat jauh di atas
harga pembelian pemerintah (HPP) meskipun pada saat panen raya (Maret-April).
Dan, yang lebih aneh lagi ketika surplus yang tinggi tersebut malah impor
beras pun tetap tinggi. Hal ini bisa dilihat pada 2011; saat itu surplus
beras sebesar 5 juta ton tetapi harga beras terus merangkak naik yang
akhirnya menyebabkan pemerintah mendatangkan sekitar 1,8 juta ton beras impor
karena Bulog mengalami kesulitan untuk memenuhi CBP dengan hanya mengandalkan
produksi beras dalam negeri.
Terlepas
dari klaim tentang surplus beras diikuti dengan impor yang telah terjadi
berulang-ulang tersebut, yang perlu kita garis bawahi adalah stabilitas harga
beras ditentukan oleh peran negara dalam menjaga logistik beras nasional.
Agar fungsi stabilisasi harga berjalan efektif maka negara harus memiliki
cadangan beras (food reserve) yang kuat. Ketika harga beras melambung tinggi
di tingkat konsumen maka pemerintah melempar cadangan beras negara ke pasar
untuk menstabilkan harga.
Sebaliknya
ketika harga beras di tingkat produsen anjlok pada saat panen raya maka
pemerintah yang harus membeli beras tersebut dari petani pada tingkat harga
yang lebih tinggi dari harga pasar di tingkat petani. Bulog sebagai lembaga
stabilisasi harga ini di era Reformasi tidak mampu menjalankan fungsi
stabilisasi harga dengan baik. Hal ini karena Bulog di era Reformasi ini
kesulitan untuk memiliki cadangan beras yang cukup untuk menjalankan fungsi
tersebut. Cadangan beras yang ideal dimiliki Bulog adalah minimal 10 persen
dari total produksi.
Pemerintah
harus menyadari benar bahwa dengan kondisi yang ada saat ini maka akan sangat
sulit bagi Bulog untuk bisa memenuhi cadangan pangannya dari sumber dalam
negeri dengan konstrain realitas sebagai berikut. Pertama, implementasi HPP
akan sulit efektif di lapangan sebagai alat untuk menyerap gabah dan beras
petani untuk kepentingan memenuhi cadangan pangan beras Bulog. HPP baru akan
efektif untuk menyerap bahan pangan dari petani jika ditetapkan di atas harga
gabah dan beras di tingkat petani. Tetapi ketika pemerintah menerapkan HPP di
atas harga di tingkat petani tersebut dampak ikutannya akan mengerek harga
pangan naik dan memacu inflasi. Padahal kenaikan harga-harga pangan akan
berdampak buruk bagi masyarakat menengah bawah.
Untuk
beras misalnya, kenaikan harga sebesar 10 persen akan meningkatkan angka
kemiskinan sebesar 1,3 persen (Ikhsan et al, 2015). Dan, ketika HPP
ditetapkan di bawah harga gabah dan beras yang terjadi di tingkat petani,
dampaknya Bulog tidak bisa menyerap gabah/beras petani tersebut karena bila itu
dilakukan Bulog akan kena sanksi karena melanggar aturan terkait HPP
tersebut.
Kedua,
cadangan beras akan sangat ditentukan oleh tingkat produksi beras nasional.
Masalahnya, peningkatan produksi yang signifikan dengan jumlah besar dengan
mengandalkan petani kita yang berlahan sempit adalah sangat sulit. Terlebih
ketika 55 persen di antaranya adalah petani gurem dengan luas lahan kurang
dari 0,5 ha. Implikasi dari produksi beras kita yang berbasis petani gurem
ini; 1) untuk meningkatkan produktivitas padi menjadi sangat mahal karena
perlunya subsidi yang masif untuk intensifikasi pertanian. Hal ini karena
petani tidak mampu jika mereka harus membiayai sendiri intensifikasi usaha
taninya; dan, 2) konversi lahan pertanian sawah yang sulit dikendalikan.
Artinya,
meningkatkan cadangan beras negara dalam jumlah besar seperti yang diinginkan
akan sulit dicapai jika hanya mengandalkan suplai dari petani domestik. Tapi
juga tidak bisa terus-terusan mengandalkan impor karena ke depan gejolak
pasar beras internasional akan mudah terjadi karena minimnya residual (sisa
kebutuhan dalam negeri dari negara eksportir beras yang diperdagangkan di
pasar internasional), dan kondisi cuaca yang sulit diprediksi karena
perubahan iklim global.
Maka,
melalui tulisan ini penulis mengingatkan kembali bahwa membangun food estate
beras yang dikelola BUMN adalah menjadi pilihan yang niscaya. Food estate
beras adalah suatu bentuk usaha skala besar bahkan raksasa di bidang
agribisnis beras yang dikelola dengan mekanisasi dan teknologi pertanian
modern. Bagian dari produksi food estate beras inilah yang akan membantu
negara mengamankan kebutuhan domestik dan cadangan logistik beras nasional
yang kuat jika Bulog kesulitan menyerap beras petani. Sedangkan ketika panen
dari petani memadai untuk memenuhi cadangan logistik pemerintah, produksi
beras food estate ini bisa diekspor. Dan, itu artinya kita tidak perlu lagi
bicara opsi impor untuk kepentingan logistik beras nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar