Kamis, 15 Februari 2018

Tak Perlu Khawatir pada Masa Depan Milenial

Tak Perlu Khawatir pada Masa Depan Milenial
Ahmad Risani  ;   Saat ini, selain aktif di organisasi, ia juga aktif sebagai staf pendidik di salah satu sekolah islam terpadu di Bandar Lampung
                                                  DETIKNEWS, 06 Februari 2018



                                                           
Sebagai bagian dari milenial, saya merasa tersanjung saat banyak pengamat yang membicarakan kami. Ada semacam optimisme tersendiri bagi saya setelah kritik dan harapan dilontarkan kepada generasi ini. Di satu sisi menyimpan beban moral tersendiri jika itu tak sesuai harapan di masa depan.

Secara demografis, kami mendominasi dalam kelompok usia produktif di kisaran 34,45%. Banyak penelitian mencoba memprediksi di periode 2035-2045 arah pasar dan situasi politik akan dikendalikan oleh generasi ini. Atau, setidaknya menjadi pemain penting di dalamnya.

Benih Kekhawatiran

Namun, ada semacam pesimisme dari prediktor itu jika kami tak mendapat tempat dalam ruang kreativitas, politik, dan pendidikan. Sebab kami ini langgas. Kekebasan dan fleksibilitas kami akan menjadi bumerang manakala tak terfasilitasi dengan baik.

Bukan. Bukan karena kami akan menjadi pemberontak. Tapi, justru sebaliknya, kami apatis dan tak punya modal apa-apa. Apa yang dapat kami lakukan kalau sudah memang sifat dasarnya telanjur tidak peduli? Apa pula yang bisa kami beri kalau tak punya modal? Kami lebih senang dengan budaya kongkow, chatting, dan narsisme di medsos. Seperti kata para pengamat itu.

Sementara, generasi lama kian bikin kami menjadi cuek karena muak dengan kondisi yang ada. Belum lagi lapangan kerja dan ruang ekspresi yang minim ini bikin kami tak punya ruang untuk berkembang. Maka silakan khawatirkan kami di sektor ini saja. Perkara rumah, kuota internet, dan gajet biar kami yang saja pilih sendiri.

Aplikasi media sosial Yogrt sempat melakukan survei yang hasilnya cukup menarik. Anak muda milenial disebut lebih senang bicara soal musik dan film. Di angka 45% dan 30% tepatnya. Sementara, bicara politik cuma 9% saja. Apalagi bahas tentang dunia literasi, kami terdampar di angka 7%.

Bukan apa-apa, harga buku di negeri ini mahal. Belum lagi fasilitas infrastrukturnya juga minim, dan pastinya juga tak asyik untuk dijadikan tempat nongkrong. Saat bicara politik pun kami seolah sedang membicarakan grup dagelan yang garing. Jadi untuk apa bahas buku dan politik? Mending bahas musik, band indie, game online, bola, atau film-film yang akan tayang di bioskop Sabtu depan. Kalaupun tak ada uang kami download saja secara baik-baik di internet.

Virtual Aktivism

Jelang tahun politik di 2019, Charta Politika memetakan suara milenial di kisaran 47-50% suara pemilih. Ini artinya separuh arah politik negeri ini kami yang pegang. Pertarungan opini publik juga akan bermain di kandang milenial. Ada 81,7% pengguna Facebook, di WhatsApp menyentuh angka 70,3%, dan di medsos yang paling seru sedunia, Instagram, mencapai 54,7%. Penetrasi internet milenial lebih dari 75%. Dari total pengguna 132,7 juta pengguna aktif, kami kuasai 42,8%-nya.

Angka ini menyiratkan bahwa milenial akan menjadi opinion maker yang berpengaruh pada pikiran publik. Potensi revolusi via internet bukan tidak mungkin terjadi. Seperti yang pernah terjadi di Mesir, Tunisia, atau di Hong Kong. Setidaknya milenial akan menjadi generasi yang kritis, anti-hoax, dan selektif dalam menerima informasi.

Tak melulu soal internet, di lapangan, milenial merupakan generasi terdidik dan kritis. Terlebih saat ini arus religiusitas milenial dinilai lebih semakin naik. Kondisi ini memicu identical awareness di kalangan anak-anak muda. Ini modal kuat untuk memupus kekhawatiran kita. Dunia aktivisme milenial juga tengah bertransformasi dalam bentuk yang bebeda. Masifnya gerakan petisi online di change.org misalnya, gerakan sosial di kitabisa.com, atau ngoceh politik macam saya di kolom detikcom ini juga representasi dari itu.

Selebihnya memang kita patut mewajarkan adanya kegamangan pada generasi ini. Setidaknya ada problem isu yang lekat dengan milenial yang saling berhadap-hadapan antara "milenial baik" dan "milenial jahat". Pertama, pandangan keagamaan yang mempertemukan kelompok radikalis dengan kelompok moderat. Pandangan keagamaan bisa jadi akar konflik dan perpecahan yang meluas jika tidak disikapi dengan serius.

Dua, apatisme versus aktivisme. Diskursus soal ini bukan saja di lingkungan kampus. Tapi, juga meluas ke lingkungan masyarakat yang lebih kompleks. Individualisme dan hilangnya saraf altruisme (kepedulian) menjadi ancaman yang berbahaya.

Ketiga, values melawan make-over. Antara politik nilai dengan politik pencitraan, antara ketulusan dengan cari muka. Dalam ranah politik ini masalah serius. Terlebih saat ini politisi kita gandrung dengan "politik salon kecantikan". Tak ada esensi, sekedar sensasi.

Keempat, asing melawan lokalitas. Ini soal gaya hidup yang cenderung kebarat-baratan ketimbang menjunjung nilai luhur masyarakat kita. Adat ketimuran kian luntur seiring berkembangnya teknologi dan informasi.

Secara sederhana, barangkali begitulah gambaran milenial saat ini. Terakhir, akhirnya saya akan menutup tulisan ini dengan kalimat klise nan membosankan: Milenial akan menjadi kekuatan penting di masa depan, manakala ancaman ekstra dan intra dapat teratasi. Ruang ekspresi, ekses pendidikan, stabilitas politik, dan perluasan lapangan kerja menjadi jalan untuk mengubah kekhawatiran kita. Jika itu terpenuhi, maka jangan khawatirkan kami! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar