Selasa, 20 Februari 2018

Sistem Penilaian Komprehensif dan Berimbang

Sistem Penilaian Komprehensif dan Berimbang
Syamsir Alam  ;    Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma
                                           MEDIA INDONESIA, 19 Februari 2018



                                                           
DALAM dua dekade terakhir ini masyarakat semakin memahami peran hakiki lembaga pendidikan, terutama yang berhubungan dengan fungsi dan tujuan penilaian pendidikan. Institusi sekolah bagi masyarakat bukan lagi dipandang sebagai lembaga penyortir (baca: penyeleksi), ketika siswa yang memiliki kecerdasan tinggi akan dapat dengan mudah berhasil/lulus, sedangkan siswa lainnya--karena berbagai keterbatasan--mengalami kendala atau kegagalan.

Sekolah menjadi lembaga yang mengelompokkan siswa-siswa yang pandai dan kurang pandai ke dalam ruangan yang bersekat. Praktik penilaian semacam ini biasanya hanya menghasilkan kelompok pemenang dan pecundang.

Saat ini, misi sekolah sudah berubah. Sekolah mengemban amanat sangat mulia sebagaimana digariskan konsitusi negara, yaitu membantu setiap individu anak untuk dapat mencapai standar atau ekspektasi pembelajaran yang sudah ditetapkan. Sebagaimana dikemukakan Stiggins (2007), "Schools have become places where all students are expected to meet pre-specified and increasingly rigorous academic achievement standards."

Norm and criterion-referenced interpretations

Perubahan aktivitas penilaian sudah semakin nyata. Misalnya, kita sudah mulai menyaksikan terjadinya pergeseran pemanfaatan hasil penilaian, yang sebelumnya diarahkan pada norm-referenced interpreation diubah menjadi penafsiran berbasiskan pada criterion-referenced interpretation.

Pergeseran itu secara paralel terjadi dengan semakin tumbuh dan berkembangnya kesadaran dan pemahaman kolektif masyarakat tentang fungsi dan tujuan penilaian. Jika sebelumnya penilaian digunakan sebagai instrumen sekadar membandingkan dan merangking siswa berdasarkan prestasi, kegiatan penilaian saat ini sudah mulai diarahkan pada upaya menjawab pertanyaan substantif. Antara lain, apakah hasil penilaian sudah memenuhi standar atau ekspektasi pembelajaran yang diharapkan?

Dua macam pergeseran penting lainnya, menurut Stiggins (2007), yakni semakin mengemukanya kebutuhan menyeimbangkan praktik penilaian sumatif dengan aplikasi penilaian formatif; dan ujian berskala besar, seperti UN, PISA, TIMSS, dan PIRLS dengan penilaian tingkat kelas.

Pergeseran sebagaimana disebutkan sebelumnya mendapatkan pengakuan secara luas karena dipengaruhi keberhasilan praktik penilaian formatif dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan secara makro sebagaimana ditunjukkan dari hasil studi tentang efektivitas penilaian formatif dan penilaian kelas lainnya (Black P dan William D, 1998; Hattie J dan Timperley H, 2007).

Perkembangan semacam ini dipandang sebagai sebuah momentum perubahan lebih besar. Karena itu, harus terus didorong. Mungkin yang paling mendasar dari pergeseran itu ialah perubahan bagaimana cara kita menilai kualitas penilaian.

Dalam konteks UN, Kemendikbud terus berupaya dapat menyempurnakannya meskipun terkesan sedikit terlambat dan reaktif. Perubahan terjadi, misalnya untuk menentukan kelulusan siswa, yang sebelumnya 100% ditentukan hasil UN kemudian diubah dengan mengakomodasi hasil penilaian sekolah (NS) dengan perbandingan (60:40).

Sekarang, nilai UN sudah sama sekali tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, tetapi tetap digunakan sebagai acuan seleksi siswa ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Administrasi UN juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya UN dilaksanakan dengan menggunakan kertas dan pensil, sejak tiga tahun terakhir penyelenggaraan UN mulai bergeser dengan menggunakan komputer (UNBK).

Ke depan diharapkan perubahan yang dilakukan Kemendikbud ini bukan sebatas administrasi ujian, tapi dapat menjangkau teknologi testing yang lebih canggih, yaitu computer adaptive test (CAT). Pemerintah perlu terus didorong untuk melakukan perubahan dalam membangun sistem penilaian pendidikan nasional secara lebih komprehensif dan berimbang, termasuk menyiapkan institusi penilaian yang mandiri.

Apabila akan tetap dipertahankan, ujian nasional seharusnya murni digunakan untuk kepentingan pemetaan dan pembinaan dengan hasilnya dijadikan rapor sekolah pada tingkat nasional sehingga masyarakat akan dapat mengetahui pergerakan dan pencapaian mutu sekolah secara berkala.

Adapun kebijakan seleksi untuk penerimaan siswa baru diserahkan saja penyelenggaraannya kepada tiap-tiap daerah. Apalagi kita sekarang sudah menganut konsep pendidikan universal sampai jenjang pendidikan menengah atas.

Balanced assessment system (BAS)

Menurut Stiggins (2007), kegiatan penilaian dilakukan untuk mengumpulkan bukti berupa data/informasi yang dapat membantu membuat keputusan pembelajaran siswa. Selain itu, kegiatan penilaian dapat juga digunakan mendorong siswa belajar lebih baik. Kedua tujuan ini hendaknya dapat terlayani secara baik dan terukur agar sekolah dapat dikatakan efektif dan bermanfaat.

Penilaian yang berkualitas sebagaimana dikemukakan Stiggins harus dapat secara akurat merekam informasi tentang hasil pembelajaran siswa sehingga informasi itu dapat digunakan untuk penyusunan kebijakan atau membuat keputusan pada berbagai tingkatan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, penilaian harus memenuhi tiga standar kualitas. Antara lain, penilaian harus dirancang untuk memenuhi tujuan khusus yang dirumuskan dengan jelas dan harus dapat diukur dan penilaian harus dapat menjelaskan keberhasilan belajar siswa sesuai dengan batasan khusus yang dirumuskan sebelumnya.

BAS akan memetakan dengan sangat jelas tugas dan tanggung jawab siswa, guru, orangtua, kepala sekolah, pemerintah, dan pengguna hasil pendidikan (users) sehingga kemajuan belajar siswa dapat direkam dengan jelas. Keberhasilan dan kemajuan pembelajaran dibebankan pada beberapa aktor yang substansi tugasnya bisa sama atau berbeda (Stiggins, 2007).

Pembangunan sistem penilaian nasional hendaknya memperhatikan keseimbangan antara penilaian yang berorientasi pada kebutuhan akuntabilitas dan peningkatan kualitas pembelajaran siswa secara individual, juga penilaian eksternal dan penilaian sekolah (formatif dan sumatif) di samping pemenuhan prinsip-prinsip psikometri, seperti validitas, reliabilitas, dan keadilan.

BAS akan dapat menciptakan pendidikan berkualitas yang genuine karena praktik penilaian ini sangat sensitif terhadap setiap peristiwa yang terjadi pada kegiatan pembelajaran di kelas. Studi yang dilakukan Black dan William (1998), serta John Heity (2007) menguatkan kesimpulan ini. Popham menyimpulkan, sangat keliru apabila pengambil keputusan mengabaikan keandalan dan keunggulan penilaian kelas/sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran siswa.

Sebagaimana dikemukakan, ujian eksternal tidak akan pernah efektif untuk mendorong perubahan dan peningkatan mutu pendidikan apabila penilaian pada tingkat sekolah terus dibiarkan luput dari perhatian. Padahal hanya dengan kombinasi ujian eksternal yang rigorous dan ujian sekolah, kualitas pendidikan dan pembelajaran siswa dapat terjadi dan berkembang. Wallahu'alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar