Sanksi
Etika dan Bisikan Nurani
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2018
KETIKA dokter Bimanesh Sutarjo ditetapkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka yang melanggar Pasal 21 UU
Tindak Pidana Korupsi, yakni melakukan obstruction
of justice, menghalang-halangi
proses penegakan hukum dalam kasus Setya Novanto, ada beberapa dokter yang
bilang bahwa langkah KPK itu keliru. Kata mereka, seharusnya KPK menunggu
hasil pemeriksaan dewan etik atau dewan kehormatan Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) agar bisa dipastikan lebih dulu apakah dokter Bimanesh benar-benar melanggar
etika profesinya. Kalau terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan
pemeriksaan majelis etik IDI, barulah bisa diseret ke pengadilan. Begitu
katanya.
Begitu juga ketika pada saat yang hampir bersamaan, Fredrich
Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK karena kasus yang sama,
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menyatakan penyesalannya kepada KPK
karena tidak berkoordinasi lebih dulu dengan PERADI. Bahkan ada yang
mengatakan, seharusnya Fredrich diperiksa dulu oleh Dewan Kehormatan PERADI
dan KPK baru boleh memproses secara pidana jika Dewan Kehormatan sudah
memutus bahwa bersangkutan benar-benar bersalah telah melanggar kode etik
advokat. Begitu katanya.
Padahal, secara yuridis, tidak ada yang mengharuskan KPK
menunggu pemeriksaan etik secara internal dari organisasi profesi mana pun.
Sudah pernah saya tulis di rubrik ini, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
dalam dugaan pelanggaran pidana dan pelanggaran etika profesi itu berjalan
sendiri-sendiri dan tidak saling tergantung karena sifat pelanggaran dan
produk vonisnya juga berbeda. Peradilan pidana bisa berjalan sendiri jika
syarat untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka sudah terpenuhi. Begitu
juga pemeriksaan dan penjatuhan sanksi etik bisa dijatuhkan lebih dulu
daripada proses pidananya.
Tetapi, untuk keperluan pembuktian yang melandasi keyakinan,
bisa juga (ingat: tidak harus juga) proses pidana dilakukan setelah ada
kepastian tentang pelanggaran tersebut oleh keputusan dewan kehormatan
organisasi profesi. Bisa juga (ingat: tidak harus juga) sanksi etik
dijatuhkan setelah ada putusan resmi dari pengadilan untuk dijadikan
landasannya. Intinya, penyelesaian
etik dan penyelesaian pidana tidaklah saling bergantung, keduanya bisa
berjalan sendiri-sendiri meskipun jika dianggap perlu bisa saja yang satu
menunggu yang lain.
Banyak catatan pengalaman, wartawan, dokter, dosen, hakim, dan
berbagai profesi lain sudah dijatuhi sanksi etik atau sanksi disiplin sebelum
yang bersangkutan diproses secara hukum, bahkan kemudian tidak pernah dibawa
ke pengadilan. Banyak juga dari kalangan profesi itu dijatuhi hukum pidana
sebelum diperiksa oleh dewan atau majelis etik profesinya, tetapi selanjutnya
tidak pernah dijatuhi sanksi etik oleh organisasi profesinya. Banyak anggota DPR yang sudah ditahan dan divonis bersalah,
tetapi tetap mendapat gaji dan tidak diapa-apakan oleh Majelis Kehormatan
Dewan karena putusan pengadilannya belum inkracht,
meskipun ada juga yang begitu ditahan langsung dipecat.
Contoh orang yang begitu ditahan langsung dipecat, tanpa
menunggu vonis pengadilan, oleh dewan kehormatannya adalah mantan Ketua DPD
Irman Gurman dan mantan Ketua MK Akil Mochtar. Adapun orang yang masih terus
mendapat gaji meskipun sudah ditahan dan divonis lebih banyak lagi contohnya.
Dulu kita pernah diributkan oleh berita bahwa Nazaruddin dan
banyak anggota DPR masih menerima gaji meski sudah diseret ke pengadilan dan
divonis bersalah karena Majelis Kehormatan DPR tidak menjatuhkan sanksi dan
partainya tidak memberhentikannya dari DPR. Alasannya, menunggu putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Dalam catatan saya juga banyak advokat yang sudah ditangkap,
diadili, bahkan divonis bersalah oleh pengadilan pidana, tetapi organisasi
profesinya diam saja, membiarkan, dan tidak menjatuhkan sanksi. Ada juga
advokat atau asistennya yang tertangkap tangan mengantarkan uang suap kepada
hakim di pengadilan, tetapi aman-aman saja dari peradilan etik. Jadi, masalah penjatuhan
sanksi etik dan sanksi pidana merupakan dua hal berbeda dan karenanya bisa
berjalan sendiri-sendiri. Proses pidana bisa berjalan sendiri tanpa
dikait-kaitkan dengan peradilan etika dengan catatan tetap boleh saja kalau
mau menunggu keputusan majelis atau dewan etik profesi untuk memastikan
kesalahannya.
Begitu juga peradilan etik oleh majelis atau dewan kehormatan
profesi bisa berjalan dan mengambil putusan tanpa harus menunggu putusan
peradilan pidana dengan catatan, juga bahwa organisasi profesi boleh menunggu
putusan peradilan pidana lebih dulu kalau ingin meyakinkan posisi kasusnya,
apalagi akan menjatuhkan sanksi berat. Tetapi yang namanya boleh itu tidak
berati harus. Di dalam istilah agama, mubah
itu bukan wajib .
Meskipun begitu, pelaku pelanggaran atas etika itu pun tidak
harus menunggu penjatuhan sanksi secara resmi, baik dari dewan atau majelis
etik profesinya maupun dari pengadilan. Hal lebih mulia yang harus dilakukan
pelaku pelanggaran etika yang kemudian mendapat sorotan publik adalah
mengundurkan diri atas bisikan "hati nurani" dan kehendaknya
sendiri. Bisikan nurani itu lebih penting sebagai sikap etis daripada sekadar
formalitas-formalitas pemeriksaan dan pembuktian. Sikap etis itulah, sebagai contoh,
yang ditunjukkan Patrialis Akbar dan Ridwan Mukti begitu ditahan oleh KPK
karena sangkaan korupsi. Itu pula yang diinginkan Ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar