Senin, 19 Februari 2018

Politisasi SARA dalam Pilkada

Politisasi SARA dalam Pilkada
Hendardi  ;    Ketua Badan Pengurus Setara Institute
                                                KORAN SINDO, 17 Februari 2018



                                                           
PENGGUNAAN isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dikhawatirkan akan berlanjut dalam Pilkada 2018. Apakah benar tren politisasi SARA ini akan berlanjut? Bagaimana pendekatan yang seharusnya digunakan untuk mengantisipasi dan menangani politisasi SARA? Tulisan pendek ini akan menganalisis dua isu krusial tersebut.

Jika kita refleksikan modus politisasi isu sensitif dimaksud khususnya politisasi agama pada Pilkada DKI Jakarta 2017, kita akan menemukan empat faktor determinan utama. Pertama, faktor kandidasi. Kandidat dalam pesta demokrasi di DKI lalu merupakan faktor penting yang menjelaskan bekerjanya politisasi agama. Figur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus diakui merupakan sosok yang rentan menjadi objek penyingkiran politik berbasis suku dan agama karena secara given Ahok adalah sosok minoritas jamak. 

Di samping itu pembawaannya yang ceplas-ceplos berkonsekuensi mudah kepleset ucap. Maka begitu Ahok keceplosan  menyinggung Al-Maidah: 51, politisasi agama tak terbendung yang kemudian kita ketahui tak hanya mengalahkannya dalam kontestasi, tapi juga menjebloskannya ke penjara.

Rekayasa Kemarahan
 
Kedua, sublimasi wacana politik. Wacana yang berkembang setelah peristiwa viralnya postingan potongan video Buni Yani menunjukkan kecanggihan peluhuran wacana politik menjadi wacana keagamaan, bahkan nasionalisme. Reproduksi wacana kontra-Ahok dilakukan dengan “meluhurkan” kontestasi politik menjadi “jihad keagamaan dan kenegaraan”. Para operator wacana tersebut merekayasa sedemikian rupa kemarahan publik anti-Ahok dengan “jihad umat melawan penista agama” sehingga terjadi berjilid-jilid aksi demonstrasi menentang Ahok.

Ketiga, mobilisasi massa. Pilkada DKI yang lalu unik karena mobilisasi massa pada akhirnya tidak hanya melibatkan pemilih setempat, tetapi juga menghimpun massa dari hampir seluruh masyarakat Indonesia yang belum pulih dari polarisasi pasca-Pemilihan Presiden 2014. Ini menggambarkan “kesempurnaan” kerja-kerja politisasi agama yang melibatkan banyak elemen kelompok.

Keempat, konsolidasi kelompok intoleran. Kelompok-kelompok yang ikut bermain dan menjadi faktor determinan dalam Pilkada DKI sebenarnya mulai berkonsolidasi sejak satu dekade lalu. Hal itu ditandai dengan tingginya frekuensi tindakan vigilante  yang sebagian besar melibatkan mereka sebagai aktor seperti dikonfirmasi oleh beberapa lembaga riset semisal Setara Institute dan Wahid Institute/Foundation. Dalam Pilkada DKI mereka secara berkelanjutan melancarkan pengaruh dan tindakan intoleran kepada pemilih Jakarta seperti pengusiran pendukung kontestan lawan dari masjid, penolakan menyalati jenazah pendukung “penista agama”, penyebaran ancaman tentang neraka akibat kafir dan munafik, serta beberapa tindakan lain.

Melihat empat faktor determinan tersebut, kecil kemungkinan akan terjadi replikasi politisasi agama ala Jakarta. Tiga dari empat faktor determinan tersebut sulit terbentuk. Dari sisi kandidat, personifikasi “Ahok” sudah tidak menarik sebagai kampanye politik, berbeda dengan fenomena Ahok sebelum kasus penistaan agama di mana Ahok yang berani, tegas, dan konfrontatif atas anggota legislatif yang dalam perspektif publik korup sering digunakan sebagai kampanye politik kandidat di daerah lain.

Demikian halnya dengan penyebaran wacana-wacana luhur keagamaan sebagai bungkus bagi kepentingan politik kandidat tidak mudah dibangun ulang dari pengalaman Pilkada DKI. Semakin cairnya pola koalisi menunjukkan gambaran sesungguhnya pragmatisme elite dan partai politik. Hal itu akan menyulitkan packaging kampanye politik menggunakan isu-isu agama.

Selain itu mobilisasi massa (dan suara) dalam skala nasional untuk memengaruhi preferensi pemilih lokal sulit dilakukan, termasuk di daerah-daerah besar sekalipun seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Mewaspadai Kelompok Intoleran
 
Meski demikian, faktor determinan yang keempat tetap tersedia. Meskipun variabel Rizieq Shihab dan Hizbut Tahrir Indonesia melemahkan konsolidasi kelompok-kelompok intoleran, sumber daya mereka sangat besar untuk menjadi amunisi politik bagi kontestasi di tingkat lokal. Dua kasus intoleransi dan tindakan penegakan hukum dengan cara sendiri (vigilante) yang terjadi di awal tahun ini, yaitu sweeping  massa LPI-FPI di Pamekasan Madura dan pembubaran baksos Gereja Katolik St Paulus di Bantul DIY, menunjukkan potensi dan eksistensi kelompok-kelompok intoleran di tingkat lokal potensial digunakan untuk kontestasi pilkada.

Banyak isu yang digunakan oleh kelompok-kelompok vigilan ini untuk melakukan pembelahan politik dalam pilkada untuk kepentingan mereka. Isu-isu moral, sebagaimana tren yang berlangsung dalam hampir dua dekade ini, akan terus dijadikan basis utama mereka untuk eksis.

Oleh karena itu kesiapsiagaan penyelenggara pilkada dan aparat keamanan tetap dibutuhkan. Sebab meskipun politisasi agama dalam skala besar dan luas seperti dalam Pilkada DKI yang lalu sulit direplikasi, potensi penggunaan sentimen SARA tetap besar mengingat kelompok-kelompok intoleran kerap menggunakan perhelatan-perhelatan politik sebagai medium untuk menunjukkan eksistensi dan meningkatkan daya tawar ekonomi-politik mereka.

Apalagi pilkada serentak tahap ketiga ini hanya berjarak beberapa bulan saja dari start kontestasi politik terbesar dalam republik, yaitu pemilihan presiden (pilpres). Bagi kelompok laskar-laskar ini, pilkada sangat potensial digunakan secara agak sporadis untuk kepentingan hegemoni wacana dan perebutan ruang publik-politik pada Pilpres 2019 yang akan datang.

Integritas pilkada di antaranya ditentukan oleh seberapa serius berbagai pelanggaran pemilu ditindak sehingga memberikan pembelajaran efektif bagi peningkatan kualitas demokrasi kita. Untuk menciptakan pilkada yang damai dan tertib sekaligus untuk membangun konsolidasi demokrasi yang smooth, penegakan hukum pemilu dalam bentuk pelanggaran pidana pemilu seperti kampanye SARA yang secara eksplisit dilarang oleh undang-undang perlu ditegakkan dengan penghukuman yang memberikan efek jera. Dasar dan mekanisme hukum untuk penindakan pelanggaran tersebut sudah lebih dari cukup, hanya implementasinya yang selama ini kurang terlihat.

Dalam konteks itu, Kepolisian RI telah membentuk Satgas Nusantara untuk mengantisipasi dan menindak pelanggaran hukum dalam bentuk kampanye-kampanye SARA selama pilkada. Penanganan hukum secara proporsional dan profesional atas pelanggaran-pelanggaran yang mengancam stabilitas nasional dan kebinekaan selama pilkada, selain akan memberi efek jera, juga merupakan bentuk mitigasi atas kampanye-kampanye SARA yang rentan terjadi pada pilpres mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar