Pilkada
dan Banalitas Intoleransi
Halili ; Pengajar Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial
UNY; Peneliti di Setara Institute
|
KOMPAS,
02 Februari
2018
Ujaran dan ekspresi intoleransi berbasis
sentimen keagamaan dalam gelaran politik tidak dipandang sebagai
tabu—alih-alih kejahatan elektoral—dalam praktik politik kita. Masih sangat
minim upaya sistemik untuk membangun politik elektoral yang steril dari
instrumentasi sentimen keagamaan provokatif untuk kepentingan pengumpulan
suara, yang berdampak pula bagi eksklusi sosial anak bangsa yang berjumlah
sedikit.
Mekanisme untuk menagih akuntabilitas
sosial dari kampanye dan marketing politik absen. Intensi untuk
mendekonstruksi banalitas intoleransi dari jagat politik nyaris nihil.
Hari-hari ini, beberapa ketua umum partai
politik mulai memainkan isu agama untuk menghimpun impresi publik. Ketua Umum
Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, seperti diberitakan beberapa media,
mulai mengusik sentimen keagamaan di ranah publik dengan isu ”kriminalisasi
ulama”. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, yang juga Ketua MPR, mengusik sentimen
keagamaan publik dengan menunggangi isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan
transjender).
Pelajaran
buruk
Pilkada Jakarta merupakan contoh puncak dan
pelajaran buruk dari banalitas intoleransi dalam kontestasi elektoral, di
mana sentimen keagamaan digunakan untuk memenangkan pertarungan politik
dengan ancaman, intimidasi, dan bahkan persekusi. Kampanye pilkada lebih banyak
disesaki dengan pengafiran, pemunafikan, penolakan menshalatkan jenazah warga
yang memiliki preferensi berbeda, dan praktik intoleransi lainnya, daripada
kontestasi gagasan dan program kerja.
Jakarta bukan misal tunggal. Dua tahun
sebelum itu, di Aceh Singkil, pilkada serentak diwarnai dengan tragedi
pembakaran gereja HKI sebagai alat permainan politik kekuasaan menjelang
pilkada serentak 2017. Teuku Kemal Fasya (”Memperbaiki Keberagaman Singkil”,
Kompas, 19/10/2015) menjelaskan, mobilisasi sentimen massa untuk melakukan
pembakaran gereja sebenarnya sudah dilakukan secara terbuka beberapa hari
sebelum kejadian. Hanya saja, aparat keamanan dan pemerintah setempat tidak
mengambil tindakan responsif yang memadai. Sangat kuat kesan adanya upaya
kapitalisasi situasi konfliktual kasus gereja tak berizin untuk kepentingan
politik elite lokal. Di satu sisi, elite lokal tertentu memanfaatkannya untuk
meraup suara mayoritas, di sisi lain untuk merebut simpati minoritas dengan
janji-janji perlindungan di masa-masa mendatang.
Pola serupa juga penulis temukan di Aceh
Singkil pada Pilkada 2012. Ketika terjadi penyegelan besar-besaran atas 20
gereja dan undung-undung oleh pemerintah setempat, elite politik lokal ikut
bermain. Mereka tak secara serius berniat merencanakan resolusi secara
permanen atas gesekan sosial yang terjadi. Sebaliknya, mereka malah melakukan
politisasi sentimen keagamaan yang memicu reproduksi konflik keagamaan dalam
skala mengkhawatirkan untuk kepentingan jangka pendek elektoral.
Cara pandang yang sama juga dapat kita
gunakan untuk menjelaskan mengapa polemik pendirian rumah ibadah di Kota
Bogor dan Kabupaten Bekasi, yaitu GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, tidak
kunjung berpihak pada minoritas. GKI Yasmin sudah memenangi gugatan PTUN,
hingga inkracht di tingkat peninjauan kembali (PK) MA pada 2009. HKBP juga
memenangi perkara di tingkat yang sama sejak 2011.
Namun, hingga kini mereka belum bisa
menikmati hak fundamentalnya untuk beribadah di rumah ibadah sendiri yang
sudah memiliki kekuatan hukum kuat dan mengikat. Politisasi di daerah
setempat mengangkangi putusan hukum MA. Elite politik di kedua daerah itu
terus mengakomodasi aspirasi intoleran dari mereka yang mengklaim
merepresentasikan mayoritas demi politik elektoral lima tahunan.
Pendekatan
politiko-yuridis
Dalam konteks pilkada, banalitas
intoleransi sudah seharusnya diperangi dengan keseriusan untuk melaksanakan
agenda-agenda politiko-yuridis dalam menyelesaikan persoalan akibat berbagai
ekspresi intoleransi secara retrospektif, aktual, dan prospektif. Terhadap
persoalan-persoalan terdahulu yang terus berdampak pada restriksi hak-hak
minoritas saat ini, lebih banyak dibutuhkan pendekatan politik dari
pemerintah, khususnya pemerintah pusat. Warga negara dari kelompok minoritas
yang jadi korban politisasi sentimen keagamaan di tingkat lokal harus segera
mendapat rehabilitasi hak, restitusi, dan kompensasi di bawah penanganan
langsung pemerintah pusat, mengingat bidang agama pada dasarnya merupakan
kewenangan pusat.
Di ranah aktual dan prospektif, dibutuhkan
pendekatan politik dan yuridis sekaligus untuk memastikan bahwa politik
elektoral tidak melonggarkan ikatan kebangsaan dengan mendiskriminasi dan
mengeksklusi mereka yang dari sisi kuantitas suara elektoral sedikit.
Regulasi pemilu dan pilkada sebenarnya sudah mengatur larangan penggunaan
isu-isu SARA (suku, agama, ras, antar-golongan). Namun, di level eksekusi,
peraturan tersebut belum efektif.
Dalam konteks itu, kita layak mengapresiasi
inisiatif Kepolisian Negara RI untuk membentuk Satgas Anti-SARA. Satgas ini
dibentuk dalam rangka pilkada untuk memberikan prosedur legal bagi pencegahan
dan penindakan atas tindakan politisi-politisi karbitan, tim kampanye, dan
pendukungnya yang meletakkan politik kekuasaan di atas politik kebangsaan melalui
instrumentasi strategi-strategi machiavellis yang memecah belah bangsa demi
kepentingan pemenangan kompetisi dalam pilkada. Optimalisasi kerja-kerja
legal dan sinergi kepolisian, KPU, Bawaslu, dan kejaksaan diharapkan akan
mengurangi politisasi intoleransi.
Di atas itu semua, kita tentu harus
meletakkan harapan di pundak para politisi agar mereka tak menggunakan
populisme agama sebagai instrumen kontestasi yang nyata-nyata mengingkari
politik kebangsaan yang diletakkan dan diteladankan oleh para pendiri
negara-bangsa. Provokasi-provokasi intoleran yang membelah warga berdasarkan
latar belakang keagamaan dan menciptakan eksklusi sosial kepada warga
minoritas nyata-nyata potret ketidakberadaban politik yang harus segera
disudahi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar