Pilih
Pro Pelayanan Publik!
M Rizki Pratama ; Pemerhati Pelayanan Publik; Alumnus MAP FISIPOL UGM
|
DETIKNEWS,
07 Februari
2018
Usai
sudah keributan partai-partai politik memperebutkan calon-calon pemimpin
potensial untuk bersaing dalam pilkada serentak 2018. Berbagai ulasan telah
membahas berbagai kritik terhadap parpol yang sangat pragmatis dalam
menentukan pilihan calon yang diusungnya, terutama hanya soal elektabilitas
yang cenderung mengarah kepada tingkat popularitas figur, tanpa mempedulikan
platform partai (atau memang tidak ada?). Sangat disayangkan memang karena
calon-calon tersebut kemungkinan tidak akan terlalu jelas visinya dalam
membangun daerah karena partai pengusungnya pun juga tidak jelas dalam garis
perjuangannya.
Tentu
tulisan ini bukan membahas pokok persoalan tersebut tapi setidaknya
memperlihatkan bagaimana seharusnya publik melihat janji-janji kampanye para calon
dalam perspektif hak dasar mereka yang harus dilayani oleh Bupati, Walikota,
dan Gubernur. Mari bergerak ke arah yang lebih konkret yaitu mempersoalkan
program-program seperti apa yang akan mereka berikan kepada publik sebelum
mereka benar-benar menjabat. Karena jelas ketika program yang detail saja
akan banyak mengalami tantangan, tentu jika program sama sekali tidak detail
maka jelas publik harus mengeliminasi calon-calon tersebut.
Ingat,
sesuai jadwal KPU maka para calon akan mendapatkan waktu sekitar 4 bulan
(Februari-Juni 2018) untuk melakukan kampanye. Periode waktu yang cukup
panjang tersebut, saatnya publik aktif tampil untuk memperdebatkan
janji-janji para calon, dan tidak diam dipompa oleh pepesan kosong. Pada
praktiknya semua partai jelas lantang mengemukakan program kerakyatan. Akan
tetapi implementasi dalam bentuk-bentuk program yang sesuai dengan daerah
adalah level yang berbeda jelas, karena partai sangat sentralistik. Padahal,
saat ini adalah era otonomi daerah; keputusan pemerintahan ada di daerah,
bukan di Jakarta. Seperti tanda tangan pengusungan calon-calon yang harus
disetujui oleh ketua umum partai. Sudah sangat tidak relevan masih berbicara
hubungan dominasi pimpinan-bawahan. Bahkan kaderisasi partai saja tidak
bekerja optimal, masih bergaya dengan calon harus menyepakati keputusan
pimpinan pusat.
Program-program
kampanye para kandidat seharusnya menunjukkan peningkatan pada
program-program yang lebih berkualitas, lebih dari apa yang dilakukan pada
pengalaman pilkada serentak lain yang telah berlalu. Peningkatan ini penting
untuk mengeliminasi rawannya eksploitasi politik hitam via eksploitasi agama
dan identitas. Ketika program-program yang ditawarkan berkualitas seharusnya
debat berada dalam lingkaran tersebut, meskipun kasus DKI Jakarta kemarin
menjadi preseden buruk ketika calon dengan program yang lebih detail ternyata
kalah dari calon dengan program yang kurang realistis. Dampaknya DKI Jakarta
saat ini cenderung kesulitan melanjutkan program terdahulu dan program baru
berjalan kurang optimal, terkesan dadakan, masyarakat pun kebingungan.
Para
kandidat sepertinya akan selalu sepakat dengan berbagai agenda tugas
pemerintahan yang tidak pernah selesai, akan tetapi dalam agenda pemenuhan
kebutuhan dasar publik melalui pelayanan publik dalam berbagai sektor seperti
kesehatan, pendidikan, perizinan sampai pengentasan kemiskinan, jelas semua
harus pro pelayanan publik. Maka, setidaknya para kandidat harus memenuhi
tiga anjuran berikut ini. Publik juga harus paham ketika tidak ada program
pelayanan publik yang mendekati seperti yang dijelaskan di bawah ini, maka
sudah tepat jika pasangan kandidat segera ditinggalkan.
Membuka Partisipasi Publik
Kalau
publik tidak dilibatkan dengan cara-cara yang masuk akal, maka tolak saja
program tersebut. Esensi pesta demokrasi ini adalah keterlibatan publik.
Ketika pelayanan publik yang akan ditawarkan para calon sama sekali tidak
membuka ruang untuk partisipasi, maka sama saja tidak ada perubahan. Publik
seharusnya dapat dilibatkan dalam crowd-sourcing ide dalam program
masing-masing kandidat sehingga program bukan klaim sepihak padahal kurang
partisipatif. Publik sudah seharusnya dlibatkan sejak dini. Logika ini masuk
akal karena jika sejak awal sebelum terpilih saja sudah melibatkan publik, maka
pada saat terpilih tentu partisipasi publik dapat lebih optimal.
Salah
satu janji penting adalah publik dilibatkan sejak awal penyusunan program
pelayanan publik, seperti alur, waktu, persyaratan yang seringkali membuat
publik kesal karena penyelenggaraan pelayanan cenderung sepihak menentukan
tata cara pelayanan publik. Ketika ada ruang untuk melibatkan publik, maka
diharapkan tidak ada dominasi perilaku sewenang-wenang dari penyelenggara
karena tata cara telah disusun bersama dengan saling memahami sebagai esensi
demokrasi.
Melek Inovasi dan Dunia Digital
Era
disrupsi harus membawa program baru bagi pemerintahan. Patut ditunggu apakah
cukup akomodatif para calon membawa konsep inovasi dalam berbagai janji
program pelayanan publik mereka. Atau, justru tetap membawakan program
ketinggalan zaman yang terlalu general dan berulang-ulang dilakukan. Mereka
seharusnya melek pada kondisi saat ini, tidak hanya inovasi dengan tata cara
tradisional tetapi juga telah selangkah lebih maju dengan memanfaatkan
teknologi informasi yang sesuai dengan era saat ini.
Mereka
seharusnya tidak hanya mendirikan institusi baru, tetapi juga sekaligus
konten baru yang detail implementasinya sehingga realistis. Mungkin inisiatif
big data di daerah misalnya, atau upaya replikasi-modifikasi inovasi
pelayanan publik yang sudah dibukukan oleh Kemenpan-RB dan LAN-RI.
Setidaknya, sudah ada ratusan inovasi yang seharusnya dapat dimanfaatkan
tanpa harus berpikir berat.
Anti Copy-Paste dan Penyeragaman
Selain
itu program-program yang ditawarkan tidak hanya saling adopsi, copy-paste
dari institusi lain dibawa ke daerah tujuan akan tetapi juga ada penyesuaian.
Misalnya, tidak tergagap-gagap dengan adanya teknologi informasi yang
kemudian langsung menjanjikannya tanpa melihat realitas karena masing-masing
daerah adalah unik. Harus ada penyesuaian terlebih dahulu sehingga program
harus detail. Selain itu, segmentasi program juga penting untuk mengakomodasi
diversitas ekstrem di berbagai daerah agar program lebih inklusif. Misalkan,
antara golongan poor-middle-rich atau golongan remaja-dewasa-orang tua, atau
segmentasi lain seperti pengusaha kecil-menengah-besar.
Perbedaan
pelayanan publik bukan berarti diskriminasi, akan tetapi memunculkan keadilan
agar tidak ada pihak yang semakin tenggelam oleh penyeragaman kebijakan.
Pelayanan publik yang berbeda dengan golongan bawah-menengah-atas dapat
dilakukan. Misalkan, digitalisasi pelayanan kesehatan dengan sistem antri
online. Tentu jangan pula menutup loket antri manual, termasuk menentukan
kuota, seperti yang dilakukan oleh PT KAI dalam strategi ticketing mereka
yang terdiferensiasi berdasarkan kebutuhan penumpang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar