Perumusan
Delik Zina dalam RUU KUHP
Umar Mubdi
; Pemerhati Hukum; Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada; Penulis buku Sejengkal dari Tubir
|
DETIKNEWS,
27 Februari
2018
Delik zina dalam RUU KUHP
menuai banyak perhatian dari sejumlah kalangan di masyarakat. Berkembangnya
dua pandangan yang diametral, pro dan kontra, haruslah dipahami sebagai
tumbuhnya percakapan rasional publik antarwarga negara. Dan, hal ini baik
bagi kehidupan berdemokrasi. Tentu, percakapan ini dilakukan dengan cara yang
tepat serta seluruh argumentasi haruslah berdasarkan disiplin ilmu
pengetahuan. Sehingga legislator yang mengemban amanah ini dapat menangkap
aspirasi publik.
Pihak yang menolak delik
zina dalam RUU KUHP berpandangan bahwa delik tersebut akan mengancam
perempuan yang justru menjadi korban pemerkosaan. Selain itu, pasangan yang
menikah secara siri dan hukum adat akan terjerat ke dalam rumusan delik.
Perlindungan terhadap anak pun dianggap terlanggar karena dihapuskannya batas
umur pada delik tersebut. Sedangkan pihak yang pro menganggap delik zina
dalam RUU KUHP telah tepat dan persoalannya hanya tersisa pada aspek
penegakan hukumnya semata.
Penulis pada dasarnya
sependapat bahwa perzinaan haruslah dianggap sebagai perbuatan pidana karena
bertentangan dengan moral dan nilai kesusilaan masyarakat. Hal tersebut
ditempuh dengan menjadikan perzinaan sebagai objek kriminalisasi. Akan
tetapi, penulis tidak sependapat dengan argumentasi yang cenderung menafikan
keberadaan kelindan masalah dalam perumusan delik perzinaan.
Pada tulisan ini akan
diuraikan mengenai kritik terhadap perumusan delik perzinaan sekaligus
tanggapan penulis terhadap argumentasi yang memapankan delik a quo. Sehingga
dalam pembahasan terkait perumusan delik ini didapatkan pertimbangan lain
berdasarkan perspektif kebijakan hukum pidana. Tujuannya agar hukum pidana
yang sejatinya merupakan obat penawar (ultimum
remedium) tak gagal menyembuhkan persoalan di masyarakat.
Rumusan
Delik dan Kepastian Hukum
Untuk lebih jelasnya
mengenai delik zina tersebut, Pasal 483 ayat (1) huruf e RUU KUHP secara
expressive verbis menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing
tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dipidana
dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.
Perlu diketahui, perumusan
delik zina tersebut merupakan bagian dari tahap formulasi kebijakan hukum
pidana (criminal policy). Dalam konsep ini, tahap formulasi atau kebijakan
legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan
perundang-undangan pidana.
Tahap ini merupakan tahap
yang paling sentral dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum
pidana. Tahap formulasi tersebut menjadi dasar, landasan, dan pedoman bagi
tahap-tahap fungsionalisasi hukum pidana yang berikutnya, yakni tahap
aplikasi dan eksekusi (Muladi, 1992).
Pada tahap formulasi ini,
salah satu hal pokok adalah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya
ditetapkan sebagai perbuatan pidana (Barda Nawawi Arief, 2002). Berkaitan
dengan itu, kriteria utama di dalam perumusan suatu delik adalah memastikan
perlindungan hukum secara in abstracto. Menurut Eddy O.S. Hiariej,
perlindungan hukum tersebut bermakna substansi hukum pidana haruslah
memberikan perlindungan hukum dengan dua parameter, yakni kepastian hukum dan
non-diskriminatif.
Perumusan delik zina dalam
pasal a quo sesungguhnya tidak memberikan kepastian hukum. Argumentasinya,
pasal zina tersebut memiliki rumusan yang sumir yang dapat menjadi
"jaring" besar untuk menjerat banyak perbuatan yang bukan termasuk
ke dalam maksud dibentuknya ketentuan pidana (original intens). Sebab, pasal
a quo dapat diberlakukan secara mutatis mutandis dengan delik pemerkosaan
dalam Pasal 488 RUU KUHP karena rumusan delik zina bersifat umum dan tidak
mengecualikan unsur tindakan pemerkosaan berupa "ancaman",
"tanpa kehendak", "tanpa persetujuan". Belum lagi
mengenai definisi dari masing-masing unsur rumusan delik zina yang masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Sumirnya rumusan delik
zina a quo mengandung konsekuensi terjadinya over-kriminalisasi. Hal ini
dikarenakan Pasal 483 ayat (1) huruf e RUU KUHP bersifat overlapping dengan
ketentuan pidana serupa mengenai kesusilaan. Masalahnya bukan pada perbuatan
yang semula telah menjadi perbuatan pidana diatur lagi sebagai tindak pidana.
Melainkan pada peningkatan penghukuman (punishment) yang berpotensi melanggar
hak asasi manusia (Douglas Husak, 2008).
Sebagai contoh, pelaku
yang harusnya didakwa dengan pasal pemerkosaan sudah dapat dipastikan akan
dialternatifkan dengan pasal zina. Jika unsur pemaksaannya tidak terbukti
maka akan "ditampung" oleh pasal perzinahan yang sifatnya umum. Hal
ini tentu tidak mencerminkan pengembanan hukum pidana yang baik karena sanksi
pidana penjara yang harus ditanggung pelaku untuk kedua delik tersebut
berbeda secara signifikan.
Selain itu,
over-kriminalisasi ini juga terindikasi dengan tidak tercapainya maksud
perumusan delik dengan tujuan hukum pidana (risk prevention). Hukum pidana
saat ini haruslah ditujukan untuk pencegahan, rehabilitatif, edukatif, dan
criminal incapacitation. Bukan hanya sebagai pembalasan. Delik zina a quo
seharusnya dapat menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pencegahan kejahatan
terhadap kesusilaan asalkan dirumuskan secara tepat.
Hal terakhir yang
mengakibatkan delik zina a quo bersifat over-kriminalisasi adalah ancillary
offense (pelanggaran tambahan) dalam penegakan hukumnya. Terutama dalam
pembuktiannya yang mengandalkan alat bukti surat berupa visum et repertum.
Tidak semua korban melakukan visum pada saat beberapa waktu setelah
terjadinya delik. Sehingga menjadi hambatan tersendiri di dalam
pembuktiannya.
Oleh sebab itu, tidak
mengherankan ketika ada pendapat yang menyatakan tantangannya justru terletak
pada penegakan hukum delik zina. Karena memang, sejak tahap formulasinya
tidak dilakukan secara tepat. Rumusan delik zina a quo sangat mungkin untuk
ditafsirkan secara ekstensif oleh aparat penegak hukum saat berhadapan dengan
kasus-kasus perkawinan siri/adat maupun aduan mengenai korban pemerkosaan.
Padahal, penafsiran ekstensif semacam itu menjadi hal yang dilarang di dalam
hukum pidana karena bertentangan dengan asas legalitas.
Modal
Utama
Penggunaan hukum pidana
sebagai strategi utama dalam pengendalian sosial, terutama dalam
menanggulangi masalah perzinahan, haruslah dilakukan secara selektif dan
terukur. Apabila elemen koersif di dalam hukum pidana guna menegakkan aturan
hukum tidak diterapkan secara selektif dan terukur, justru akan menghasilkan
ketidakadilan karena akan terjadi penghukuman yang berlebih. Kita tidak
inginkan itu terjadi.
Oleh karena itu, modal
utama dalam merumuskan delik zina yang tepat adalah kemampuan legislator
untuk mengabstraksi berat-ringannya suatu tindak pidana, nilai-nilai dan tata
urutan norma sosial, serta persoalan teknis pembentukan undang-undang. Inilah
agenda penting dan terbuka guna pembentukan norma pidana yang baik di masa
depan. Sehingga, penggunaan hukum pidana sebagai bagian dari upaya mewujudkan
kesejahteraan dan perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai harapan. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus