Permissive
Culture
Faisal Ismail ; Guru Besar Program Pascasarjana FIAI
Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta
KORAN
SINDO, 02 Februari 2018
Permissive
Culture
Faisal Ismail ; Guru Besar Program Pascasarjana FIAI
Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta
|
PERMISSIVE culture
(budaya permisif) merupakan konsekuensi logis dari sekularisme
yang secara dominan menjadi dasar pandangan hidup masyarakat Barat
atau masyarakat non-Barat yang menganut sekularisme sebagai pandangan
hidupnya.
Dalam Encyclopedic World Dictionary, Patrick Hanks mengartikan sekularisme (secularism) sebagai (1) secular spirit or tendencies, esp. a system of political or social philosophy which rejects all forms of religious faith and worship; (2) the view that public education and other matters of civil policy should be conducted without the introduction of a religious element. Artinya: (1) spirit atau kecenderungan sekuler, khususnya sistem politik atau filsafat sosial yang menolak segala bentuk kepercayaan dan ibadat keagamaan; (2) pandangan bahwa pendidikan umum dan segala urusan kebijakan sipil dilaksanakan tanpa pengenalan unsur keagamaan. Dari pengertian sekularisme yang dikemukakan oleh Patric Hanks itu, dapat disimpulkan bahwa sekularisme mendikotomikan secara kontras dan memisahkan hal-hal yang agamawi dari hal-hal yang duniawi dalam kehidupan manusia. Sekularisme menolak segala bentuk ikatan kepercayaan dan praktik ibadah keagamaan dalam sistem politik dan filsafat sosial, dan menolak pengenalan unsur-unsur keagamaan dalam sistem pendidikan umum dan segala urusan kebijakan sipil. Ringkas kata, dapat disimpulkan bahwa ajaran, norma, tuntunan, petunjuk, bimbingan, dan nilai-nilai agama yang bersumber atau berasal dari Tuhan ditinggalkan, dipisahkan, dan ditolak oleh masyarakat yang memakai sekularisme sebagai falsafah dan dasar pandangan hidup. Penerapan sekularisme disebut sekularisasi. Peter Berger mendefinisikan sekularisasi sebagai ”the process by which sectors of society and cultuture are removed from the domination of religious institutions and symbols” (proses pencabutan dominasi institusi-institusi dan simbol-simbol agama dari sektor-sektor kehidupan dan kebudayaan masyarakat). Senada dengan Peter Berger, Harvey Cox memaknai sekularisasi sebagai ”secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds towards this one.” (Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, yakni pengalihan perhatian manusia dari kehidupan ukhrawi kepada kehidupan duniawi sekarang ini). Kepercayaan kepada Tuhan dianggap Kuno dan Takhayul David Raphael Klein yang mencoba menelusuri awal mula terjadinya proses sekularisasi di Barat. Klein mengatakan, sulit memastikan kapan proses awal terjadinya sekularisasi di Barat itu, apakah bersamaan dengan Gotenberg, Galileo, revolusi industri, atau sejak Darwinisme. Namun, kata Klein, orang Barat mulai kehilangan kepercayaannya kepada Tuhan pada suatu masa dalam perjalanan sejarah. Hilangnya kepercayaan kepada Tuhan inilah yang menyebabkan orang Barat berpandangan hidup sekuler, menganggap hidup ini sebagai suatu hal yang bersifat kebetulan, menganggap dosa sebagai persoalan sosiologis yang relatif, dan akhirnya menganggap kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang sudah kuno, usang, dan takhayul semata. Persis seperti digambarkan oleh Klein: "The idea that God created man became old-fashionable: we evolved. The notion of hell was picturesque, but no longer compelling. Life began to be seen as more or less accidental; sin became a relatif sociological matter, and to many a pure fiction. After millenniums of living under Gods, man came to regard such belief as archaic and supertitious." (Paham bahwa Tuhan menciptakan manusia telah dianggap kuno: kita manusia mengalami evolusi (berkembang dari bentuk-bentuk sederhana sampai kepada wujud yang sekarang ini). Pikiran tentang neraka adalah indah, tetapi tidak lagi meyakinkan. Hidup mulai dilihat kurang lebih sebagai suatu yang kebetulan saja; dosa menjadi masalah sosiologis yang bersifat relatif dan, bagi kebanyakan orang, dosa dipandang sebagai fiksi (khayalan) semata. Sesudah beribu-ribu tahun hidup di bawah bayangan kekuasaan berbagai Tuhan, orang [Barat] memandang kepercayaan yang demikian itu sebagai sesuatu yang kuno dan bersifat takhayul). Permissive Society
Kalau manusia atau masyarakat
sudah dibebaskan dari asuhan agama dan metafisika, apa yang terjadi? Kalau
manusia atau masyarakat sudah menganggap kepercayaan kepada Tuhan
sebagai sesuatu yang kuno, usang, dan takhayul, apa yang terjadi? Ajaran
agama dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi ukuran baik buruk perilaku
manusia tidak lagi berpengaruh dalam kehidupan mereka karena telah
disisihkan, ditinggalkan, dan ditolak oleh mereka.
Dalam masyarakat yang hidup tanpa asuhan agama dan metafisika dan menganggap kepercayaan kepada Tuhan sebagai barang usang, kuno, dan takhayul, maka permissiveness (paham serbaboleh) merajalela secara merata di setiap aspek kehidupan, baik kehidupan moral, kehidupan kultural, maupun kehidupan sosial. Manusia atau masyarakat tersebut menjadi masyarakat sekuler (secular society), mempraktikkan moral permisif (permissive morality) dan menciptakan budaya permisif (permissive culture). Inilah sebenarnya yang terjadi pada masyarakat Barat dan masyarakat non-Barat yang menganut sekularisme. Keserbabolehan menjadi ciri khas dan karakteristik masyarakat sekuler yang bermoral permisif dan berkultur permisif. Karena sudah menjadi masyarakat sekuler yang bermoral dan berbudaya permisif, maka free sex (melakukan hubungan seks bebas) boleh-boleh saja. Di Barat, kondom disediakan dalam kotak mesin di toilet-tolilet atau pada masa tertentu diadakan condom week (pekan kondom) di mana kondom dibagikan gratis kepada masyarakat. Free sex -nya oke, tapi perlu pakai kondom agar hubungan seksnya aman (dari penyakit HIV/AIDS). Begitu pula, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan (living together) sampai mempunyai anak, aborsi, perkawinan sesama jenis, gay (homoseks), lesbian, sewa rahim, dan bank sperma boleh-boleh saja, legal, dan diterima dalam masyarakat sekuler yang bermoral dan berbudaya permisif. Dalam masyarakat sekuler yang bermoral dan berbudaya permisif, keberadaan dan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) tidak menjadi masalah, diterima, dan dilegalkan. Masyarakat Indonesia menjalani hidupnya dalam asuhan Pancasila (sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa) dan juga menjalani hidupnya dalam asuhan agama dan metafisika. Pancasila, Tuhan, dan agama-agama hadir secara operasional dan fungsional dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kita yakin dan percaya masyarakat Indonesia tidak akan tergerus menjadi masyarakat sekuler yang bermoral dan berbudaya permisif. Dapat dipahami kalau perilaku LGBT ditolak oleh bagian terbesar masyarakat sebagai upaya agar masyarakat Indonesia tidak menjadi masyarakat bermoral dan berbudaya permisif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar