Sabtu, 03 Februari 2018

Permissive Culture

Permissive Culture
Faisal Ismail ;  Guru Besar Program Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
                                                KORAN SINDO, 02 Februari 2018



                                                           
PERMISSIVE culture  (budaya per­­misif) merupakan kon­­­se­kuensi logis dari se­­ku­­­­­­la­ris­me yang secara do­min­an men­­ja­di dasar p­a­n­dang­an hi­­dup ma­sya­rakat Ba­rat atau ma­­sya­ra­kat non-Barat yang meng­­anut ­se­ku­larisme se­­bagai pan­­dang­an hi­dup­nya.

Da­­lam En­­cy­clo­­pedic World Dic­t­­­ionary, P­a­trick Hanks meng­­­­­ar­tikan sekularisme (se­cu­­la­rism) sebagai (1) se­cular spi­rit or ten­­dencies, esp. a sys­tem of po­li­ti­cal or social phi­­lo­so­phy which re­jects all forms of re­li­gious faith and wor­ship; (2) the view that pub­lic edu­cation and other mat­ters of ci­vil policy should be con­duct­e­d wi­t­h­out the in­­­tro­­duct­ion of a religious element. Ar­ti­­nya: (1) spirit atau ke­­­­cen­de­rung­an se­kuler, khu­sus­­­­nya sis­tem po­li­­tik atau fi­l­sa­­fat sosial yang me­­no­lak se­ga­la ben­­tuk ke­per­ca­yaan dan iba­dat ke­­aga­ma­an; (2) pan­dang­­­an bah­­w­a pen­di­dik­­an umum dan se­g­­a­la urusan ke­­bi­jak­­an sipil di­­lak­sa­na­kan tan­­pa pe­nge­nal­an unsur keagamaan.

Dari pengertian sek­u­la­ris­me yang dikemukakan oleh Patric Hanks itu, dapat dis­im­pul­kan bah­wa sekularisme mend­ik­oto­mi­kan secara kon­tras dan me­mi­sah­kan hal-hal yang agamawi dari hal-hal yang du­niawi dalam ke­hidupan m­a­nu­sia. Se­ku­la­ris­me menolak se­ga­la bentuk ikat­an kepercayaan dan praktik iba­dah keagamaan da­lam sistem po­litik dan filsafat so­sial, dan me­nolak pengenalan unsur-un­sur keagamaan dalam sis­tem pen­didikan umum dan se­gala urus­an kebijakan sipil.

Ring­kas kata, dapat disim­pul­kan bahwa ajar­an, norma, tun­tun­an, petunjuk, bimbingan, dan nilai-nilai aga­ma yang ber­sum­ber atau ber­asal dari Tuhan di­tinggalkan, di­pi­sahkan, dan di­tolak oleh ma­sya­ra­kat yang me­makai se­ku­la­ris­me sebagai fal­s­afah dan dasar pan­dangan hidup.

Penerapan sekularisme di­se­­but sekularisasi. Peter Berger men­definisikan sekularisasi se­ba­gai ”the process by which sectors of society and cultuture are re­moved from the domination of re­li­gious institutions and symbols”  (pr­o­ses pencabutan dominasi institusi-institusi dan simbol-simbol agama dari sektor-se­k­tor kehidupan dan kebudayaan ma­syarakat).

Senada dengan Pe­ter Berger, Harvey Cox me­ma­k­nai sekularisasi sebagai ”se­cu­larization is the liberation of man from religious and me­ta­phy­sic­al tutelage, the turning of his attention away from other worlds to­wards this one.” (Sekularisasi ada­lah pembebasan manusia dari asuhan agama dan me­ta­fi­si­ka, yakni pengalihan perh­a­ti­an manusia dari kehidupan ukh­rawi kepada kehidupan du­nia­wi sekarang ini).

Kepercayaan kepada Tuhan dianggap Kuno dan Takhayul

David Raphael Klein yang men­coba menelusuri awal mula ter­jadinya proses sekularisasi di Ba­rat. Klein mengatakan, sulit me­mastikan kapan proses awal ter­jadinya sekularisasi di Barat itu, apakah bersamaan dengan Go­tenberg, Galileo, revolusi in­dus­tri, atau sejak Darwinisme. Namun, kata Klein, orang Barat mu­lai kehilangan k­eperca­ya­an­nya kepada Tuhan pada suatu ma­sa dalam perjalanan sejarah.

Hi­langnya kepercayaan kepada Tu­han inilah yang m­e­nye­bab­kan orang Barat berpandangan hi­dup sekuler, menganggap hi­dup ini sebagai suatu hal yang ber­sifat kebetulan, meng­ang­gap dosa sebagai persoalan sosiologis yang relatif, dan akhir­nya menganggap kepercayaan ke­pada Tuhan sebagai sesuatu yang sudah kuno, usang, dan ta­kha­yul semata. Persis seperti di­gam­barkan oleh Klein:

"The idea that God created man became old-fashionable: we evol­­ved. The notion of hell was pic­t­uresque, but no longer com­pel­ling. Life began to be seen as more or less accidental; sin became a re­la­tif sociological matter, and to many a pure fiction. After mil­le­n­niums of living under Gods, man came to regard such belief as ar­chaic and supertitious." (Paham bah­w­a Tuhan menciptakan ma­nu­sia telah dianggap kuno: kita ma­nusia mengalami evolusi (ber­­kembang dari bentuk-be­n­tuk sederhana sampai kepada wu­jud yang sekarang ini).

Pi­kir­an tentang neraka adalah indah, te­tapi tidak lagi meyakinkan. Hi­­dup mulai dilihat kurang le­bih sebagai suatu yang k­e­be­tul­an saja; dosa menjadi masalah so­siologis yang bersifat relatif dan, bagi kebanyakan orang, do­sa dipandang sebagai fiksi (kha­yalan) semata. Sesudah be­ribu-ribu tahun hidup di bawah ba­yangan kekuasaan berbagai Tu­han, orang [Barat] meman­dang kepercayaan yang de­mi­ki­an itu sebagai sesuatu yang ku­no dan bersifat takhayul).

Permissive Society

Kalau manusia atau ma­sya­ra­kat sudah dibebaskan dari asuh­an agama dan metafisika, apa yang terjadi? Kalau ma­nu­sia atau masyarakat sudah meng­­anggap kepercayaan ke­pa­­da Tuhan sebagai sesuatu yang kuno, usang, dan takhayul, apa yang terjadi? Ajaran agama dan nilai-nilai ketuhanan yang men­jadi ukuran baik buruk pe­ri­laku manusia tidak lagi ber­pe­nga­ruh dalam kehidupan me­r­e­ka karena telah disisihkan, ditinggalkan, dan ditolak oleh me­reka.

Dalam masyarakat yang hidup tanpa asuhan aga­ma dan metafisika dan meng­ang­gap kepercayaan kepada Tu­han sebagai barang usang, ku­no, dan takhayul, maka per­mis­sive­ness (paham serbaboleh) me­­ra­jalela secara merata di se­tiap aspek kehidupan, baik ke­hi­dup­an moral, kehidupan kul­tu­ral, maupun kehidupan sosial.

Ma­nusia atau masyarakat ter­se­but menjadi masyarakat se­ku­ler (secular society), mem­prak­t­ikkan moral permisif (per­mis­sive morality) dan mencipta­kan budaya permisif (permissive cul­ture). Inilah sebenarnya yang ter­jadi pada masyarakat Barat dan masyarakat non-Barat yang meng­anut sekularisme. Kes­er­ba­bolehan menjadi ciri khas dan karakteristik masyarakat se­kuler yang bermoral permisif dan berkultur permisif. 

Karena sudah menjadi ma­sya­­­rakat sekuler yang bermoral dan berbudaya permisif, maka free sex  (melakukan hubungan seks bebas) boleh-boleh saja. Di Ba­­­rat, kondom disediakan da­lam ko­tak mesin di toilet-tolilet atau pa­da masa tertentu di­ada­kan con­d­om week  (pekan kon­dom) di mana kondom di­ba­gi­kan gratis ke­pada masyarakat.

Free sex -nya oke, tapi perlu pa­kai kondom agar hu­bungan seks­nya aman (dari pe­nyakit HIV/AIDS). Be­gitu pu­la, hidup ber­sama tan­pa ikatan pernikah­an (living to­gether) sam­pai mem­punyai anak, aborsi, per­ka­­winan se­sa­ma jenis, gay (ho­mo­­­seks), les­bi­an, sewa rahim, dan bank sperma boleh-boleh sa­ja, legal, dan dit­e­ri­ma dalam ma­sya­rakat sekuler yang bermo­ral dan berbudaya per­misif. Da­lam ma­syarakat se­ku­ler yang bermoral dan ber­bu­da­ya per­mi­sif, ke­ber­adaan dan perilaku les­bi­an, gay, biseksual, dan trans­gend­er (LGBT) tidak menjadi ma­sa­lah, d­i­terima, dan dilegalkan.

Masyarakat Indonesia men­ja­­lani hidupnya dalam asu­han Pan­­­casila (sila pertamanya Ke­tu­han­­an yang Maha Esa) dan ju­ga me­­n­jalani hidupnya dalam asuh­an agama dan metafisika. Pan­c­a­si­la, Tuhan, dan agama-agama ha­­dir secara operasional dan fung­­­sional dalam keh­i­dup­an masyarakat Indonesia.

Kita ya­kin dan percaya masyarakat In­do­ne­sia tidak akan tergerus men­­­jadi ma­syarakat sekuler yang ber­mo­ral dan berbudaya per­­misif. Da­pat dipahami kalau pe­­rilaku LGBT ditolak oleh ba­gi­an ter­be­sar masyarakat se­ba­gai upa­ya agar masyarakat In­do­ne­sia tidak men­jadi masyarakat bermoral dan berbudaya permisif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar