Perempuan
dalam Pilkada 2018
Noory Okthariza ; Peneliti di Centre for Strategic International
Studies
(CSIS), Jakarta
|
KOMPAS,
02 Februari
2018
Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 27
Juni 2018 menyisakan tanda tanya soal seberapa inklusif sistem politik
Indonesia mendorong partisipasi politik perempuan.
Lihatlah data rekapitulasi kandidat yang
sudah dilansir di laman resmi Komisi Pemilihan Umum. Dari total 573 calon gubernur
dan bupati yang akan berkompetisi di 171 daerah, hanya ada 49 perempuan.
Untuk calon wakil gubernur dan wakil bupati, kondisinya hampir sama. Dari 573
calon, perempuan berjumlah 53 orang saja.
Yang paling parah kalau kita menilik data
calon pemimpin di tingkat provinsi. Dari 58 pasang calon gubernur dan wakil
gubernur yang akan berlaga Juni, hanya ada dua calon gubernur dan lima calon
wakil gubernur perempuan. Ini berarti secara keseluruhan jumlah calon
perempuan hanya 3,4 dan 8,6 persen.
Memang minimnya partisipasi perempuan dalam
politik juga terjadi di negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya ada
enam gubernur perempuan dari 50 negara bagian. Namun, jika dibandingkan
kondisi Indonesia memang menyedihkan. Dari 34 provinsi, tak satu pun gubernur
perempuan sedang menjabat.
Angka tersebut tentu bukan hal yang
menggembirakan. Di tengah semangat global yang ingin meletakkan partisipasi
perempuan sebagai arus utama politik modern, kita boleh melihat ini sebagai
sebuah kemunduran.
PBB, misalnya, menempatkan kesetaraan
jender sebagai satu dari 17 sustainable development goals, target pembangunan
berkelanjutan yang disepakati secara universal. Salah satu indikator
kesetaraan jender adalah persamaan kesempatan sekaligus persamaan
representasi politik kaum perempuan.
Tren pengarusutamaan perempuan dalam
politik hari ini tentu dilakukan dengan alasan- alasan mendasar. Laporan
Inter- Parliamentary Union, lembaga nirlaba yang bekerja sama dengan parlemen
di seluruh dunia, menyebutkan, dibandingkan dengan laki-laki, anggota
parlemen perempuan di mana pun cenderung mementingkan isu-isu sosial sebagai
prioritas legislasi. Isu- isu ini antara lain hak-hak pensiun dan jaminan
hari tua, cuti melahirkan, tempat penitipan anak, dan kesetaraan pendapatan.
Isu sosial tersebut sering secara sinis
dianggap sebagai ”agenda perempuan”. Pandangan seperti ini kurang tepat dan
senyatanya tidak menggambarkan tuntutan hidup yang kian kompleks dewasa ini.
Ambil contoh tempat penitipan anak. Ini
adalah hak pokok yang sudah seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama. Di
kota sebesar dan sesibuk Jakarta, idealnya sudah harus ada inisiatif yang
digagas oleh pemerintah provinsi untuk menciptakan public day care.
Sekurang-kurangnya pemerintah provinsi menekan perusahaan-perusahaan besar
(atau dengan memberikan insentif pajak, misalnya) agar menyediakan tempat
penitipan anak yang aman dan nyaman agar kedua orangtua si anak bisa bekerja
dengan tenang.
Isu kepastian soal jaminan hari tua juga
tak kalah penting. Jaminan hari tua bisa menjadi program perlindungan sosial
bagi setiap pekerja menyongsong hari tua. Dengan kepastian ini, para pekerja
yang sudah tua tak perlu terlalu mengkhawatirkan nasib anak-anaknya ke depan
jika kelak mereka pensiun.
Karena itu, ”agenda perempuan” tak boleh
dilihat secara sempit. Justru isu-isu sosial ini jika dilaksanakan secara
efektif dapat mendatangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati semua orang, tak
hanya kaum perempuan.
Dua
sebab
Mengapa partisipasi calon perempuan dalam
Pilkada 2018 demikian rendah? Apa yang bisa dilakukan agar ke depannya jumlah
calon perempuan bertambah? Betapapun pentingnya dua pertanyaan ini, kita
hanya bisa menjawabnya secara spekulatif.
Kita bisa menyebut setidaknya dua hal.
Pertama, kultur politik yang masih feodalistik dan patriarkal. Kedua,
rendahnya pengetahuan publik soal kesetaraan jender. Sudah jadi rahasia umum,
mayoritas parpol di Indonesia berjalan atas kontrol pendiri partai.
Meritokrasi tidak pernah secara sungguh-sungguh dijalankan dan tergantikan
oleh patronisme politik yang kental.
Kita juga sangat jarang mendengar ketua
atau pengurus perempuan di tingkat DPP, DPD, atau DPC. Sebagian besar
keputusan-keputusan strategis partai, seperti pencalonan kepala daerah atau
penentuan nomor urut kandidat dalam pemilu, dikerjakan oleh pengurus
laki-laki.
Secara tak langsung, hal ini boleh jadi
mengecilkan peluang perempuan untuk diusung sebagai kandidat di dalam pemilu.
Yang menyedihkan, kalaupun ada politisi
perempuan yang menduduki jabatan publik di tingkat nasional dan daerah,
posisi tersebut didapatkan lebih karena faktor kekerabatan. Misalnya, ia anak
perempuan atau istri seorang pejabat tinggi atau pimpinan partai tertentu,
bukan murni karena kualitas personalnya yang menonjol. Ini membuat kita patut
skeptis soal sejauh mana keberadaan mereka di jabatan publik benar-benar
merepresentasikan ”agenda perempuan”.
Soal lain, lemahnya pemahaman masyarakat
tentang kesetaraan jender. Pandangan dikotomis bahwa perempuan harus mengurus
masalah domestik rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah masih
sangat mengakar di Indonesia. Padahal, tuntutan kehidupan saat ini yang
ditandai biaya hidup yang kian tinggi seharusnya membuat cara pandang
dikotomis perlahan-lahan memudar.
Selain itu, di sejumlah tempat di Indonesia
ada aturan-aturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti
pemberlakuan jam malam dan larangan keluar tanpa ditemani mahram (suami atau
saudara kandung). Dalam konteks kampanye politik di pilkada, aturan seperti
ini jelas membatasi ruang gerak kandidat perempuan dalam berkampanye dan
mendekatkan diri ke konstituen.
Rendahnya pemahaman akan kesetaraan jender
membuat calon perempuan sulit bersaing dengan calon laki-laki di pilkada. Ini
karena banyak pemilih yang masih menilai jabatan politik, seperti kepala
daerah dan anggota Dewan, adalah jabatan laki-laki.
Memang menghadirkan perempuan dalam politik
tak cukup diupayakan lewat rekayasa sistem politik saja. Perlu ada perubahan
kultural dan perbaikan kesadaran publik soal pentingnya aspek kesetaraan
jender. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar