Kamis, 15 Februari 2018

Menuju Rezim Bunga Kompetitif

Menuju Rezim Bunga Kompetitif
Teguh Santoso ;    Dosen Departemen Ilmu Ekonomi & Peneliti Pada Center for Economics and Develoment Studies, FEB Unpad
                                                  DETIKNEWS, 12 Februari 2018



                                                           
Tingginya tingkat bunga kredit di Indonesia masih menjadi problematika yang cukup pelik dalam upaya menciptakan daya saing perekonomian. Bagi rumah tangga dan perusahaan, tingginya tingkat bunga akan menjadi kendala dalam aktivitas konsumsi dan investasi, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla bahkan sering menyinggung tingginya tingkat bunga di Indonesia. Otoritas moneter pun merespons sentilan tersebut dengan melaksanakan kebijakan moneter longgar.

Selama 2017 Bank Indonesia telah 2 kali menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) atau 0,5%. Upaya tersebut terlihat membuahkan hasil meski belum cukup signifikan. Per November 2017 (data terbaru dari OJK), rata-rata tingkat bunga kredit modal kerja, investasi dan konsumsi sebesar 11,45%. Meski demikian, sudah terlihat arah relaksasi tingkat bunga di mana pada Oktober 2017 rata-rata tingkat bunga kredit sebesar 11,55%.

Penurunan tingkat bunga sebesar 10 bps tersebut telah berhasil mendorong laju pertumbuhan kredit sebesar 1,05% menjadi Rp 4.645 Triliun. Secara rata-rata, selama periode Januari–November 2017, telah terjadi penurunan tingkat bunga kredit sebesar 0,06% atau 6 bps. Sedangkan laju pertumbuhan kredit secara rata-rata sebesar 0,67%. Net Interest Margin (NIM) perbankan juga telah menunjukkan arah penurunan. Selama 2016, rata-rata NIM perbankan sebesar 5,59%. Sementara per November 2017 rata-rata 5,34% atau turun sebesar 25 bps. Data tersebut menunjukkan bahwa upaya pemerintah dan otoritas terkait cukup membuahkan hasil, meski masih terbuka peluang untuk terus mendorong tercapainya tingkat bunga yang kompetitif.

Elastis

Jika ditelisik lebih dalam lagi, respons permintaan kredit terhadap perubahan tingkat bunga perlu dilihat sifat elastisitasnya. Hasil perhitungan elastisitas dari data outstanding kredit dan rata-rata tingkat bunga kredit periode Oktober–November 2017, menunjukkan elastisitas permintaan kredit sebesar -1,15 atau bersifat elastis. Artinya setiap 1% penurunan tingkat bunga akan direspons kenaikan permintaan kredit sebesar 1,15%. Dari sifat elastisitas tersebut, permintaan kredit terlihat cukup peka terhadap perubahan (penurunan) tingkat bunga.

Dalam konsep teori ekonomi mikro, jika permintaan terhadap suatu barang atau jasa bersifat elastis, maka strategi penurunan harga (tingkat bunga) akan efektif untuk meningkatkan revenue (pendapatan) yang pada akhirnya meningkatkan profitabilitas. Dengan demikian, perbankan hendaknya tidak takut akan berkurangnya profitabilitas ketika tingkat bunga turun. Penurunan tingkat bunga akan terkompensasi dengan peningkatan jumlah permintaan kredit sehingga akan tetap meningkatkan pendapatan bunga dan profitabilitas.

Saat ini, penurunan tingkat bunga memang sedikit menurunkan pendapatan bunga bersih bank. Pada 2016, rata-rata pertumbuhan pendapatan bunga bersih sebesar 0,32% sedangkan pada 2017 sebesar 0,2%. Namun dalam jangka panjang, dengan asumsi faktor lain tetap, penurunan tingkat bunga akan dapat mendorong peningkatan pendapatan bunga yang berasal dari peningkatan permintaan kredit.

Terbuka PeluangTren penurunan tingkat bunga diharapkan masih berlanjut untuk mendukung daya saing perekonomian. Hal tersebut juga didukung dengan adanya peluang penurunan kembali jika melihat berbagai faktor seperti arah kebijakan moneter, stabilitas makro, biaya dana (cost of fund), biaya overhead hingga risiko kredit. Jika dilihat dari arah kebijakan moneter, Bank Indonesia terlihat masih menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menahan tingkat bunga acuan (seven days repo rate) meski beberapa negara justru menaikkan bunga acuannya, utamanya Amerika Serikat.

Bank Indonesia juga terus berupaya untuk meningkatkan likuiditas perekonomian melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM). Hal tersebut merupakan indikasi bahwa secara makro stabilitas perekonomian masih terjaga dan terbuka ruang untuk mendorong laju aktivitas ekonomi. Selain itu, indikator makro lainnya adalah terjaganya laju inflasi. Selama 2017, rata-rata inflasi tahunan sebesar 3,81%, di bawah sasaran inflasi nasional sebesar 4% +/- 1%.

Dari sisi biaya dana, menunjukkan adanya penurunan biaya simpanan baik deposito, tabungan dan giro. Per November 2017, tingkat bunga tabungan sebesar 1,56% atau menurun 0,12% dibanding Januari 2017. Sementara tingkat bunga giro turun sebesar 0,11% dibanding Januari 2017 menjadi sebesar 2,19%. Tingkat bunga deposito mengalami penurunan yang paling signifikan di antara komponen dana pihak ketiga. Tingkat bunga deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan >12 bulan masing-masing mengalami penurunan 0,67%, 0,57%, 0,44% dan 0,62% dibanding periode Januari 2017.

Biaya dana juga di mungkinkan masih dalam tren menurun mengingat adanya kecenderungan peningkatan likuiditas serta perbaikan peringkat utang RI menjadi investment grade. Perbaikan peringkat hutang tersebut akan berkontribusi terhadap penurunan yield obligasi pemerintah. Mengingat obligasi dan simpanan pada perbankan pada dasarnya merupakan penempatan aset yang bersifat substitusi, maka penurunan yield obligasi akan mendorong penurunan tingkat bunga simpanan, utamanya deposito. Penurunan tingkat bunga simpanan menunjukkan bahwa dari sisi biaya dana pada dasarnya mendukung untuk terus dilakukan penurunan tingkat bunga kredit.

Dari sisi biaya overhead juga mendukung argumentasi penurunan tingkat bunga kredit. Secara rata-rata, terjadi penurunan rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO). Pada 2016 BOPO perbankan rata-rata sebesar 82,33% dan turun menjadi 78,37 pada 2017. Data tersebut menunjukkan bahwa perbankan telah dapat menekan biaya operasional dan beroperasi secara lebih efisien. Dengan demikian biaya yang dibebankan pada tingkat bunga kredit juga bisa berkurang.

Dari sisi risiko kredit, indikator yang bisa digunakan salah satunya adalah kinerja kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) . Per November 2017, NPL total kredit perbankan sebesar 2,89% dan terendah selama periode Januari–November 2017. Jika dibandingkan dengan NPL periode yang sama tahun 2016 (year on year) turun sebesar 29 basis points. Tren penurunan NPL merupakan indikasi penurunan risiko kredit secara umum, meski pada beberapa sektor seperti pertambangan dan komoditas memiliki NPL yang tinggi. Kondisi tersebut juga lebih disebabkan faktor pelemahan permintaan global. Dengan demikian secara umum, dari sisi NPL risiko kredit perbankan masih relatif terjaga.

Kemauan Perbankan

Jika dilihat dari komponen pembentuknya, tingkat bunga kredit dibentuk dari biaya dana, biaya overhead, risiko kredit (premi risiko) dan ekspektasi keuntungan. Dari ulasan di atas, terdapat peluang penurunan tingkat bunga kredit jika dilihat dari sisi biaya dana, biaya overhead dan risiko kredit. Ketiga komponen tersebut membuka peluang bagi perbankan untuk menurunkan tingkat bunga kredit. Namun masih terdapat satu faktor yang merupakan ranah internal kebijakan bank, yakni ekspektasi keuntungan.

Jika bank dalam tahun buku menargetkan profit yang tinggi, maka bobot ekspektasi keuntungan akan ditingkatkan oleh sebuah bank. Dampaknya adalah tingkat bunga kredit yang tetap tinggi meski pada dasarnya terdapat peluang untuk menurunkannya. Dengan demikian, tinggi rendahnya tingkat bunga kredit sangat ditentukan oleh kemauan perbankan, apakah ingin tetap pada rezim bunga tinggi atau rezim bunga rendah. Namun, seyogianya perbankan harus kembali mengingat juga bahwa adanya bank adalah sebagai agen pembangunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar