Jumat, 16 Februari 2018

Menua dan Terlambat Menyadari Kasih Sayang Orangtua

Menua dan Terlambat
Menyadari Kasih Sayang Orangtua
Candra Malik ;    Budayawan Sufi
                                                  DETIKNEWS, 15 Februari 2018



                                                           
Saya terlahir dari keluarga pemeluk agama Islam. Ibu bercerita, bapak bersegera mengumandangkan azan, yang di dalamnya terkandung dua kalimat syahadat, ke pendengaran saya. Sejak saat itu, kedua orangtua dan keluarga saya meyakini saya pun beragama Islam seperti mereka. Dan, saya mensyukuri ini sebagai berkah tiada tara: hidayah dari Allah yang bahkan saya terima sejak sebelum sanggup berpraduga dan berpikir.

Saya tak hendak berandai-andai: apa yang terjadi jika terlahir dari keluarga yang berbeda. Memang, Rasulullah Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, bersabda, "Setiap manusia tidaklah dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah, lalu orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." Namun, saya lebih memilih mensyukuri fitrah yang Allah berikan pada saya daripada menilai orang lain dan agamanya.

Setiap manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan, pun tidak ada bayi yang bisa memilih ibu dan bapak. Bukankah kedewasaan akan mengantar kita pada pilihan dan keputusan terbaik dalam hidup? Ya, memang. Namun, jika pun demikian, manusia tak dapat menentukan akan wafat dalam keadaan bagaimana. Ia, pun saya dan Anda, hanya berharap kelak segalanya berakhir dengan baik, bahkan lebih baik dari permulaannya.

Setiap kita berangkat ke dunia tanpa pengetahuan, apalagi pengalaman. Manusia dilahirkan dari mulut rahim ibu dalam keadaan yang sama, yaitu tidak tahu dan tidak bisa apa-apa. Seperti tersurat dalam Q.S. An Nahl ayat 78, kemudian Allah jadikan pendengaran, penglihatan, dan hati, agar manusia bersyukur. Kita sama-sama memulai karier sebagai manusia dari nol. Lantas kita belajar tentang banyak hal, yang seluruhnya dimulai dari akhlak mulia.

Dari ibu dan bapak, serta orang-orang di sekitar kita sejak dilahirkan, kita telah belajar bahwa yang bersimbah kotor harus dibersihkan, yang telanjang harus diberi pakaian, yang menangis harus ditenangkan, yang lapar harus diberi asupan, yang lemah harus dilindungi, yang kesepian harus ditemani, yang belum bisa harus diajari, yang keliru harus dibenarkan, yang kurang harus dicukupi, dan seterusnya, dengan cara yang welas asih, baik, dan benar.

Saya tidak ingat bagaimana rasanya menjadi bayi, tapi saya tidak lupa pada kasih sayang ibu dan bapak, serta orang-orang tercinta dan terdekat di dalam hidup saya sejak kecil. Entah bagaimana waktu memberinya bekas pada setiap usia saya, namun saya tahu betul jejak mereka tak akan pernah hilang dari sanubari. Saya yakin, oleh karena saya pernah ditimang-timang saat bayi, saya pun menimang anak-anak kami ketika bayi. Dengan cinta.

Namun, yang saya pahami kemudian tatkala sudah dewasa, ternyata kasih sayang pun mengandung tega. Jika atas nama kasih sayang lantas orangtua terus-menerus menggendong anaknya, maka kaki dan tangan anak itu akan melemah, mengecil, bahkan melumpuh. Anak harus kita lepas pula agar ia belajar merangkak, berdiri, berjalan, dan terjatuh, lantas bangkit lagi. Itulah fitrah kasih sayang. Itulah fitrah kemanusiaan manusia.

Kisah setiap anak tentu berbeda. Ada yang merasa dekat dengan orangtua, ada yang tidak. Namun, sejauh-jauh anak menjauh dari orangtua, tetap saja ia tidak bisa menghapus darah daging dalam dirinya mengandung jiwa raga ibu dan bapaknya. Memang tak ada dosa bawaan atau dosa turunan, tapi agama mengajarkan pada saya adanya kebaikan dan pahala berkelanjutan. Kebaikan dan pahala anak niscaya tak bisa dipisahkan dari budi orangtua.

Fitrah ilahiah (ketuhanan) dan fitrah insaniyah (kemanusiaan) tidak terpisah dari kerasulan Muhammad SAW. Sebab, putra Abdullah dan Aminah inilah yang menghubungkan dan menyambungkan umat manusia dengan Tuhannya. Nabi Muhammad inilah perwujudan nyata dari Rahmat Allah — sebagaimana ia diutus sebagai rahmatan lil 'alamin, anugerah bagi alam semesta. Dan ia bersabda, sesungguhnya ia ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak mulia.

Sesuai fitrah insaniah, akhlak mulia yang ilahiah inilah yang diteteskan dan dititiskan orangtua pada anaknya. Dan inilah diinul Islam, jalan hidup yang lurus dan berserah kepada Allah. Tak pernah benar-benar ada orangtua yang ingin murka pada anaknya, pun tak pernah benar-benar ada anak yang ingin durhaka pada orangtuanya. Jika pun ada, niscaya disebabkan manusia ingin melawan fitrahnya sendiri, dan bahkan ingin mengingkari fitrah Allah.

Allah berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada ad-diin, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah ad-diin yang lurus, namun kebanyakan manusia tak mengetahui," sebagaimana termaktub dalam Q.S Ar Ruum ayat 30. Tapi, apa itu ad-diin? Apakah yang dimaksud adalah agama? Ya. Rasulullah SAW bersabda, "Ad-diin an nashiihah, agama adalah nasihat."

Sabda itu diriwayatkan Muslim dalam hadits yang termaktub di dalam kitab Arba'in, ringkas namun padat. Nasihat, tentu saja, berisi tentang kebaikan dan kebenaran, kearifan dan kebijaksanaan, ketulusan dan kemurnian, serta kasih dan sayang. Bukan ujaran kebencian, kedengkian, keangkuhan, permusuhan, dan keburukan-keburukan lainnya. Dan, bukankah itu pula yang dinasihatkan, bahkan diajarkan dan dididikkan, serta dicontohkan orangtua pada anaknya?

Seburuk-buruk orangtua --mohon maaf menulis yang tidak pantas seperti ini-- tidak menginginkan anaknya buruk, atau sama buruk, apalagi lebih buruk dari dirinya. Orangtua mengharapkan kebaikan untuk anaknya. Orangtua berharap anaknya baik-baik saja. Orangtua berusaha dan berdoa agar anaknya menjadi anak yang baik, yang bahkan lebih baik dari dirinya. Itulah fitrah insaniah, bersumber dari fitrah ilahiah, akar dari akhlak mulia.

Oleh karena itulah, kedudukan orangtua, terutama ibu, teramat mulia di sisi Allah, yang oleh karena itu Rasulullah berpesan agar setiap anak hormat dan patuh pada orangtua. Dan, oleh karena itu pulalah, anak saleh menempati kedudukan yang mulia pula di sisi-Nya, yaitu anak yang bahkan masih berbakti pada orangtuanya yang telah wafat, dengan tetap mendoakannya. Setiap orangtua pada hakikatnya anak dan selama-lamanya anak orangtuanya.

Saya menulis ini menjelang usia 40 tahun dan dalam keadaan merenung terus-menerus, menyadari betapa hidup ternyata singkat dan kepergian kedua orangtua saya terasa terlalu cepat. Belum cukup rasanya, dan tak pernah cukup, belajar dari ibu dan bapak tentang akhlak mulia, fitrah ilahiah dan insaniah, akhlak mulia, diinul Islam, dan hal-hal lain tentang kehidupan. Dan, betapa anak tak akan bisa membalas kasih sayang orangtua.

Sebagaimana anak-anak kami pada saya, saya juga pernah bertanya pada ibu dan bapak, "Di manakah Allah?" Jawaban mereka berkembang, seperti sengaja disesuaikan pertumbuhan dan perkembangan kedewasaan anaknya. Saat saya akil baliqh, bapak memberi jawaban, "Allah itu dekat, tak pernah jauh, apalagi menjauh. Kita saja yang mungkin merasa jauh atau menjauh, namun tak pernah mampu menghapus kedekatan Allah pada makhluk-Nya."

Penjelasan itu sesuai Q.S. Al Baqarah ayat 186, dan ibu menyempurnakan jawaban bapak dengan mengingatkan kami agar senantiasa berdoa pada-Nya. Ya, saya haqqul yaqin Allah sungguh dekat dengan makhluk-Nya. Namun, seiring waktu, saya semakin khawatir pada diri saya sendiri. Saya khawatir merasa dekat dengan Allah. Dan saya lebih khawatir saya merasa lebih dekat dengan Allah dibanding orang lain, bahkan menganggap mereka jauh.

Terutama pada saat-saat seperti inilah saya rindu pada ibu dan bapak, yang telah berpulang. Juga pada saat-saat seperti ini pulalah saya merindukan Rasulullah, sosok suri teladan yang tak pernah saya jumpai dalam rentang usia saya ini. Pun saya rindu pada Allah, yang rahmat-Nya bahkan melampaui kemurkaan-Nya. Tapi, saya belum siap mati. Saya tak pernah siap mati. Apa yang hendak saya bawa jika menjadi baik saja belum. Masih terlalu jauh.

Semakin ke sini semakin saya sadari bahwa ulang tahun sesungguhnya tidak setiap tahun. Sebab, siapa tahu tahun ini adalah ulang tahun terakhir saya. Dan, dari kabar kematian demi kabar kematian yang setiap hari kita terima, saya menjadi semakin paham betapa ajal tidak berdasarkan urutan umur, namun berdasarkan urutan waktu. Jika telah tiba waktu bagi kita, maka tiada yang dapat menunda. Di masa tunggu ini, apa yang bisa saya siapkan?

Ya, Allah memberi balasan atas setiap perbuatan kita, bahkan surga dengan segala kenikmatannya, termasuk para bidadari yang dijanjikan. Namun, saya lebih rindu pada Allah, Rasulullah SAW, dan ibu-bapak. Ya, ibu dan bapak. Bagi saya, ibu dan bapaklah kekasih-kekasih Allah yang sesungguhnya. Kasih sayang orangtua melebihi pelita bagi anaknya. Ibu-bapak menyayangi anak setiap hari, tapi anak sering terlambat menyadari. Kini, saya pun cuma bisa menyesali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar