Selasa, 13 Februari 2018

Menjaga Kewarasan Beragama

Menjaga Kewarasan Beragama
Masduri  ;   Dosen Filsafat dan Pancasila Sunan Ampel Surabaya
                                             KORAN JAKARTA, 07 Februari 2018



                                                           
Semakin lama beragama mestinya kita tambah waras berkeyakinan. Namun nyatanya, agama justru menciptakan fobia dalam kehidupan sehari-hari. Ada ketakutan-ketakutan tak biasa. Ini kemudian mendorong tindakan destruktif. Kasus pembubaran bakti sosial Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan di Bantul Yogyakarta, penganiayaan terhadap Kiai Umar Basri di Bandung, Jawa Barat, dan penyisiran (sweeping) desa yang dianggap tempat prostitusi di Pamekasan Madura baru-baru ini, menandai betapa kita kaum beragama telah kenghilangan kewarasan.

Sampai-sampai agama, yang di dalamnya mengajarkan cinta kasih, menjadi dalih mengekang, memukuli, dan menggerebek rumah orang, hingga mengakibatkan acara bakti sosial gagal, kiai babak belur di Bandung, ibu-ibu dan anak-anak luka-luka di Pamekasan.

Kasus-kasus tersebut hanya sesobek realitas keberagamaan kita yang kian tak waras. Dalam bentuk lain ketakwarasan beragama bisa dilihat dalam beragam tindakan seperti penyesatan, pengafiran, aksi teror, sampai upaya menghabisi nyawa seseorang atas nama agama. Agama dijungkalkan sedemikian rupa demi memuaskan hasrat dan ketakutan-ketakutan di dalam diri.

Tindakan menyesatkan, mengafirkan, meneror, sampai membunuh orang atas nama agama sejatinya upaya mengkultuskan diri sebagai penafsir agama paling benar dan pemegang kendali tunggal kebenaran agama. Pada titik ini, Husein Muhammad, menyebut tindakan demikian sebagai bentuk syirik besar karena hendak menandingi Tuhan.

Kita memang lebih mudah memuja diri sendiri beserta kebenaran-kebenaran yang diyakini. Agama sebagai ruang dan harapan masa depan yang menjanjikan keselamatan abadi menjadi ladang basah mengeruk kekayaan pahala. Sementara itu, pada bagian lain meruntuhkan harapan orang mendapat pahala berlimpah. Bayangkan, betapa naifnya nasib seseorang. Misalnya, karena dituduh pelaku maksiat, sesat, dan kafir, harus menerima pukulan dan teror sampai berujung kematian. Di sisi lain, ada orang yang merasa berpesta pahala karena telah membunuh pelaku maksiat, orang sesat dan kafir.

Tesis Karl Marx tentang agama sebagai candu nyatanya sampai sekarang masih relevan. Orang seringkali kehilangan kewarasan dalam beragama karena terlalu mengandaikan keselamatan abadi. Dia sampai lupa, jalan Tuhan sejatinya kemaslahatan. Orang juga sering lupa tentang surga sebagai rahmat. Banyak orang mengira surga dapat dibeli dengan salat, puasa, zikir, sedekah, dan segala bentuk ibadah lainnya.

Mereka lupa bahwa itu hanya pengantar mendekatkan diri ke surga. Selebihnya surga adalah kuasa Tuhan. Kalau surga dapat dibeli dengan ibadah, yang masuk hanya orang-orang kaya. Sebab, mereka telah mengapling surga melalui sedekah dalam jumlah besar kepada fakir miksin, anak yatim, dan pembangunan tempat ibadah.

Nalar Etis

Beragama sesungguhnya memasrahkan kebenaran jalan hidup kepada Tuhan. Karena berpasrah pada Tuhan, mestinya manusia tak hadir sebagai hakim atas agama dan keyakinan orang lain. Kita mesti terus menarik agama ke dalam, jauh pada relung kesendirian sebagai manusia. Dengan begitu, kita dapat melihat cahaya benderang ketuhanan di dalam hati. Menyadari diri ini tak memiliki kekuasaan apa pun untuk mengendalikan pikiran dan hati orang lain agar meyakini yang kita nilai dan anggap benar.

Agama merupakan sumber etika. Di dalamnya orang mengandaikan kehidupan sosial bermartabat. Mengembalikan agama ke ruang privat sebagai kesadaran personal, bukan upaya untuk membuang agama dalam kehidupan modern. Justru dengan begitu, agama sesungguhnya mesti menghadirkan ruang kehidupan sosial yang menjamin hak setiap individu bebas beragama dan berekpsresi sesuai dengan keyakinannya. Ini dijamin negara melalui undang-undang sebagai aturan kehidupan bersama (Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity, 2003).

Indonesia memang bukan negara sekuler, bukan juga negara agama. Orang banyak menyebut Indonesia negara berketuhanan karena memancarkan sinar suci agama-agama. Hanya, itu menjadi tak elok ketika negara berketuhanan ini justru mengubur dalam-dalam etika kesantunan beragama.

Kasus pembubaran bakti sosial Gereja di Bantul, penganiayaan kiai di Bandung, dan sweeping di Pamekasan Madura, misalnya, contoh nyata hilangnya nalar etis beragama kita. Ini suatu puncak ketakwarasan beragama.

Mestinya orang tetap menjaga kewarasan beragama. Caranya sederhana. Cukup menjawab pertanyaan ini dengan waras. Kalau kita meyakini Tuhan itu pengasih dan penyayang, akankah tindakan pembubaran, penganiayaan, penyisiran, dan atau tindakan teror yang mengganggu orang lain, bahkan berujung kematian, dibenarkan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang? Kasih Tuhan itu tak terbatas, melampaui sekat-sekat suku dan agama.

Tentang surga dan neraka, kita harus banyak belajar ke Abu Nawas yang merasa sangat tak pantas masuk surga. Sebab terlalu banyak dosa yang dilakukannya. Namun, dia pun merasa tak kuasa dengan gambaran api neraka. Dia lalu mohon ampun atas segala dosanya.

Jangan sampai kerakusan kita terhadap surga, membuat mata pikiran dan hati tumpul tak bertepi, seolah-olah tak memiliki dosa dan kesalahan, sehingga mudah mendiskreditkan orang lain. Para penganut agama, apa pun bentuk keyakinan dan ibadahnya, sesungguhnya sama-sama mengandaikan surga hadir.

Maka, perlu direnungkan ungkapan Abu Nawas. “Maka jika Engkau mengampuni, Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku mengharap?” Surga harus dikembalikan pada kemahabaikan Tuhan. Pengampunan dan keselamatan akan didapat orang-orang yang baik terhadap sesamanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar