Menjaga
Kewarasan Beragama
Masduri ; Dosen Filsafat dan Pancasila Sunan Ampel Surabaya
|
KORAN
JAKARTA, 07 Februari 2018
Semakin
lama beragama mestinya kita tambah waras berkeyakinan. Namun nyatanya, agama
justru menciptakan fobia dalam kehidupan sehari-hari. Ada ketakutan-ketakutan
tak biasa. Ini kemudian mendorong tindakan destruktif. Kasus pembubaran bakti
sosial Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan di Bantul Yogyakarta,
penganiayaan terhadap Kiai Umar Basri di Bandung, Jawa Barat, dan penyisiran
(sweeping) desa yang dianggap tempat prostitusi di Pamekasan Madura baru-baru
ini, menandai betapa kita kaum beragama telah kenghilangan kewarasan.
Sampai-sampai
agama, yang di dalamnya mengajarkan cinta kasih, menjadi dalih mengekang,
memukuli, dan menggerebek rumah orang, hingga mengakibatkan acara bakti
sosial gagal, kiai babak belur di Bandung, ibu-ibu dan anak-anak luka-luka di
Pamekasan.
Kasus-kasus
tersebut hanya sesobek realitas keberagamaan kita yang kian tak waras. Dalam
bentuk lain ketakwarasan beragama bisa dilihat dalam beragam tindakan seperti
penyesatan, pengafiran, aksi teror, sampai upaya menghabisi nyawa seseorang
atas nama agama. Agama dijungkalkan sedemikian rupa demi memuaskan hasrat dan
ketakutan-ketakutan di dalam diri.
Tindakan
menyesatkan, mengafirkan, meneror, sampai membunuh orang atas nama agama
sejatinya upaya mengkultuskan diri sebagai penafsir agama paling benar dan
pemegang kendali tunggal kebenaran agama. Pada titik ini, Husein Muhammad,
menyebut tindakan demikian sebagai bentuk syirik besar karena hendak
menandingi Tuhan.
Kita
memang lebih mudah memuja diri sendiri beserta kebenaran-kebenaran yang
diyakini. Agama sebagai ruang dan harapan masa depan yang menjanjikan
keselamatan abadi menjadi ladang basah mengeruk kekayaan pahala. Sementara
itu, pada bagian lain meruntuhkan harapan orang mendapat pahala berlimpah.
Bayangkan, betapa naifnya nasib seseorang. Misalnya, karena dituduh pelaku
maksiat, sesat, dan kafir, harus menerima pukulan dan teror sampai berujung
kematian. Di sisi lain, ada orang yang merasa berpesta pahala karena telah
membunuh pelaku maksiat, orang sesat dan kafir.
Tesis
Karl Marx tentang agama sebagai candu nyatanya sampai sekarang masih relevan.
Orang seringkali kehilangan kewarasan dalam beragama karena terlalu
mengandaikan keselamatan abadi. Dia sampai lupa, jalan Tuhan sejatinya
kemaslahatan. Orang juga sering lupa tentang surga sebagai rahmat. Banyak
orang mengira surga dapat dibeli dengan salat, puasa, zikir, sedekah, dan
segala bentuk ibadah lainnya.
Mereka
lupa bahwa itu hanya pengantar mendekatkan diri ke surga. Selebihnya surga
adalah kuasa Tuhan. Kalau surga dapat dibeli dengan ibadah, yang masuk hanya
orang-orang kaya. Sebab, mereka telah mengapling surga melalui sedekah dalam
jumlah besar kepada fakir miksin, anak yatim, dan pembangunan tempat ibadah.
Nalar Etis
Beragama
sesungguhnya memasrahkan kebenaran jalan hidup kepada Tuhan. Karena berpasrah
pada Tuhan, mestinya manusia tak hadir sebagai hakim atas agama dan keyakinan
orang lain. Kita mesti terus menarik agama ke dalam, jauh pada relung
kesendirian sebagai manusia. Dengan begitu, kita dapat melihat cahaya
benderang ketuhanan di dalam hati. Menyadari diri ini tak memiliki kekuasaan
apa pun untuk mengendalikan pikiran dan hati orang lain agar meyakini yang
kita nilai dan anggap benar.
Agama
merupakan sumber etika. Di dalamnya orang mengandaikan kehidupan sosial
bermartabat. Mengembalikan agama ke ruang privat sebagai kesadaran personal,
bukan upaya untuk membuang agama dalam kehidupan modern. Justru dengan
begitu, agama sesungguhnya mesti menghadirkan ruang kehidupan sosial yang
menjamin hak setiap individu bebas beragama dan berekpsresi sesuai dengan
keyakinannya. Ini dijamin negara melalui undang-undang sebagai aturan
kehidupan bersama (Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity,
Islam, Modernity, 2003).
Indonesia
memang bukan negara sekuler, bukan juga negara agama. Orang banyak menyebut
Indonesia negara berketuhanan karena memancarkan sinar suci agama-agama.
Hanya, itu menjadi tak elok ketika negara berketuhanan ini justru mengubur
dalam-dalam etika kesantunan beragama.
Kasus
pembubaran bakti sosial Gereja di Bantul, penganiayaan kiai di Bandung, dan
sweeping di Pamekasan Madura, misalnya, contoh nyata hilangnya nalar etis
beragama kita. Ini suatu puncak ketakwarasan beragama.
Mestinya
orang tetap menjaga kewarasan beragama. Caranya sederhana. Cukup menjawab
pertanyaan ini dengan waras. Kalau kita meyakini Tuhan itu pengasih dan
penyayang, akankah tindakan pembubaran, penganiayaan, penyisiran, dan atau
tindakan teror yang mengganggu orang lain, bahkan berujung kematian,
dibenarkan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang? Kasih Tuhan itu tak terbatas,
melampaui sekat-sekat suku dan agama.
Tentang
surga dan neraka, kita harus banyak belajar ke Abu Nawas yang merasa sangat
tak pantas masuk surga. Sebab terlalu banyak dosa yang dilakukannya. Namun,
dia pun merasa tak kuasa dengan gambaran api neraka. Dia lalu mohon ampun
atas segala dosanya.
Jangan
sampai kerakusan kita terhadap surga, membuat mata pikiran dan hati tumpul
tak bertepi, seolah-olah tak memiliki dosa dan kesalahan, sehingga mudah
mendiskreditkan orang lain. Para penganut agama, apa pun bentuk keyakinan dan
ibadahnya, sesungguhnya sama-sama mengandaikan surga hadir.
Maka,
perlu direnungkan ungkapan Abu Nawas. “Maka jika Engkau mengampuni, Engkaulah
yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku
mengharap?” Surga harus dikembalikan pada kemahabaikan Tuhan. Pengampunan dan
keselamatan akan didapat orang-orang yang baik terhadap sesamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar