Memutus
Mata Rantai Kekerasan
Munawir Aziz ; Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS.COM,
13 Februari
2018
AKSI penyerangan di Gereja
Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yoyakarta, pada Minggu
(11/2/2018), menjadi catatan memilukan dari wilayah ini. Pada pagi yang
khusyuk, di tengah proses ibadat di gereja ini, seorang lelaki dengan senjata
tajam masuk ke selasar lalu melakukan serangan membabi buta.
Suliyono (23 tahun),
lelaki itu, seolah kalap mengayun-ayunkan pedang ke arah pastor dan jemaat.
Ia menyerang secara garang dan melawan aparat keamanan, sebelum akhirnya
dilumpuhkan. Empat orang terluka, mulai dari jemaat, pastor, hingga aparat
kepolisian.
Meski dianggap sebagai
lonewolf terrorism atau teror oleh pelaku tunggal yang tidak terafiliasi
dengan kelompok teror mana pun, aksi ini membuka tabir gelap betapa kekerasan
telah menjadi titik penting untuk memahami Indonesia kini.
Serangan-serangan teror
saat ini seolah menarget pemuka agama sebagai korban. Belum lama berselang,
Sabtu (27/1/2018), seorang kiai di Cicalengka, Jawa Barat, dibacok
"orang gila". Lalu, pada Rabu (7/2/2018), seorang biksu di
Kabupaten Tangerang, Banten, juga dipersekusi.
Sebelumnya, catatan aksi
teror di Yogyakarta sering terdengar sebagai entakan kekerasan. Tim Detasemen
Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri, misalnya, pernah menangkap terduga
terorisme di wilayah ini.
Pada 25 Agustus 2015, Agus
Ari ditangkap Densus 88. Berikutnya, pada 7 Juni 2017, seorang warga Gunung
Kidul, Yogyakarta, diamankan Densus 88 karena dianggap sebagai pemberi dana
ke jaringan ISIS di Marawi, Filipina.
Kasus kekerasan yang
terjadi di Yogyakarta membuat ingatan saya melayang ke masa silam. Selama
beberapa tahun saya bermukim di wilayah ini untuk belajar di sebuah perguruan
tinggi dan ngaji di Pesantren Krapyak.
Waktu itu, rasanya
ketenteraman dan suasana tenang adalah bagian dari keseharian. Hidup terasa
seimbang, antara kampus dan pesantren, antara suasana akademis dan ngopi di
angkringan. Yogyakarta dalam ingatan adalah tempat yang tenteram dan penuh
kenangan.
Namun, Yogyakarta juga
membuat saya tersentak ketika terjadi aksi penyerangan terhadap sebuah
lembaga diskusi. Pada 9 Mei 2012, sekelompok orang mengobrak-abrik lokasi
diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji.
Darinya, saya jadi ingat
betul, betapa kekerasan dengan menggunakan simbol-simbol agama telah menjadi
teror untuk menurunkan nilai-nilai toleransi di Yogyakarta. Betapa, wilayah
yang sebelumnya terasa tenang dan damai ternyata menyimpan bara kekerasan.
Indeks
toleransi
Melihat kota-kota di
Indonesia dalam indeks toleransi seolah berhadapan dengan peta untuk memahami
kekerasan sekaligus kedamaian dalam ruang publik. Pada akhir 2017, Setara
Institute merilis kajian dan Indeks Kota Toleran di Indonesia.
Indeks tersebut menelaah
94 kota di Indonesia untuk diperingkat dalam isu promosi dan praktik
toleransi. Tujuannya, mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil
membangun serta mengembangkan toleransi di beberapa wilayah.
Dari laporan tersebut,
muncul 10 kota dengan skor toleransi yang tinggi, yakni Manado (5,90),
Pematangsiantar (5,90), Salatiga (5,90), Singkawang (5,90), dan Kota Tual
(5,90). Kota dengan indeks tinggi selanjutnya adalah Binjai (5,80),
Kotamobagu (5,80), Palu (5,80), Tebing Tinggi (5,80), dan Surakarta (5,72).
Sebaliknya, ada sejumlah
kota yang masuk kategori indeks toleransi rendah. Di antara kota-kota ini
(wilayah Provinsi) DKI Jakarta (2,30), Banda Aceh (2,90), Kota Bogor (3,05),
Cilegon (3,20), Depok (3,30), Yogyakarta (3,40), Banjarmasin (3,55), Makassar
(3,65), Padang (3,75), dan Mataram (3,78).
Dari catatan Setara,
indeks lansiran 2017 tersebut tidak ada perubahan signifikan pada pada
kelompok kota dengan skor tertinggi dibandingkan dengan data Indeks Kota
Toleran 2015. Kota-kota peringkat tertinggi pada 2017 adalah kota-kota yang
sama yang sebelumnya ada di posisi itu juga.
Namun, perubahan
signifikan terjadi pada kota-kota atau wilayah yang masuk peringkat indeks
rendah, terutama DKI Jakarta dan Bekasi. Peringkat DKI Jakarta, misalnya,
turun dari 65 pada 2015 menjadi peringkat 94—sekaligus terendah—pada 2017.
Lalu, Setara juga
menempatkan Yogyakarta pada peringkat ke-6 terendah indeks tersebut pada
2017, berdasarkan risetnya. Artinya, Yogyakarta yang selama ini dikenal
dengan jargon "City of Tolerance" sesungguhnya tidak menampilkan
toleransi dalam tindakan dan keseharian.
Pernyataan yang sama
diungkap pada laporan riset Wahid Foundation. Pada 2014, Wahid Foundation
menobatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota—atau wilayah—paling tidak
toleran nomor dua se-Indonesia.
Dari 154 kasus intoleransi
serta pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia sepanjang
2014—dalam catatan Wahid Foundation—, 21 peristiwa di antaranya terjadi di
Yogyakarta.
Pada 2015, peringkat
Yogyakarta sebagai kota paling intoleran bergeser menjadi nomor empat. Dari
190 pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi pada tahun itu, 10 di
antaranya terjadi di Yogyakarta.
Menurut analisis riset
Wahid Foundation, di Yogyakarta terdapat pergulatan politik yang dibungkus
agama. Ada pihak-pihak yang diduga menggunakan simbol agama dan beraliansi
dengan jaringan kelompok garis keras di sini.
Dari narasi besar ini,
perlu ada tindakan untuk memutus mata rantai kekerasan. Terlebih lagi, 2018
dan 2019 merupakan tahun politik dengan adanya pilkada serentak dan pemilu
presiden.
Indeks kekerasan dan
intoleran dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan tindakan pencegahan,
yakni dengan kesadaran betapa kekerasan mudah meletup dan menciptakan
kepanikan di ruang publik.
Teror, kekerasan, atau
penyerangan, sejatinya merupakan pesan untuk mengubah pola permainan atau
konstelasi politik.
Melakukan kekerasan atas
nama agama menggunakan—atau terhadap—simbol keagamaan merupakan kejahatan
yang mengguncang kemanusiaan kita. Tindakan yang diperlukan untuk itu tidak
sekadar menangkap pelaku, tetapi—sekali lagi—harus pula dengan memutus mata
rantai jaringannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar