Kamis, 01 Februari 2018

Mampukah Politisi Menjawab Tiga Persoalan Milenial?

Mampukah Politisi
Menjawab Tiga Persoalan Milenial?
Hasanuddin Ali  ;  Penulis Buku Milenial Nusantara; CEO Alvara Research Center
                                                 KORAN SINDO, 31 Januari 2018



                                                           
WARNA kontestasi po­li­tik 2019 mendatang akan sangat berbeda de­ngan pesta pemilu tahun-ta­hun sebelumnya. Bukan saja ka­rena pemilu legislatif dan pe­milu presiden dilakukan se­ren­tak, tapi juga karena hadirnya para pemilih muda yang akan menyemarakkan pesta de­mo­krasi terbesar di Indonesia ini. Para pemilih generasi milenial yang ber­­usia 17-38 ta­hun ini akan mencapai 52% dari total pe­milih. Itu artinya 1 dari 2 pe­milih adalah generasi milenial.

Tidak heran bila kemudian hampir semua partai dan kan­didat yang akan berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan pe­milu presiden menjadikan pemi­lih milenial sebagai target uta­ma. Untuk membidik pemi­lih milenial ini mereka mela­ku­kan berbagai program ko­mu­ni­kasi dalam mendekatkan diri me­reka dengan pemilih mi­le­nial.

Presiden Joko Widodo ke­rap mendatangi konser-kon­ser musik, berkomunikasi me­la­lui vlog  di Youtube, dan sosial media lain adalah salah satu contoh bagaimana Presiden Joko Widodo ingin lebih dekat dengan generasi milenial. Contoh lain adalah Muhaimin Iskandar, Cak Imin, juga sangat aktif berkomunikasi melalui Instagram dan Twitter melalui tagar #pemimpinzamannow. Partai-partai juga melakukan hal sama, bahkan ada satu partai baru yang menisbatkan dirinya sebagai partai berbasis pada suara generasi milenial.

Mendekati pemilih mi­le­nial memang tidak mudah, me­re­ka cenderung apolitis. Ada ang­gapan di sebagian anak-anak milenial bahwa politik bukanlah dunia mereka, politik ada­lah “mainan” para orang tua. Karena itu, mereka cen­de­rung cuek dengan berbagai hiruk-pikuk proses politik yang terjadi di Indonesia. Studi yang dilakukan Alvara Re­search Center (2016) me­nye­but­kan pemilih milenial se­ba­gi­an besar masuk dalam katego­ri swing voters /pemilih galau dan apathetic voters /pemilih cuek.

Meski semua kandidat dan partai mulai menyasar pemilih milenial, tapi belum ada satu pun yang berbicara lebih subs­tan­sial tentang apa program dan tawaran yang mampu men­­jawab harapan dan ke­bu­tuh­an generasi milenial atau da­lam bahasa lain mereka ma­sih menjadikan generasi milenial sebagai objek, belum men­jadi subjek politik. Padahal de­ngan segala potensi yang ada, generasi milenial sudah me­miliki kemampuan dan ka­pa­bi­litas mumpuni untuk men­jadi pelaku utama dalam pen­tas perpolitikan nasional.

Sektor pendidikan, eko­no­mi, dan ketenagakerjaan ada­lah tiga isu utama menjadi po­kok persoalan yang dihadapi ge­ne­rasi milenial. Sektor pendidikan dihadapi terutama oleh gene­rasi milenial muda yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Bagai­ma­na anak-anak muda milenial ini bisa menda­patkan akses pen­di­­dikan ber­kua­litas guna menjawab tan­tangan masa depan mereka yang semakin tidak mudah.

Banyak sekali pemberitaan di berbagai media yang me­nyo­rot ketidakmampuan generasi milenial untuk membeli ru­mah 3-5 tahun mendatang, naik­nya penda­pat­an generasi milenial itu ter­nyata tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah yang melambung tinggi. Inilah con­toh problem nyata sektor eko­no­mi dihadapi generasi mi­le­nial. Di sisi lain, generasi mi­le­nial lebih con­dong meng­gu­na­kan uangnya untuk keperluan jangka pen­dek, data Alvara Research Cen­ter tahun 2017 menunjukkan ge­nerasi mile­nial me­nga­lo­ka­si­kan 11% dari pengeluaran per bulannya un­tuk mena­bung, investasi, dan asuransi. Se­mentara alokasi untuk ko­mu­nikasi dan internet 9,7% serta untuk hi­bur­an mencapai 4,3%.

Sektor tenaga kerja juga men­­jadi persoalan kunci yang di­­hadapi generasi milenial. Me­reka dihadapkan pada tun­tut­an perkembangan skill  dan kompetensi baru yang tidak dihadapi generasi sebelumnya. Data science, social network analy­sis, computer programing  ada­lah kompetensi yang ba­nyak dibutuhkan di dunia kerja sekarang ini. Hadirnya revolusi industri keempat, seba­gai­ma­na ditulis dalam laporan The Future of Jobs yang dike­luar­kan World Economic Forum tahun 2016 menyebutkan, tren artificial intelligence, mac­hi­ne learning, robotics, nano­tech­nology, 3D printing, genetics and biotechnology  akan me­rom­bak total kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang.

Selain tuntutan untuk be­kerja, gairah generasi milenial untuk berwirausaha juga ting­gi. Survei yang dilakukan Alva­ra Research Center pada Sep­tember 2017 terhadap ma­ha­siswa dan pelajar SMA menyebutkan, cita-cita mereka setelah lulus paling besar ada­­lah ingin menjadi entre­pre­neur. Ini sejalan dengan tren yang terjadi sekarang dengan tum­buh­nya startup -startup  baru yang didominasi anak-anak muda. Gairah wi­rausahawan muda ini perlu di­bantu dan di­fasilitasi agar usa­ha mereka lebih maju. Akses terhadap mo­dal, akses ter­hadap pasar, dan akses ter­hadap sumber daya manusia adalah tiga hal yang sangat mereka butuhkan.

Karena itu, kembali pada ko­n­testasi politik 2019, pen­ting bagi setiap partai politik dan kandidat ikut mem­be­ri­kan solusi terhadap berbagai per­soalan yang dihadapi gene­ra­si milenial, terutama terkait sek­tor pendidikan, ekonomi, dan ketenagakerjaan. Karena generasi milenial inilah yang akan menjadi aktor utama bo­nus demografi mendatang. Bila hal ini dilakukan dengan baik, maka akan menjadi kon­tribusi nyata partai politik dan kandidat terhadap setiap po­tensi generasi milenial bagi Indonesia. Mampukah?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar