KPK,
OTT dan NTT
Lasarus Jehamat ; Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Februari 2018
WAJAH
politik lokal Indonesia sejenak redup. Redup bukan karena mendungnya cuaca
fisik klimatologis. Redup karena ulah politikus peneguk suap. Betapa tidak?
Sampai pertengahan Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dua kepala daerah yang ikut dalam
kontestasi politik Juni 2018. Pada 3 Februari 2018, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melakukan OTT terhadap Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko.
Nyono diduga menerima suap terkait dengan jual beli jabatan di Pemerintah
Kabupaten Jombang. Karena kasus itu, Nyono ditetapkan sebagai tersangka
bersama Plt Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Silestyowati.
Pada
Minggu (11/2), KPK menangkap Bupati Ngada, Marianus Sae, dalam sebuah OTT di
Surabaya. Marianus ditangkap atas dugaan menerima suap fee beberapa proyek
pada Dinas PU Kabupaten Ngada. Diberitakan, Marianus ditangkap di tempat
terpisah dengan PNS dan pihak swasta di lingkup pemerintahan Kabupaten Ngada.
OTT yang dilakukan KPK dalam dua kasus di atas memiliki kesamaan dalam subjek
dan objek perkara. Mereka ialah bupati yang akan mengikuti kontestasi pilkada
Juni 2018. Dengan demikian, dalam kontestasi politik Juni 2018, Nyono dan
Marianus ialah petahana.
Keduanya
ditangkap karena kasus suap. Bedanya Nyono tersangkut di kasus suap jual beli
jabatan, sedangkan Marianus terjebak dalam fee proyek. Nyono bersaing dalam
pemilihan Bupati Jombang, sedangkan Marianus ingin bertarung di level
provinsi menjadi gubernur.
Lalu,
apa hubungan antara KPK, OTT, dan NTT? Gugatan ini harus diajukan dan laik
dijawab karena dua alasan berikut. Pertama, seperti yang telah disampaikan
juru bicara KPK, Febri Diansyah, bagi petahana, kontestasi politik rentan
terhadap politik uang. Karena itu, KPK akan terus mengikuti jejak langkah
para petahana dalam kontestasi politik. Kedua, berkaitan dengan hal pertama
itu, untuk konteks NTT, peristiwa itu merupakan puncak gunung es dari beragam
kasus korupsi yang terjadi di provinsi ketiga termiskin di Indonesia. Di
Indonesia dan NTT, korupsi masih menjadi soal besar dalam proses pembangunan
bangsa.
Kondisi NTT
Setiap
yang pernah membaca NTT akan segera tahu bahwa daerah itu merupakan wilayah
dengan kondisi kemiskinan terparah ketiga secara nasional. Provinsi kepulauan
seperti NTT diliputi banyak soal dan masalah. Kemiskinan berdampak pada
munculnya masalah lain di sana seperti rendahnya kualitas kesehatan dan
pendidikan. Data BPS NTT (2017) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Nusa
Tenggara Timur pada Maret 2017 sebesar 1.150,79 ribu orang (21,85%),
meningkat sekitar 710 orang jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada
September 2016 yang berjumlah 1.150,08 ribu orang (22,01%).
Berdasarkan
daerah tempat tinggal, selama periode September 2016–Maret 2017, jumlah
penduduk miskin di daerah perdesaan menurun sebanyak 4.210 orang (dari
1.037,60 ribu orang menjadi 1.033,39 ribu orang) dan untuk perkotaan
mengalami kenaikan sebanyak 4.920 orang (dari 112,48 ribu orang menjadi
117.40 ribu orang). Data di atas menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi
masalah besar di NTT. Anehnya, semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin
besar dan banyak pula kasus pencurian uang rakyat di daerah ini. Sepertinya,
hukum linearitas berlaku efektif di sana. Semakin miskin masyarakat semakin
sering elite dan pejabat mencuri uang rakyat itu.
Atas
dasar itulah, banyak orang menilai kemiskinan di NTT salah satunya disebabkan
perilaku buruk elite politik dan pengambil kebijakan di daerah ini. Selain
kasus suap Bupati Ngada, sebelumnya telah beredar luas beberapa kasus korupsi
yang sampai detik ini belum jelas arah penyelesaiannya. Sebut saja kasus PLS,
bantuan sosial, dan rumah murah. Di antara beberapa kasus itu, hanya kasus
PLS, yang melibatkan Bupati Sabu Raijua, yang telah masuk ke ranah hukum.
Beberapa kasus lainnya hilang lenyap sampai saat ini.
Predator politik
Kasus
OTT yang menimpa Bupati Ngada harus dibaca dalam konteks relasi uang dan
kekuasaan. Dalam Money and Power, Great Predators in the Political Economy of
Development, Bracking (2009) menyebutkan kemiskinan dan penindasan merupakan
produk dari relasi simetris dua hal penting, yakni uang dan kekuasaan. Dua
hal itu menjadi predator utama politik lokal dan nasional di sebagian negara
berkembang, termasuk Indonesia. Disebut predator karena hasil perkawinan
antara uang dan kekuasaan menyebabkan semua potensi tidak diarahkan untuk
kepentingan bersama, tetapi untuk diri dan kelompok pemegang kekuasaan.
Menurut
Bracking, terjadi penindasan secara sistematis atas rakyat di sana. Rakyat
sebisa mungkin ditekan, disisihkan, diabaikan, dicabut, dan dilupakan dengan
beragam kebijakan manipulatif. Dalam bahasa yang agak berbeda, uang dan
kekuasaan bisa berubah menjadi tragedi jika tidak dikelola dengan baik. Lebow
(2003) dalam The Tragic Vision of Politics: Ethics, Interests and Orders
menyebutkan tragedi politik bisa muncul dalam pertarungan antara etika,
kepentingan, dan regulasi. Persis dalam konsep predator dan tragedi politik
kasus OTT Bupati Ngada dan banyak elite politik di Indonesia bisa dipahami.
Korupsi yang terjadi di Indonesia dan NTT selama ini hanya bisa dimengerti
sejauh memahami dua hal pokok. Pertama, upaya mendapatkan kekuasaan politik.
Kedua, korupsi lebih banyak dilakukan mereka yang memiliki kekuasaan politik
itu.
Marianus
tengah menjadi Bupati Ngada dan sekarang sedang bersaing mendapatkan kursi
Gubernur NTT. Seperti tersangka lainnya, Marianus bisa saja dijebak beragam
kepentingan. Masalahnya, Marianus sedang mengejar kepentingan yang sama.
Kekuasaan politik. Ini soal. Jika dikaitkan dengan kemiskinan masyarakat NTT,
perilaku koruptif para elite merupakan tragedi politik seperti disampaikan
Lebow. Di sini, ketika rakyat NTT harus dihadapkan pada pilihan untuk
memilih, visi, karakter, dan komitmen etis para calon pemimpin harus
benar-benar dipertimbangkan. Di titik yang lain, OTT yang menimpa Bupati
Ngada hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus korupsi di NTT.
Adventus
KPK merupakan pernyataan yang tepat untuk menjelaskan harapan rakyat NTT pada
KPK. Pernyataan itu ingin memberitahukan bahwa OTT merupakan salah satu
langkah urgen, di samping langkah lain yang tengah menjadi perhatian Polda
NTT dalam mengakhiri perilaku buruk elite kekuasaan di daerah ini, dan banyak
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar