Kamis, 22 Februari 2018

Kembalikan Bahasa Ibu ke Rumah

Kembalikan Bahasa Ibu ke Rumah
Gufran A Ibrahim  ;    Bekerja di Badan Bahasa Kemendikbud;
Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun, Ternate
                                                     KOMPAS, 21 Februari 2018



                                                           
Punahnya satu bahasa di dunia bukan karena penutur jatinya (“native speaker”) berhenti berbicara, melainkan karena ayah-ibu dalam satu keluarga tidak lagi menggunakan bahasa ibu (“mother tongue”) di ranah keluarga.

Inilah simpulan penting Living Tongue, sebuah lembaga internasional nirlaba yang meneliti dan membikin program-program praktis perawatan dan penyelamatan bahasa-bahasa di dunia dari ancaman kepunahan, setelah bertahun-tahun mencari sebab mengapa bahasa-bahasa di dunia terus tergerus lalu punah.

Hari ini, 21 Februari, bangsa-bangsa di dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) yang ditetapkan UNESCO pada 1999, kemudian diakui PBB tahun 2008.  Satu dari beberapa alasan penetapan HBII adalah mengingatkan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, agar terus mengupayakan preservasi, revitalisasi, kampanye, dan promosi model pembelajaran multibahasa (di sekolah dan masyarakat) supaya bahasa ibu terus digunakan oleh penutur jatinya. Ini juga penting untuk merawat kemajemukan bahasa sebagai “gentong” penyimpan pusparagam kebudayaan suatu bangsa.

Terkait kepunahan bahasa, studi daya hidup bahasa sejauh ini telah meringkas empat tipologi dasar tentang “status kebugaran” 6.000-an bahasa di dunia: (1) bahasa yang masih “sehat walafiat”; (2) bahasa yang sedang mengalami gerusan; (3) bahasa-bahasa yang menuju ambang kepunahan; dan (4) bahasa-bahasa yang sedang “sekarat”.

Menurut catatan Grimes (2000), sebagaimana yang disebutnya dalam Ethnologue: Languages of the World, terdapat 6.809 bahasa di dunia. Dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur jati sebanyak 1 juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar ini berkontras secara mencolok dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur jati yang sangat kecil, telah berusia tua, dan condong bergerak menuju ke kepunahan.

Lebih mencengangkan lagi, berkurangnya jumlah penutur bahasa ibu pada berbagai belahan dunia lebih cepat dari yang diperkirakan. Dalam rilisnya untuk HBII 2018, UNESCO bahkan mencatat, dalam tiap dua pekan ada dua bahasa di dunia punah.

Bahasa di timur Indonesia

Indonesia sebagai wilayah di Asia Tenggara yang merentang hingga ke Pasifik adalah negara dengan jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia. Menurut catatan Badan Bahasa, Kemdikbud, ada 652 bahasa daerah (yang merupakan bahasa ibu bagi penutur jatinya) atau menurut Summer Institute of Linguistics ada 720 bahasa. Papua Nugini adalah negara yang memiliki jumlah bahasa daerah terbanyak pertama, yaitu sekitar 820 bahasa.

Dari 652 (atau 720) bahasa di Indonesia itu, kurang-lebih separuhnya tersebar di timur Indonesia. Sejalan dengan garis maya yang dibuat Alfred Wallace sebagai pewatas sebaran keaneragaman flora-fauna, keananekaragaman bahasa di timur Indonesia juga sangat tinggi. Di Sulawesi ada sekira 40-an bahasa. Di Papua ada sekira 200-an bahasa, di Maluku (dan Maluku Utara) 90-an bahasa, demikian pula di Nusa Tenggara Timur, ada 60-an bahasa.

Akan tetapi, tingginya diversitas bahasa di timur Indonesia ternyata berbanding terbalik dengan kemampuan bahasa-bahasa tersebut bertahan dari ancaman kepunahan. Dalam catatan penelitian yang dilakukan beberapa kalangan, ada puluhan bahasa di kawasan timur Indonesia sedang dalam status tergerus, mengalami penurunan daya hidup, bahkan ada yang sedang “sekarat”, kalau belum bisa dibilang punah. Ambil contoh, beberapa bahasa di Papua, Maluku, dan Maluku Utara hanya memiliki puluhan penutur jati dan rata-rata berusia di atas 60 tahun.

Sepuluh tahun lalu, bahasa Ibo di Halmahera Barat, Maluku Utara,  hanya memiliki lima penutur jati yang telah berusia di atas 70 tahun. Mungkin kini angka penuturnya sudah berkurang.

Ada beberapa sebab kepunahan bahasa-bahasa di timur Indonesia. Pilihan para penutur jatinya untuk menggunakan satu bahasa sebagai lingua-franca, seperti bahasa Melayu tempatan untuk komunikasi antarpenutur jati bahasa ibu adalah satu sebab  paling utama.

Sebab lain, sejumlah ayah-ibu pada keluarga muda dalam berbagai kawasan masyarakat multibahasa di timur Indonesia telah memilih menggunakan bahasa Melayu tempatan dalam komunikasi di rumah saat berbicara dengan anak-anak mereka. Ini berarti anak-anak yang lahir dari selapis generasi ini tidak punya kesempatan lagi memperoleh bahasa ibu dari ayah-ibunya; bahasa ibunya adalah bahasa Melayu tempatan.

Pergeseran pilihan bahasa keluarga muda ini menambah semakin banyak anak-anak di kampung-kampung tidak lagi menggunakan bahasa ibu dari ayah-ibu sebagai bahasa pertama saat mereka bermain. Mereka telah kehilangan bahasa ibu dari ayah- ibunya; dan ini justru terjadi di dalam rumah sendiri. Mereka telah kehilangan bahasa ibu di kampung sendiri.

Kalau ini terus terjadi, dalam satu-dua siklus pergantian generasi ke depan, akan ada dua fakta kebahasaan penting: anak-anak kehilangan bahasa ibu dari ayah-ibu mereka dan bahasa ibunya adalah bahasa Melayu tempatan.  Sebab-sebab kepunahan lainnya adalah mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal karena urbanisasi dan perjumpaan antarpenutur jati dalam aktivitas sosial-ekonomi.

Belajar bahasa di kampung sendiri

Temuan Living Tongue dan fakta tentang ketergerusan sejumlah bahasa di Indonesia, terutama di timur Indonesia, semakin mengonfirmasi bahwa kepunahan bahasa tidak terjadi di sekolah,  di tempat kerja, atau di tempat-tempat publik lain. Bahasa ibu justru terdepak dari “rumahnya sendiri” yang “dikandung” oleh ayah-ibu sang penutur jati.

Mengingat titik pusat punahnya bahasa ibu ada di rumah dan dalam lingkungan keluarga, maka cara menyelamatkannya dari ancaman kepunahan haruslah dikembalikan ke rumah. Artinya, upaya menyelamatkan bahasa daerah—sebagai bahasa ibu dari sejumlah penutur jati bahasa-bahasa di Indonesia,—dengan membawa bahasa ibu menjadi pelajaran muatan lokal di sekolah bukanlah jalan keluar yang tepat dan satu-satunya.

Ayah-ibu sebagai pewaris “terakhir” bahasa ibu didorong menggunakan bahasa ibu untuk anak-anak mereka, lewat gerakan belajar bahasa di kampung sendiri. Dengan mengadopsi model “sekolah rumah” atau “sekolah alam”, ayah-ibu didampingi untuk memastikan bahasa ibu dipakai sehari-hari di rumah.

Bahasa ibu diperoleh secara alamiah, bukan melalui “manipulasi” metodologis di sekolah. Karena itu, cara yang paling efektif menyelamatkan bahasa ibu dari ancaman kepunahan adalah memberi kesempatan kepada anak untuk memperoleh bahasa ibunya di rumah sendiri dan di kampung sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar