Selasa, 13 Februari 2018

Kekerasan dan Tantangan Kebinekaan Indonesia

Kekerasan dan Tantangan Kebinekaan Indonesia
Muhammadun  ;   Dosen Sosiologi Ushul Fiqh STAI Sunan Pandanaran Yogya; Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU DIY;
Peneliti Lakpesdam PWNU DIY 2006-2011
                                           MEDIA INDONESIA, 13 Februari 2018



                                                           
TRAGEDI penyerangan gereja di Sleman (11/02) menjadi tragedi mengerikan dalam kasus kekerasan akhir-akhir ini. Sebelumnya, juga terjadi kasus kekerasan terhadap sejumlah ustaz di Jawa Barat. Kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama itu jangan sampai melukai dialog dan persaudaraan kebangsaan kita. Kekerasan terhadap tokoh agama, rumah ibadah, dan kelompok keagamaan hanya dijadikan sebagai alat adu domba. Ingat, 2018 menuju 2019 ini ialah tahun politik. Semua harus saling waspada, jangan terprovokasi.

Indonesia ialah rumah bersama. Para pendiri bangsa sudah mendirikan RI dengan darah dan nyawa, semua untuk generasi hari ini dan masa depan. Jangan sampai darah perjuangan yang dikorbankan para pendiri bangsa justru dinodai pertumpahan darah antaranak bangsa. Itu jelas membuat pendiri bangsa menangis. Suburnya kekerasan dan radikalisme melukai karakter dan prinsip berbangsa dan bernegara.

Para pendiri bangsa sudah mewariskan Pancasila. Para pendiri bangsa juga sudah menyadarkan kita ihwal kebinekaan. Bahwa kebinekaan yang melekat dalam diri bangsa Indonesia adalah bersifat 'given'. Sebagai sesuatu yang terberi, manusia Indonesia tidaklah mengusahakan terjadinya perbedaan karena perbedaan itu sudah melekat sejak lahir dan harus diterima apa adanya. Di mana pun dan dalam kondisi apa pun, perbedaan itu akan tetap ada, baik pada level sosiologis, politik, antropologis, psikologis, dan lain-lain. Keragaman di sini termasuk latar belakang, gaya hidup, jabatan dan organisasi, status, mental, dan lain-lain. Semua sudah melekat.

Di alam demokrasi RI, keragaman menjadi potensi sekaligus menjadi ancaman. Berpotensi untuk membangun peradaban bangsa lebih maju dan sejahtera, tetapi juga ancaman disintegrasi dan konflik horizontal yang mudah disulut, apalagi disulut aspek sentimen agama. Bagi Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox (2000), membangun demokrasi tanpa adanya 'lawan' merupakan hal berbahaya sebab kondisi itu justru melemahkan demokrasi dan memperkuat pemerintahan yang otoriter.

Dilema yang diketengahkan Mouffe sangat menarik dalam konteks keragaman di RI, terlebih di tengah isu primordial agama yang didemonstrasikan dalam berbagai media. Konflik politik dari pilkada yang dibumbui isu SARA menjadikan keragaman di Indonesia menjadi celah konflik yang sangat berbahaya. Di sisi lain, bangsa ini harus tetap menguatkan integrasi kebangsaan dan melakukan konsolidasi demokrasi berdasarkan pada potensi keragaman yang dimiliki warga bangsanya.

Di sinilah, peran Pancasila sangat krusial. Para pendiri bangsa sebenarnya sudah melakukan diskusi dan pendalaman serius terkait problem ini sehingga melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno menggali Pancasila dari nilai-nilai luhur bangsa berdasarkan kekayaan tradisi, budaya, adat, dan agama.

Sebagai dasar pandangan hidup bernegara dan sistem nilai kemasyarakatan, Prof Notonagoro (1975) melihat Pancasila setidak-tidaknya mengandung empat pokok pikiran. Pertama, negara Indonesia merupakan negara persatuan, yang Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi mengakui kebinekaan yang mengacu pada nilai-nilai universal ketuhanan, kemanusiaan, rasa keadilan dst.

Kedua, negara Indonesia didirikan dengan maksud mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan berkewajiban mewujudkan kesejahteraan serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga, negara Indonesia didirikan di atas asas kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat tidak bisa dibangun hanya berdasarkan demokrasi di bidang politik. Demokrasi harus juga dilaksanakan di bidang ekonomi. Keempat, negara Indonesia didirikan di atas dasar Ketuhanan YME. Ini mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaan agama-agama yang dianut bangsa Indonesia.

Membangun konsolidasi

Ada tugas penting bagi manusia Indonesia dalam menyikapi keragaman yang sudah melekat, yakni membangun konsolidasi demokrasi secara terus-menerus, tentu saja dengan visi sesuai Pancasila dan UUD 1945. Menurut Hafidz Nuur (2017), mengutip gagasan Mouffe, bahwa pada kondisi alami demokrasi yang mencakup kawan dan lawan. Serta pertentangan gagasan dan kepentingan, perlu adanya seperangkat nilai bersama yang dihormati.

Isu primordialisme, yakni agama dan etnik, baru-baru ini terkesan menjadi alat mobilisasi politik, harus diwaspadai dengan serius. Mengapa? Karena Indonesia ialah proyek yang belum selesai sehingga untuk melanjutkan proyek ini, perlu secara intensif membicarakan struktur, proses sosial, perubahan sosial serta fenomena sosiologis yang berkaitan seperti globalisasi dan berbagai relasi sosial.

Pancasila harus diletakkan sebagai alat melakukan integrasi bangsa yang beragam. Pancasila jangan memaksakan keseragaman yang akan mengakibatkan integrasi koersif, seperti yang terjadi pada Orba, sedangkan keberagaman membutuhkan integrasi fungsional, yakni dengan melakukan pemerataan kesejahteraan dan utamanya kesadaran berbangsa.

Namun, juga ingat, banyak sekali solidaritas agama yang menyalahgunakan demokrasi berpotensi menjadi agresivitas massal yang anarkistis. Bahkan mengarah pada civil disobedience, yakni ketidakpedulian pada segala peraturan yang ada. Namun, negara tetap harus mempertahankan konsolidasi demokrasi sebelum potensi itu benar menjadi nyata.

Pancasila harus digerakkan sebagai pengikat semua anak bangsa dalam membangun konsolidasi kebangsaan, jangan hanya dibebankan kepada aparatur negara. Keterlibatan semua anak bangsa akan menjadi kekuatan yang menyeimbangkan berbagai tantangan keragaman. Karena Pancasila yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa akan melahirkan tata kehidupan yang saling membina, mengayomi, dan mengasihi. Gotong royong menjadi etiket bersama dalam keseharian.

Sejarah para pendiri bangsa sudah mengajarkan anak bangsa hari ini. Jejak hidup Bung Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya sangat jelas memberikan spirit perjuangan dalam membangun konsolidasi kebangsaan menuju bangsa yang beradab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar