Kampanye
Zero ”Stunting” dalam Pilkada
Nurlia Dian Paramita ; Ketua Bidang Organisasi Pimpinan Pusat
Nasyiatul Aisyiah (PPNA)
2016-2020
|
KOMPAS,
23 Februari
2018
Suksesi kepemimpinan daerah acap kali
mengundang polemik. Ada yang semarak menyambut, ada pula yang menganggap hal
itu merupakan ritual lima tahunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota.
Menjelang masa kampanye pemilihan kepala
daerah (pilkada), tim sukses setiap calon tentu sudah mengusung materi yang
akan disajikan saat masa kampanye mendatang. Dari sekian banyak isu mengenai
kesehatan ibu dan anak, yang harus mendapat perhatian lebih adalah terkait
isu kekurangan gizi kronis pada anak balita (stunting).
Dalam rilis data kesehatan terakhir, pada
24,5 juta anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia, sekitar 9
juta atau 37 persen mengalami stunting. NTT dan Papua Barat adalah provinsi
dengan populasi penderita terbesar di Indonesia.
Stunting sangat membahayakan pertumbuhan
generasi anak Indonesia. Bukan hanya perkara tinggi badan, melainkan lebih
dikarenakan kondisi ini sangat mengancam perkembangan intelektualitas anak.
Ia menghambat pertumbuhan otak anak, yang seharusnya dalam tiga tahun pertama
kehidupan dapat mencapai 80 persen (Syafiq, 2017).
Pada pembahasan RAPBN 2018, dalam Sidang
Tahunan MPR/DPR/DPD, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah
berkomitmen untuk mengurangi dampak kekurangan gizi kronis akibat stunting.
Anak Indonesia ke depan harus memiliki kesungguhan dalam belajar, berinovasi,
dan berkompetisi. Sehubungan dengan itu, kasus kematian puluhan anak balita
akibat gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, barangkali menjadi contoh nyata
bahwa belum semua pemerintah daerah menitikberatkan pada akses penjaminan
kesehatan. Alhasil, akses pemerataan terkait angka kecukupan gizi anak di
Indonesia masih menemui banyak kendala.
Akibat minim pengetahuan
Penyebab stunting yang paling utama
sesungguhnya adalah pengetahuan yang minim akan ketercukupan gizi dan daya
pikir yang rendah dalam mencukupi kebutuhan konsumsi anak. Pola asuh yang tak
sesuai menyebabkan asupan gizi jadi kurang serta pola hidup yang tidak bersih
rentan menularkan infeksi bakteri/ kuman.
Dalam kasus penderita gizi buruk di Asmat,
sejak dalam kandungan pun mereka menderita akibat pola makan yang kurang gizi
(mengonsumsi makanan instan) dan akses penghasilan ekonomi yang buruk
(Kompas, 20/1) sehingga pemenuhan gizi bagi ibu hamil jadi kolaps. Selain
itu, pernikahan muda (di bawah 18 tahun) mengakibatkan kualitas kehamilan
yang rendah serta pola pengasuhan yang relatif terbatas. Semakin muda usia
perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting.
Bayi atau anak yang menderita stunting akan
tetap tumbuh, tetapi garis pertumbuhannya tetap berada di bawah bayi atau
anak dengan gizi baik. Penyebabnya sederhana, kekurangan gizi dalam waktu
lama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak balita atau
sekitar sejak fase kehamilan (270 hari) hingga mencapai usia dua tahun (730
hari). Kondisi ini tentu butuh komitmen sungguh-sungguh dan implementatif
terhadap kebijakan yang ada.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang sudah dicanangkan pemerintah semestinya diikuti rencana kerja
pemerintah daerah (RKPD) yang nantinya akan diterapkan oleh pemerintah
daerah. Dalam hal ini, jika tak terlaksana dengan baik, kepala daerah dapat
dikenai sanksi berupa teguran tertulis hingga pemberhentian sementara, sesuai
PP No 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah.
Maksimalkan produktivitas posyandu
Kebijakan terhadap pencegahan stunting tentu
harus diimplementasi melalui kebijakan daerah. Sehubungan dengan reorientasi
program pemerintah daerah pasca-kontestasi pilkada, hal ini jadi momen agar platform kebijakan
untuk mewujudkan daerah zero stunting terwujud.
Peran ini dapat dilakukan oleh
komunitas-komunitas masyarakat serta ibu-ibu PKK dan aktivis perempuan dengan
memberikan usulan program sekaligus endorsement bagi pertumbuhan anak-anak
Indonesia masa depan. Pertama, pemerintah hendaknya memberikan ruang lebih
banyak bagi remaja putri dalam bentuk pelatihan produktivitas, juga
menyediakan lapangan kerja agar lebih banyak ruang dalam beraktivitas
sehingga mampu menghasilkan ekonomi yang mandiri. Selain itu, pemberian
beasiswa bagi remaja putri yang tidak mampu akan membantu menghasilkan daya
saing prestasi yang produktif. Imbauan agar tak menikah di usia dini (18+)
juga menjadi salah satu komitmen yang harus disepakati bersama.
Kedua, ciptakan layanan makanan tambahan pos
pelayanan kesehatan terpadu yang efisien dan bergizi. Selama ini pemberian
makanan tambahan hanya 1 roti/1 paket kacang hijau/1 puding. Perlu terobosan
seperti pemberian telur rebus, susu cair, atau makanan kombinasi olahan susu
(keju, makaroni, dan sebagainya) agar setiap bayi dan anak balita yang ke
posyandu mendapatkan suplementasi mikronutrien tambahan gizi yang substantif.
Juga pendampingan terhadap ibu hamil.
Untuk mewujudkan anak Indonesia yang cerdas,
sehat, dan produktif diperlukan rangkaian kerja nyata yang substantif dan
berpihak pada kebutuhan pemenuhan gizi ibu dan anak. Dengan demikian, kerja
kepala daerah terpilih sungguh nyata dalam menciptakan generasi unggul yang
hebat dan cerdas. Jangan sampai janji-janji kampanye pilkada hanya palsu,
apalagi menelantarkan jutaan anak Indonesia yang kelak menjadi calon pemimpin
genuine gemilang bagi Indonesia masa depan. ●
|
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 28 Februari 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus