Inovasi
Kebijakan Mendesak
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 12 Februari 2018
KITA
lagi-lagi dituntut harus bijak dalam menyikapi hasil akhir pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2017. Pasalnya seperti dugaan sebelumnya, tingkat
realisasinya tidak mencapai target yang ditetapkan pemerintah.
BPS
(2018) mencatat pada 2017 tingkat pertumbuhan ekonomi kita hanya mencapai
5,07%. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya
sebesar 5,03%.
Target
pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan sebesar 5,2% melalui APBN-P 2017
urung tercapai. Dengan demikian kita tidak dapat memungkiri lagi bahwa
perekonomian kita tengah mengalami cobaan yang sangat berat. Dari sini
pemerintah perlu banyak belajar dari pengalaman selama 2017, terutama
mengelola perekonomian dalam negeri yang seharusnya tidak terjadi dan
terulang kembali pada 2018.
Kondisi
di tahun 2017 kemudian menjadi sarana refleksi untuk menebak bagaimana
nantinya hasil akhir di tahun 2018. Nah, menariknya di sini ternyata Dana
Moneter Internasional (IMF) berani mengatakan bahwa tahun 2022 nanti tren
pertumbuhan ekonomi kita akan terus meningkat hingga bisa lebih dari 6%.
Tahun
ini, IMF masih memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan di
kisaran 5,3%. Tebakan IMF seakan-akan bergerak melawan arus dari asumsi
pihak-pihak lainnya yang justru mengatakan target pertumbuhan yang paling
realistis hanyalah kenaikan tipis. Pemerintah sendiri juga masih optimistis
bahwa target pertumbuhan di APBN 2018 yang sebesar 5,4% masih cukup kredibel
untuk terus diupayakan.
Justifikasi
yang digunakan pemerintah dan IMF juga nyaris sama, yakni terkait dengan
stabilitas makro yang terkendali, inflasi yang terjaga tetap rendah, dan
proyeksi harga komoditas andalan ekspor yang diprediksi akan semakin menguat
sehingga berpengaruh pada defisit transaksi berjalan. Apalagi hasil-hasil
reformasi kebijakan dan paket deregulasi yang terhitung gila-gilaan akan
semakin tampak pada beberapa waktu ke depan.
Namun
IMF juga mengingatkan kita bahwa masih ada beberapa rintangan yang harus siap
dihadapi. Termasuk di dalamnya adalah risiko perekonomian global yang masih
menghantui, potensi penurunan penerimaan pajak, dan kecenderungan kenaikan
suku bunga di pasar keuangan mengingat adanya pengetatan likuiditas pasar
keuangan global.
Kendati
demikian kita tetap perlu waspada karena gambaran kondisi pada 2017 relatif
sama dengan kondisi pada tahun sebelumnya. Alhasil kenaikan pertumbuhan yang
diidam-idamkan tetap sulit direalisasikan.
Setidaknya
hal ini menggambarkan bahwa ada persoalan struktural yang belum terentaskan.
Dari sisi muara perekonomian seperti hasil ekspor-impor sudah cukup kentara
apa saja penyebabnya.
Ekspor
kita masih saja terjebak pada komoditas barang mentah yang nilai ekonominya
tidak cukup banyak mendorong pertumbuhan. Adapun dari sisi impor juga masih
terbelit dengan ketergantungan distribusi bahan baku dan bahan penolong yang
kebanyakan digunakan untuk produksi domestik.
Kita
juga belum membahas sejauh mana perjalanan efisiensi perekonomian dalam
negeri terus bergerak. Publikasi BPS mengenai PDB Indonesia kemarin
menyisipkan pesan yang menarik. Intinya, jika tidak ada gebrakan dan inovasi
kebijakan berarti dari pemerintah, penulis khawatir perekonomian kita mengalami
stagnasi untuk waktu yang relatif lebih lama. Semoga saja tidak demikian.
Persoalan Struktural
Dalam
struktur PDB 2017 menurut lapangan usaha, tiga sektor lapangan usaha yakni
industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan masih dinobatkan sebagai
sektor utama karena kontribusinya yang besar terhadap pembentukan PDB.
Ketiganya menyumbang secara berurutan, yakni masing-masing sebesar 20,16%,
13,14%, dan 13,01%.
Sektor
konstruksi perlahan tetapi pasti kontribusinya terus mengejar ketiga sektor
yang tadi disebutkan seiring masifnya upaya pemerintah untuk menggenjot
pembangunan infrastruktur. Tahun kemarin kontribusinya tercatat sebesar
10,38%. Dari sisi pertumbuhan parsial, sektor konstruksi juga tumbuh secara
meyakinkan dengan kenaikan sebesar 6,79%.
Sementara
itu industri pengolahan justru bertingkah sebaliknya. Kontribusinya terhadap
pembentukan PDB kian mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Pada
tahun 2015 kontribusinya masih relatif lebih tinggi sebesar 20,99%. Tahun
berikutnya lantas turun menjadi 20,51%. Adapun tahun kemarin lagi-lagi turun
menjadi 20,16%. Posisinya semakin tergerus sektor-sektor jasa yang value
added-nya relatif lebih rendah ketimbang industri pengolahan.
Adapun
dari sisi PDB menurut pengeluaran, komponen konsumsi rumah tangga kembali
ditahbiskan sebagai tulang punggung utama dalam perekonomian Indonesia.
Kontribusinya tahun lalu mencapai 56,13% dari total PDB. Komponen pembentukan
modal tetap bruto (PMTB) yang dikaitkan dengan proyek investasi juga bertahan
di posisi kedua dengan kontribusi sebesar 32,16%.
Jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kontribusi keduanya terhitung menurun
yang salah satunya disebabkan membaiknya kontribusi ekspor barang dan jasa.
Tahun kemarin tercatat komponen ekspor memiliki kontribusi sebesar 20,37%
dengan tingkat pertumbuhan 9,09% dan menjadi kenaikan tertinggi di antara
komponen PDB pengeluaran lainnya.
Namun
peningkatan kinerja ekspor ini menjadi kurang berarti karena komponen
pembandingnya (yakni impor barang dan jasa) juga ikut tumbuh. Karenan itu
dalam neraca PDB menurut pengeluaran, kontribusi net ekspor menjadi tampak
kurang signifikan.
Dari
data yang sama, pandangan penulis sedikit muram ketika melihat bagaimana
kinerja konsumsi rumah tangga yang tingkat pertumbuhannya mengalami
perlambatan, dari tahun 2016 sebesar 5,01% dan tahun berikutnya menurun hanya
menjadi 4,95%. Angka tersebut dapat menegaskan bahwa kita mengalami masalah
pada tingkat konsumsi dan daya beli meskipun target inflasi yang rendah
terhitung sukses untuk terus dikendalikan. Inflasi sebagai hasil dari
tarik-menarik antara kurva penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Secara
ideal tingkat inflasi yang rendah dapat terjadi karena ada keseimbangan yang
berkesinambungan antara peningkatan demand dan supply. Kekhawatiran yang
muncul adalah rendahnya inflasi ini lebih banyak disebabkan menurunnya daya
beli dan pendapatan masyarakat mengingat jumlah pangan saat ini dari sisi
produksi dan kebutuhan dalam negeri sudah cukup, ditambah pemerintah
mendatangkannya dari negara lain. Semoga saja kekhawatiran tersebut tidak
perlu ada dan tidak terjadi.
Meskipun
pemerintah rajin membantah terkait isu penurunan daya beli, namun fakta di
lapangan tidak dapat sepenuhnya dipungkiri. Pembangunan infrastruktur yang
masif menjadi ikut-ikutan terseret arus paradoksal (menjadi debatable).
Megahnya aspal jalanan dan beton yang menjulang dianggap tidak berhasil
mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Malahan
jika kita hitung angka incremental capital output ratio (ICOR) sebagai
parameter tingkat efisiensi investasi justru mengalami kenaikan. Setidaknya
pada tahun 2016 yang lalu, nilai ICOR kita masih 6,73%. Tahun berikutnya
justru meningkat menjadi 6,75%. Meskipun kinerja investasi pada waktu yang
sama meningkat, tetapi inefisiensi investasi juga ikut meningkat.
Tidak
berhenti disitu, perdebatan mengenai manfaat infrastruktur juga merembet pada
kepentingan jangka pendek, misalnya terkait upah buruh, kinerja perekonomian
pada industri penopangnya, dan beban utang.
Kenaikan
jumlah buruh di sektor kontruksi tidak lantas diikuti dengan perbaikan upah
buruh. BPS (2017) mencatat upah buruh bangunan sebesar Rp84.378 pada
September, naik naik tipis sebesar 0,02% secara bulanan dan 2,3% secara
tahunan. Namun upah riilnya kian menyusut lantaran tergerus inflasi yakni
sebesar Rp64.867, atau turun 0,11% (bulanan) dan 1,37% (tahunan).
Pentingnya Inovasi Kebijakan
Berdasarkan
fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa upaya untuk melakukan reformasi
struktur melalui paket deregulasi maupun pembangunan infrastruktur
besar-besaran, belum menjamin pada penguatan perekonomian melalui investasi,
konsumsi, dan daya beli.
Jikalau
konsumsi rumah tangga yang akan didorong untuk memacu pertumbuhan, maka perlu
adanya inovasi kebijakan dari pemerintah yang menjamin daya beli dan
pendapatan masyarakat tetap naik.
Tahun
ini harapan perbaikan daya beli dan pendapatan masyarakat muncul seiring
dengan meningkatnya harga komoditas. Namun kenaikan harga minyak dunia
memaksa kita juga harus bersiap dengan inflasi dari kelompok bahan bakar
minyak.
Peluang lainnya muncul dari kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan dana bantuan sosial (bansos), program padat
karya melalui dana desa, dan momentum pilkada serentak. Akan tetapi secara
khusus penulis menggarisbawahi, bahwa program bansos dan momentum pilkada
hanyalah peluang jangka pendek.
Sementara
itu program padat karya melalui dana desa, umur manfaatnya juga hanya akan
berjangka pendek ketika program-program pembangunannya terbatas pada proyek
infrastruktur di perdesaan. Alangkah lebih baiknya jika program padat karya
juga merembet pada lini-lini lapangan usaha lainnya. Misalnya berkat program
padat karya yang sementara ini dimapatkan pada pembangunan infrastruktur di
desa, kinerja pertanian dan industri berskala perdesaan juga dapat meningkat.
Kondisi
ini juga bisa dikaitkan dengan effort pemerintah untuk menggenjot pembangunan
infrastruktur, agar mampu menciptakan lapangan kerja dan mendorong industri
terkait berkembang. Pemerintah harus jeli mana kebijakan yang melahirkan
outcome, mana kebijakan yang melahirkan output.
Dalam
pandangan penulis, paket deregulasi dan infrastruktur lebih banyak perannya
sebagai outcome. Nah tugas pemerintah berikutnya adalah untuk menjalin
interkoneksi agar peningkatan outcome ini dapat mendorong perbaikan output.
Pemerintah
perlu menjaga untuk terus meningkatkan kinerja sektor industri tumbuh agar
dapat mendorong ekspor. Seperti yang dilakukan negara-negara maju, sektor
manufaktur menjadi andalan karena menghasilkan nilai tambah yang lebih
menjanjikan ketimbang terfokus pada sektor jasa. Apalagi jika industri yang dikembangkan
mampu memanfaatkan SDM dan SDA lokal.
Di
luar urusan sosial politik yang disinyalir makin ribet di tahun 2018,
pemerintah tetap harus me-manage ekonomi yang seharusnya semakin baik. Kita
jangan sampai lengah karena harga komoditi dan minyak semakin baik.
Selain
itu, perlu perlibatan daerah dalam mengelola keuangan negara perlu
ditingkatkan. Karena hampir sepertiga APBN sudah ditransfer ke daerah dan
desa, maka seharusnya daerah (dan desa) juga diberikan tanggung jawab yang
lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.
Kuncinya
terletak pada bagaimana pola belanja dan desain kelembagaan yang berkualitas.
Misalnya dengan meningkatkan nilai dana alokasi khusus (DAK).
Dalam
pengamatan penulis, DAK jauh lebih efektif karena diasumsikan lebih
merepresentasikan kepentingan pusat terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Selama ini ketidaksinkronan antara pusat dan daerah menjadi cerita klasik
yang pada akhirnya melahirkan kebijakan yang kurang efektif. Karena
masing-masing pemerintah tidak berhasil menuntaskan persoalan secara terpadu,
dan lebih mengedepankan ego politiknya.
Era
desentralisasi seharusnya tidak melahirkan roda pemerintahan yang semakin
parsial. Tujuan desentralisasi dapat dikatakan berhasil, justru ketika semakin
banyak inovasi kebijakan yang lahir dari semakin dekatnya pemerintah daerah
dan masyarakat, dan terintegrasinya pusat dan daerah dalam menuntaskan
persoalan-persoalan struktural di tengah-tengah masyarakat. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar