'Ingat,
Penguasa tak Pernah Salah,
Penguasa
Selalu Benar'
Abdullah Sammy ; Jurnalis Republika
|
REPUBLIKA,
06 Februari
2018
Kill
the messenger (membunuh si pembawa pesan) sejatinya sebuah trik kuno. Jauh
sebelum teknologi berkembang pesat, akses informasi hanya bisa didapat dari
seorang pembawa pesan (messenger). Messenger kerap membawa pesan yang tidak
ingin didengar si penerima. Saat seorang penguasa dan pendukungnya tak suka
atau tak ingin mendengar pesan dari sang pembawa pesan, cara paling mudah
adalah dengan membunuhnya.
Kill
the messenger telah terjadi sejak abad pertama sebelum masehi. Kisahnya
terjadi saat perseteruan antara Romawi dan Kerajaan Armenia. Adalah pembawa
pesan dari pemimpin pasukan Romawi, Lucullus, yang mendatangi raja Armenia,
Tigranes.
Pihak
Romawi mengirim pesan lewat sang messenger yang menyatakan seruan agar
Tigranes menyerahkan musuh Romawi yang mengungsi ke tanah Armenia. Karena tak
suka dengan pesan itu, pasukan Tigranes lantas memenggal kepala sang
messenger Romawi.
Di
era saat ini, kill the messenger sudah menjadi frasa metafora. Tapi
substansinya masih sama, yakni reaksi atas ketidaknyamanan dan ketidaksukaan
atas sebuah informasi yang diucapkan oleh si pembawa informasi. Karena tidak
suka dengan isi informasi, maka si pembawa informasi dihabisi.
Aroma
kill the messenger tampak jelas dalam kasus kritik Ketua BEM UI Zaadit Taqwa
pada Presiden Jokowi. Setelah insiden kartu kuning yang diberikan mahasiswa
jurusan Fisika itu, perlahan tapi pasti usaha menyerang pribadi Zaadit mulai
dilancarkan secara sistematis.
Mulai
dari tudingan afiliasi dengan PKS, anggapan bahwa mahasiswa harusnya hanya
fokus kuliah, hingga soal jaket kuning yang dipakai Zaadit. Celakanya,
framing untuk menghabisi Zaadit justru dimainkan oleh mayoritas media besar.
Walhasil,
isu kritik yang disampaikan jadi kabur. Bukan substansi kritiknya yang
dibahas, tapi mengenai sosok mahasiswanya yang dikritisi. Aneh bin ajaib.
Padahal
secara substansi kritikan yang disampaikan Zaadit adalah isu yang memang
tengah menjadi perbincangan di ruang publik. Pertama soal krisis kemanusiaan
di Asmat, dwifungsi Polri, dan isu mengenai organisasi kemahasiswaan yang
akan di bawah pengawasan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Pembahasan
soal ketiga isu yang disampaikan Zaadit sejatinya merupakan hal yang lebih
krusial untuk dikuliti media ketimbang hanya membahas pribadi Zaadit semata.
Sebab memang, tugas media sebagai anjing penjaga (watch dog) atas segala
tingkah polah penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Tapi
yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Media malah banyak yang menjadi alat
membungkam kritik. Si penyampai kritik malah dibunuh lewat berita media yang
lebih menyerupai cheerleader penguasa.
Lucunya
lagi, bukan baru pada Jokowi BEM UI melakukan kritik. Sebab faktanya, setiap
presiden yang datang ke UI selalu disambut dengan kritikan. Bahkan di zaman
SBY dahulu, sempat terjadi sedikit kerusuhan sebagai bagian dari sambutan
mahasiswa.
Jadi
wajar dan bukan hal baru apabila penguasa dihadiahi kritikan saat datang ke
kampus. Pertanyaannya, mengapa baru kali ini ada pihak yang begitu alergi
dengan kritikan mahasiswa kepada sang presiden? Mungkin yang alergi terhadap
tindakan Zaadit ini ingin agar penguasa yang datang ke kampus mendapat karpet
merah dan kalungan bunga dari mahasiswa.
Dalam
hal yang terkait pribadi Zaadit, taruhlah dia secara pribadi salah. Lantas
apakah itu juga berarti segala pesan yang disampaikannya salah? Saya jadi
teringat saat seorang bintang NBA LeBron James dikritik oleh legenda basket
Charles Barkley yang kini jadi pengamat di NBA TV.
Barkley
mengkritisi LeBron yang dinilainya lebih banyak mencampuri urusan manajemen
tim Cleveland Cavaliers. Mendengar kritik itu, LeBron membalas Barkley dengan
membongkar masa lalu eks bintang Phoenix Suns itu yang gemar mabuk dan
berkelahi.
Tapi
apa yang disampaikan Barkeley sebagai respons terhadap James jauh lebih
menusuk dan masuk ke dalam akal sehat. "Beberapa yang LeBron sampaikan
terkait (masa lalu) saya ada benarnya, tapi itu tak membuat pesan yang saya
sampaikan (saat ini) menjadi salah. Jadi saat anda tak suka dengan sebuah
pesan maka yang anda lakukan adalah membunuh si pembawa pesan (kill the
messenger)," kata Barkley tegas.
Apa
yang disampaikan Barkley mungkin sama dengan apa yang terjadi pada Zaadit
Taqwa. Mungkin saja Zaadit memang kader PKS, mungkin juga dia tak paham dan
tak pernah lulus ekonomi makro. Dia juga salah memakai jaket almamater. Tapi
dengan semua kesalahannya itu, apakah substansi kritik soal asmat, dualisme
polri, dan aturan kemahasiswaan jadi keliru?
Mungkin
yang mengkritisi Zaadit Taqwa merasa, krisis kemanusiaan di Asmat bukan
merupakan tanggungjawab Jokowi dan pemerintah pusat. Sebab mungkin bagi
mereka segala yang dilakukan Jokowi hanya pantas diapresiasi bukan dikritisi.
Mereka
juga berpikir dwifungsi polri bukan hal yang harus dikritisi, melainkan itu
adalah amanat hakiki reformasi. Mereka yang mengkritisi Zaadit Taqwa ini juga
mungkin berpikir organisasi mahasiswa harus di bawah kendali penuh
Kemenristekdikti.
Mungkin
itu semua yang ada di kepala mereka yang begitu alergi dengan adanya kritik
pada Jokowi di UI. Sehingga bukan substansi kritikan yang dibahas melainkan
orang yang mengkritik yang diulas.
Sejatinya
inilah kenyataan yang terjadi di alam pikiran para cheerleader, fans boy, dan
para penjilat kekuasaan. Tiga pasal yang berlaku di kepala mereka adalah
pasal 1: penguasa tak pernah salah, pasal 2: penguasa selalu benar, dan pasal
3: Jika penguasa salah, maka lihat kembali pasal pertama.
Mudah-mudahan
pasal-pasal di atas juga tidak sedang melanda media di Indonesia. Sebab media
sejatinya bukan alat untuk membunuh si penyampai pesan. Media justru harusnya
menjadi wadah setiap orang yang ingin menyampaikan pesan untuk mengkritisi
kekuasaan.
Sebab
lagi-lagi, satu kata kritik dari media jauh lebih berarti ketimbang sejuta
paragraf pujian. Sebab memang begitu tugas media selaku anjing penjaga, bukan
justru anjing penjilat penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar