Jumat, 16 Februari 2018

Imlek dan Pengayaan Budaya Nasional

Imlek dan Pengayaan Budaya Nasional
Ali Usman ;    Budayawan Sufi
                                                  DETIKNEWS, 15 Februari 2018



                                                           
Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia yang berlangsung khidmat dan meriah dalam setiap tahun sesungguhnya menempuh jalan berliku dan panjang akibat tekanan rezim negara yang cenderung otoriter dan mengekang kebebasan masyarakat sipil. Kala itu, etnis Tionghoa menjadi korban diskriminasi dan praktik dehumanisasi yang diperankan oleh negara, tepatnya Orde Baru.

Etnis Tionghoa diidentikkan dengan China (yang berarti ejekan atau penghinaan) yang selama masa Orde Baru berhasil membuat orang-orang Tionghoa tersebut menjadi sangat tidak berdaya terutama apabila ada masalah antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa.

Itulah sebabnya, jika hari ini masyarakat masih memproduksi ucapan dan diskriminasi Tionghoa versus non-Tionghoa, pribumi versus non-pribumi, muslim versus non-muslim, maka kita belum move on dari hegemoni kuasa pengetahuan yang ditancapkan oleh rezim Orde Baru. Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan sebutan atau kata China dianggap penghinaan?

Tionghoa Indonesia

Merunut sejarah, komunitas Tionghoa telah berada di pesisir utara Pulau Jawa, pesisir selatan Sumatera, dan pesisir barat Kalimantan lebih dari seribu tahun lalu. Umumnya mereka datang untuk berdagang atau mencari kehidupan baru karena di daratan Tiongkok pada masa itu terjadi banyak bencana alam dan perang saudara. Mereka kebanyakan berasal dari Provinsi Hokkian/Fujian di bagian timur daratan Tiongkok. Mereka menamakan diri Tenglang atau orang dari Dinasti Tong dalam dialek Hokkian.

Mereka hidup membaur dengan mengawini perempuan setempat. Keturunannya disebut peranakan, yang tidak dapat lagi berbahasa Hokkian. Pada masa itu bahasa Mandarin yang berasal dari Tiongkok Utara (sebutan orang Barat untuk bahasa di zaman Dinasti Ching atau Manchu) atau bahasa Cia Im (sebutan peranakan Tionghoa sebelum PD II) belum dikenal di Hindia Belanda.

Sejak pertengahan abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19 hubungan mereka dengan daratan Tiongkok boleh dikatakan nyaris terputus. Kaisar Dinasti Ching mengeluarkan peraturan yang melarang orang Tionghoa berlayar ke selatan karena jung-jung mereka sering dirompak bajak laut.

Orang-orang Belanda menyebut mereka Chineesen dan Negeri Tiongkok disebut Chi'na, konon berasal dari kata Dinasti Chin. Penduduk setempat menyebut mereka orang China, dari kata Belanda Chi'na, dan orang Jawa menyebut Cino atau Cinten. Adakah konotasi penghinaan dalam sebutan ini pada masa itu? Tidak ada sama sekali, karena orang-orang Tionghoa sendiri kadang-kadang menamakan dirinya China, sampai kedatangan orang Tionghoa dari daratan Tiongkok secara besar-besaran mulai pertengahan abad ke-19.

Mereka umumnya berasal dari Provinsi Kwangtung dan Hokkian, didatangkan Pemerintah Hindia Belanda selaras berkembangnya paham liberalisme dan tumbuhnya kapitalisme di Eropa untuk memenuhi kebutuhan pemilik perkebunan dan pertambangan di negara jajahan, termasuk di Hindia Belanda. Mereka membutuhkan tenaga kerja yang murah, loyal, dan efisien. Di samping itu banyak juga imigran yang datang untuk memulai hidup baru di tanah harapan di Nan Yang (kepulauan selatan), seiring dicabutnya larangan kaisar berlayar ke selatan.

Orang-orang Tionghoa yang baru datang itu berusaha secepatnya membaur dengan mempelajari bahasa setempat. Namun, karena lafal yang cadel, dan suara yang keras, mereka menjadi bahan tertawaan. Kuncirnya jadi bahan ejekan. Mereka disebut China baru atau singkeh. Karena berasal dari keluarga-keluarga miskin yang terpaksa hidup di perantauan, pola hidup mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, cenderung kikir. Hal itulah yang sampai saat ini masih sering dijadikan mitos atau stereotip orang China pelit dan egois, serta kata China mengandung konotasi untuk menghina atau merendahkan dan menjadi bahan ejekan.

Makna Imlek

Namun kini, etnis Tionghoa bernapas lega berkat jasa mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Dengan Keppres No 6/2000 inilah, ekspresi budaya, agama, dan kepercayaan bagi etnis Tionghoa telah dibebaskan secara terbuka dengan tanpa izin, sebagaimana terlihat pada salah satu tradisi Imlek, yaitu permainan barongsai.

Karena itu, perayaan Imlek di negeri kita secara tidak langsung telah menambah pengayaan budaya, baik sebagai ritual agama maupun tradisi komunitas. Acara ini juga dikenal dengan istilah gotong toapekong. Tahun Baru Imlek yang hingga saat ini ke 2569 bukanlah berangkat dari ruang historis yang kosong dan hampa makna. Konon secara historis, angka 2569 dihitung sejak kelahiran Kongzi, Khonghucu atau Confusius pada 551 SM. Maka angka 2569 sebenarnya merupakan penjumlahan angka 551 dan 2018.

Imlek merupakan hari pergantian tahun berdasarkan penanggalan Imlek (dalam bahasa Mandarin Yinli), yang perhitungannya didasarkan pada perputaran bulan. Rangkaian acara yang dilaksanakan oleh orang Tionghoa dalam menyambut tahun baru ini berlangsung selama kurun waktu sekitar dua pekan. Ritual itu diawali perayaan Imlek itu sendiri, yang jatuh pada tanggal satu bulan satu, dan diakhiri dengan keriaan pada hari ke-15 yang di Indonesia dikenal sebagai perayaan cap go meh.

Seperti juga tradisi di kalangan etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah dunia lain, di Indonesia Imlek biasanya disambut dengan pesta besar-besaran. Perhelatan ini mencakup pula rangkaian upacara keagamaan yang dilaksanakan di klenteng atau bio. Rangkaian upacara ini biasanya diikuti oleh acara pawai mengarak dewa-dewa mengelilingi kota sebelum akhirnya ditempatkan kembali di klenteng-klenteng asalnya.

Bagi umat Khonghucu, peringatan Imlek dipahami secara luas sebagai "Hari Persaudaraan" yang mengandaikan adanya kedamaian, cinta-kasih, keadilan, dan lain sebagainya, sebab Kongzi pernah mengingatkan bahwa "bila diri sendiri ingin tegak (maju), maka kita juga wajib membantu orang lain untuk tegak." Diingatkan pula bahwa di dalam persaudaraan itu, seharusnya kita tidak melihatnya secara tersekat-sekat, terkotak-kotak, karena pada hakikatnya menurut Kongzi, di empat penjuru samudera, semua manusia bersaudara. Dan semuanya itu perlu dilandasi cinta kasih (ren), kebijaksanaan (zhi) dan keberanian (yong), yang menjadi inti dari ajaran Kongzi atau inti dari ajaran agama Khonghucu.

Selamat Tahun Baru Imlek!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar