Kamis, 01 Februari 2018

Hak Politik dan Alat Negara

Hak Politik dan Alat Negara
Ikhsan Yosarie ;  Peneliti Laboratorium Ilmu Politik Universitas Andalas
                                                     KOMPAS, 01 Februari 2018



                                                           
Sejumlah perwira tinggi aktif dari TNI dan Polri akan mewarnai jalannya pilkada serentak 2018 nanti. Mereka, misalnya, Letnan Jenderal Edi Rahmayadi akan berlaga menjadi calon gubernur Sumatera Utara, Irjen Anton Charliyan sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat, Irjen Safaruddin sebagai calon gubernur Kalimantan Timur, dan Irjen Murad Ismail yang akan maju sebagai calon gubernur Maluku.

Terjunnya beberapa perwira aktif TNI dan Polri menjadi polemik tersendiri lantaran status mereka sebagai alat negara (TNI dan Polri) yang masih aktif. Dalam konteks demokrasi, khususnya di Indonesia, alat negara tentu harus bersikap netral dan tak terlibat politik praktis. Dengan demikian, deklarasi bahwa mereka akan maju pada Pilkada 2018 yang dilakukan sebelum mereka mundur dari dinas keprajuritan menjadi sesuatu yang tak etis dan berpotensi mengganggu netralitas dan profesionalitas sebagai alat negara.
Keterlibatan perwira aktif dalam politik praktis pada dasarnya menabrak beberapa aturan yang berlaku. TAP MPR Nomor VII/ MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 5 (2) mengamanatkan bahwa TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Amanat ini kemudian disambung dengan ayat 5, bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kemiliteran.

 Selain TAP MPR, aturan hukum lain yang secara tegas melarang keterlibatan alat negara, baik prajurit TNI maupun polisi , dalam politik adalah Undang-Undang No 34/2004 tentang TNI dan UU No 2/2002 tentang Kepolisian. Pasal 39 UU No 34/2004 maupun Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU No 2/2002 melarang mereka terlibat dalam beberapa hal, yaitu anggota parpol, politik praktis, bisnis, dan dipilih dalam pemilu atau jabatan politis lain, .

HAM dan alat negara

 Pro-kontra pengembalian hak politik militer kembali mencuat menjelang pemilu atau pilkada. Hal ini dapat kita maklumi sebagai bagian dari hak setiap warga negara untuk memilih atau dipilih dalam pesta demokrasi. Pengembalian hak politik militer, dalam kerangka HAM, sebenarnya punya dimensi kelogisan, bukan hanya sekadar preseden ketika ABRI berpolitik di masa lalu, tetapi Pasal 28 UUD 1945 sudah menjamin HAM setiap WNI. Benang merahnya, prajurit TNI dan anggota kepolisian, juga WNI, menurut Pasal 28 ayat (1) huruf a UU No 34/2004 dan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU No 2/2002.

Di Pasal 28 UUD 1945 diatur perihal kemerdekaan berpendapat setiap warga negara, perlindungan dari diskriminasi, kepastian hukum, dan hak untuk mengembangkan diri. Amanat Pasal 28 itu secara tak langsung mengarah kepada hak politik adalah sesuatu yang universal, di mana setiap warga negara pada dasarnya memiliki hak memilih dan dipilih tanpa diskriminasi. Selama seseorang menjadi prajurit TNI dan/atau anggota kepolisian yang notabene bagian dari Indonesia dan WNI, selama itu pula mereka memiliki hak berpolitik.

Namun, persoalannya tak hanya menimbang dimensi HAM warga negara, karena dalam konteks demokrasi terjadi polarisasi status antara sipil-militer. Alat negara tak boleh berpolitik praktis lantaran punya tanggung jawab berbeda, yaitu pertahanan dan keamanan. Demi mengemban amanat ini, alat negara dilengkapi persenjataan. Artinya, posisi sebagai alat negara membuat semacam garis batas antara HAM dan WNI dalam konteks hak politik. Garis batas ini bukan berarti meniadakan atau diskriminasi, tetapi bagian dari dukungan pelaksanaan tugas.

 Rasionalitas penolakan terhadap pengembalian hak politik militer juga patut jadi pertimbangan. Selain TAP MPR No VII/MPR/2000, UU No 34/2004, dan UU No 2/2002 sebagai landasan yuridis, terdapat pula beberapa alasan lain yang relevan.

Pertama, dalam konteks profesionalitas TNI dan Polri. Terlalu jauhnya TNI dan Polri serta dalam dunia politik, dikhawatirkan berimbas kepada profesionalitasnya. Intensitas peran militer akan habis dalam dunia politik praktis. Sementara tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara akan terpinggirkan.

 Ketika dulu militer terlibat politik praktis, keterlibatannya hampir mencakup ke semua aspek kekuasaan politik. Bisa kita lihat dominasi ABRI pada (1) bidang administrasi pemerintahan, (2) pengurusan dan pembentukan parpol, (3) jabatan-jabatan di birokrasi pemerintahan sipil, (4) posisi sebagai komisaris di BUMN, (5) pihak yang menjadi mediator ketika terjadi konflik di masyarakat (Asrinaldi, 2014).

 Kedua, pengembalian hak politik alat negara berindikasi mengakibatkan perpecahan di dalam tubuh TNI-Polri. Tiap-tiap perwira menjadi basis politik, dan berupaya untuk memperluas pengaruh politiknya kepada prajurit atau anggota di bawahnya. Hal-hal seperti ini sangat berbahaya dalam menjaga kesolidan internal karena pengaruh pilihan politik praktis perwira.

 Sosialisasi perihal demokrasi dan hak politik kepada para prajurit juga perlu diperhatikan. Pemahaman demikian tidak bisa hanya sebatas kepada para perwira. Sosialisasi ini harus sampai ke satuan-satuan di bawah, untuk mencegah salah komunikasi. Misalnya salah penafsiran terhadap instruksi atasan. Ketika atasan ”sekadar” memberi pujian atau membahas salah satu tokoh politik atau calon kepala daerah, itu bisa ditafsirkan atasan memihak tokoh tersebut. Padahal belum tentu. Kata lainnya adalah proses demokrasi yang belum matang di tubuh TNI. Under the command menjadi paradoks jika dihadapkan dengan hak politik yang bersifat merdeka atau bebas dari intervensi.

Kedewasaan berdemokrasi

 Ketiga, TNI dan Polri sebagai alat negara. Posisi ini membuat pergerakannya disesuaikan dengan keputusan politik negara. Dengan posisi untuk menjaga fokus pertahanan keamanan, hak politik mereka ditiadakan. Secara filosofis, posisi ini bisa ditafsirkan, ketika seseorang memasuki dunia kemiliteran, bersamaan dengan itu ia memberikan atau mewakafkan HAM-nya untuk kepentingan negara. Dengan demikian, pada kasus demikian tak logis jika ketiadaan hak politik ditafsirkan negara merampas HAM prajurit TNI-anggota kepolisian, dalam bentuk hak politik.

 Penyerahan HAM prajurit TNI dan anggota kepolisian dalam bentuk hak berpolitik kepada negara itu wajar, sehingga membuat politik negara menjadi politik TNI dan Polri. Tak seperti warga negara biasa, prajurit TNI merupakan warga negara yang diperlengkapi senjata, dan menggunakan alutsista. Jika senjata- senjata itu memasuki dunia politik praktis, akibat buruk dan preseden buruk berdemokrasi menanti di depan mata kita.

Perubahan posisi militer dalam politik Indonesia tergolong signifikan, karena semasa Orde Baru kita melihat bagaimana militer menjadi basis terkuat dalam perpolitikan. Perubahan ini bisa kita maklumi mengingat rekam jejak militer ketika aktif berpolitik semasa Orde Baru. Kedewasaan berdemokrasi menjadi catatan penting yang harus ditekankan kepada militer, sebagai bagian dari reformasi internal militer. Dengan kedewasaan berdemokrasi, alat negara menyadari posisi dan tanggung jawabnya dan mendukung terwujudnya konsolidasi demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar