Dua
yang Tak Jera
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di
perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
26 Februari
2018
Dalam dua bulan ini kita
menyaksikan parade penangkapan oleh aparat terhadap para pelaku dua jenis
kejahatan serius, yaitu korupsi dan narkotika. Dalam waktu kurang dari dua
bulan KPK sudah menetapkan 7 kepala daerah sebagai tersangka korupsi.
Sebagian di antaranya adalah kasus yang terjaring operasi tangkap tangan.
Bahkan ada dua hari berurutan, KPK menangkap pelaku korupsi, yaitu Bupati
Subang (13 Februari), dan anggota DPRD Lampung Tengah (14 Februari).
Sementara itu penangkapan penjahat narkotika juga terus terjadi. Beberapa
penangkapan kapal berisi narkotika yang terjadi belakangan ini mengungkap
usaha penyelundupan narkotika dalam jumlah yang mencengangkan, dalam orde
ton.
Di satu sisi kita senang
dengan berbagai penangkapan itu. Itu tandanya aparat kita sedang bekerja
melaksanakan tugas mereka. Tapi ketika penangkapan terus terjadi, tentu kita
tak bisa memaknainya sesederhana itu. Kenapa kejahatan-kejahatan serius itu
terus terjadi?
Untuk memahami situasinya,
kita harus meminjam logika maling. Maling yang hendak mencuri tidak pernah
melupakan satu hal dalam rencananya, yaitu jalan untuk melarikan diri. Kalau
maling tidak menemukan jalan itu dalam rencananya, ia tidak akan
mengeksekusinya. Penjahat narkotika dan koruptor memakai logika yang sama.
Kalau mereka tidak menemukan peluang untuk lolos, mereka tidak akan melakukan
kejahatan.
Tapi, bukankah serentetan
penangkapan itu menunjukkan bahwa tidak ada peluang untuk lolos? Salah.
Justru peluang untuk lolos lebih besar. Kita bisa analisis dari kasus-kasus
narkotika. Banyak usaha penyelundupan digagalkan. Tapi apakah itu berarti
tidak ada narkotika yang beredar hingga ke tangan konsumen? Faktanya, ada
begitu banyak yang lolos, dan dinikmati oleh para pelanggannya. Hampir setiap
minggu kita melihat berita penangkapan pengguna narkotika dari kalangan
pesohor. Dari kalangan non pesohor yang tidak diberitakan, lebih banyak lagi.
Dalam soal korupsi,
situasinya mirip. Yang berhasil ditangkap dan ditangani KPK itu hanya secuil,
puncak dari sebuah gunung es saja. Yang masih terus berlangsung, sangat
banyak.Karena itulah berbagai penangkapan tadi bukan isyarat yang
menggembirakan, tapi justru menyedihkan. Kejadian-kejadian itu menggambarkan
bahwa para penjahat itu melihat begitu banyak peluang untuk beraksi.
Ada sejumlah kasus korupsi
yang berentetan. Gubernur Sumatera Utara, misalnya, berturut-turut ditangkap
karena korupsi. Gubernur Syamsul Arifin ditangkap. Penggantinya Gatot Pujo
Nugroho, belakangan ditangkap juga. Provinsi Riau lebih "hebat"
lagi, karena mampu mencetak "hattrick", tiga gubernurnya
berturut-turut ditangkap karena korupsi, yaitu Saleh Djasit, Rusli Zainal,
dan Annas Maamun. Hal yang sama terjadi di Subang, tiga bupatinya
berturut-turut ditangkap dalam kasus korupsi.
Orang-orang itu tidak
korupsi karena kebetulan. Boleh dikatakan, banyak orang berusaha menjadi
kepala daerah agar bisa korupsi. Proses pilkada kita jelas sangat tidak masuk
akal. Untuk jadi bupati atau walikota saja orang harus mengeluarkan uang
bermiliar-miliar. Mustahil uang itu bisa kembali tanpa korupsi. Tapi kenapa
ada yang mau keluar uang sebanyak itu? Karena mereka melihat peluang
kembalinya besar.
Orang berani korupsi
karena ada peluang untuk melakukannya, dan ada peluang lolos. Perhatikan
bahwa sebagian besar kasus korupsi yang terungkap itu ditangani oleh KPK.
Pernahkah kita mendengar lembaga pengawas seperti Inspektorat Jenderal di
Kementerian membongkar kasus korupsi? Sangat sedikit. Artinya, orang berani
korupsi karena tahu bahwa lembaga pengawas tidak bekerja, atau bahkan korup
juga.
Kalaupun sial tertangkap,
masih ada sederet kesempatan untuk lolos. Ketika sampai akhirnya divonis
masuk penjara pun, para koruptor masih punya harapan untuk mendapat
keistimewaan di penjara. Dengan masa hukuman hanya beberapa tahun, mereka
tetap bisa hidup nikmat.
Ceritanya sama dengan para
penjahat narkotika. Bahkan Kepala BNN sampai frustrasi melihat kenyataan
bahwa bandar narkotika bisa tetap mengendalikan bisnisnya dari penjara.
Berkali-kali kita menyaksikan berita penangkapan Kepala Lembaga Pemasyarakatan,
karena terlibat dalam jaringan peredaran narkotika. Bisa kita duga bahwa yang
terlibat tapi tak tertangkap jauh lebih banyak jumlahnya.
Kedua kejahatan ini
berujung pada satu hal yang sama, yaitu mental korup. Aparat pemerintah
korup. Mereka diangkat dan dipelihara oleh pejabat dan kepala daerah yang
korup. Kepala daerah dipilih oleh rakyat yang korup. Kok rakyat yang
disalahkan?
Rakyat bukan korban tak
berdosa. Sistem korup ini ada karena dibiarkan ada dan dipelihara. Mengapa
biaya yang dikeluarkan kandidat kepala daerah demikian besar? Karena ada
begitu banyak pihak yang harus dibayar untuk memenangkan pilkada. Pembayaran
itu adalah suatu bentuk korupsi. Politik uang begitu nyata terjadi, tapi kita
tak pernah menyaksikan ada yang kena sanksi.
Belum lagi soal penerimaan
pegawai di lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum. Itu juga korup.
Untuk bisa masuk, orang harus punya koneksi, atau harus membayar. Tidak heran
bila pegawai dan aparat yang direkrut adalah orang-orang korup juga.
Apakah semua begitu?
Tidak. Kita sedang terbelah dalam kelompok yang ingin memperbaiki, dan
kelompok yang ingin bertahan. Ada upaya-upaya perbaikan, tapi masih jauh dari
cukup dibanding dengan upaya untuk merusak. KPK misalnya, adalah wujud dari
upaya untuk memperbaiki. Tapi kita sering mendengar usaha untuk
membubarkannya.
Dua jenis kejahatan yang
pelakunya belum juga jera, mengingatkan pada kita bahwa masih begitu panjang
perjuangan untuk memperbaiki bangsa ini. Hal penting untuk diingat adalah,
kejahatan mereka bukan sama sekali tak terhubung dengan kita. Sebenarnya,
justru terhubung sangat kuat. Jera atau tidaknya mereka, tergantung pada cara
kita bersikap secara kolektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar