Budaya
Politik
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
|
KOMPAS,
01 Februari
2018
Budaya politik (political culture) hampir
bisa dipastikan adalah aspek reformasi politik yang tidak berkembang
signifikan sepanjang masa transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia selama
hampir dua dasawarsa terakhir. Akibatnya, demokrasi Indonesia pasca-Soeharto
masih ditandai kelemahan mendasar yang membuatnya cacat (flaw democracy).
Berbagai aspek budaya politik, seperti
sikap, kepercayaan, dan sentimen, yang menciptakan tatanan dan makna pada
proses politik sering tidak cocok dengan demokrasi. Budaya politik yang juga
terkait asumsi dan tata aturan yang membentuk perilaku politik dalam sistem
politik acap kali tidak selaras dengan demokrasi.
Indonesia boleh bangga dengan pencapaian
demokrasi lewat pemilihan umum yang terselenggara sejak 1999. Indonesia
sangat kaya pemilu, seperti pemilihan legislatif (pileg) yang sudah empat
kali menjelang lima kali (1999, 2004, 2009, 2014, dan segera 2019). Lalu,
pemilihan presiden secara langsung (2004, 2009, 2014, dan tak lama lagi
2019). Selain itu, masih ada pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005
yang pada 2018 dilaksanakan di 171 daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Akan tetapi, pemilu cenderung kian menjadi
rutinitas. Di luar kerutinan, hanya ada ketegangan dan peningkatan suhu
politik. Penyebabnya sering bukan murni politik, melainkan karena penggunaan
dan penyalahgunaan (used and abused) isu suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) dalam kontestasi politik. Padahal, isu SARA tidak hanya divisif,
tetapi juga membuat merosotnya kualitas demokrasi.
Kualitas demokrasi terkait tidak hanya
dengan pemilu yang dilaksanakan reguler. Ada faktor lain yang membuat
meningkatnya kualitas demokrasi, terutama budaya politik yang semestinya
kompatibel dan memperkuat demokrasi.
Antonio Gramsci pernah berargumen (1971,
1985) tentang budaya politik sebagai budaya yang dalam (deep culture),
ideologi, dan mentalitas. Akan tetapi, budaya politik (yang tidak kondusif)
juga dapat menghalangi pertumbuhan demokrasi berkualitas. Oleh karena itu,
perlu penyadaran tentang pengembangan budaya politik demokrasi di setiap
lapisan masyarakat yang terlibat dalam proses politik.
Sudah sampai di mana pertumbuhan budaya
politik demokrasi Indonesia? Pada akar rumput terlihat gejala kontradiktif
pertumbuhan budaya politik demokrasi. Pada satu segi, warga pemilih antusias
memberikan suara; rata-rata lebih dari 70 persen dari satu pemilu ke pemilu
sejak 1999. Relatif tingginya partisipasi politik dalam pemilu menjadi salah
satu indikator peningkatan budaya politik demokrasi.
Indikator ini mengisyaratkan kebanyakan
warga kian terbiasa dengan proses politik demokrasi untuk mengekspresikan
aspirasi politik secara damai dan berkeadaban. Berbagai pemilu di Indonesia
umumnya berlangsung lancar, aman, dan damai. Jika ada kekerasan, itu biasanya
sporadis dan hanya di tempat tertentu.
Gejala ini berbeda dengan fenomena di tahun
awal transisi demokrasi, yakni akhir 1990-an dan awal 2000. Pada masa ini,
ekspresi demokrasi sering diwujudkan warga akar rumput dalam bentuk
demonstrasi yang gaduh sehingga memunculkan istilah demo-crazy. Sering pula
terjadi penggunaan kekuatan mob atau massa beringas (mobocracy).
Berbagai kajian akademis menyimpulkan
perubahan budaya politik warga pemilih terjadi berbarengan dengan membaiknya
kondisi politik. Tercapainya stabilitas politik dan keamanan memungkinkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga.
Namun, di segi lain, budaya politik warga
pemilih kian terkontaminasi ”politik uang”. Berbagai pemilu diwarnai
pengguna- an uang (money politics) yang lazimnya ditutupi istilah ”bantuan”
untuk konstituen, yakni berupa ”bantuan sosial” bagi organisasi atau kelompok
masyarakat tertentu serta perbaikan jalan atau rumah ibadah. Amplop berisi
lembaran uang juga dibagikan buat warga pemilih oleh mereka yang
berkontestasi dalam pemilu untuk ”pengganti biaya transpor”.
Perilaku yang kelihatan sudah membudaya itu
memperlihatkan perubahan budaya politik tidak banyak terjadi di lingkungan
elite politik parpol atau lembaga politik semacam parlemen dengan berbagai
tingkatannya. Budaya politik ini tak lain merupakan ramifikasi dari politik
nondemokrasi semacam otoritarianisme.
Dalam konteks terakhir ini dapat dilihat
bertahannya oligarkisme politik dalam parpol dan lembaga politik lain,
seperti parlemen. Dalam parpol, oligarki terwujud ketika kebijakan dan
keputusan partai hanya ditentukan elite politik puncaknya. Gejala ini biasa
disebut polito-cracy—kekuasaan politik ditentukan segelintir politisi.
Oligarki politik ini kian menguat ketika
parpol mengalami personifikasi dengan ”orang kuat”. Bisa pendiri partai atau
figur lain yang menjadi pemimpin partai karena kemampuan pendanaan atau
karena posisi tinggi jabatan publik yang dipegang sebelum mendapat ”durian
runtuh” menjadi ketua partai.
Polito-cracy sangat mewarnai politik
Indonesia—yang sekali lagi menjadikan demokrasi Indonesia sebagai flaw
democracy. Fenomena ini juga terlihat dalam penetapan calon-calon yang bakal
bertarung dalam Pilkada 2018 dan penetapan ketua DPR. Kekuatan politik di
luar oligarki politik—apalagi warga pemilih akar rumput—sama sekali tidak
didengar aspirasinya.
Jika kita ingin demokrasi Indonesia
meningkat kualitasnya, budaya politik perlu direformasi. Langkah apa yang
perlu dilakukan untuk menumbuhkan budaya politik demokrasi?
Pertama-tama, elite politik dalam parpol
dan lembaga politik lain perlu melakukan redemokratisasi. Ini merupakan
tantangan yang tidak mudah. Namun, prosesnya bisa dimulai dengan
merevitalisasi dialog dan musyawarah di antara lingkaran elite politik, baik
secara internal maupun eksternal, dengan kekuatan politik lain.
Selanjutnya, perlu diselenggarakan dialog
publik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan politik dan demokrasi.
Dialog semacam ini sangat penting untuk mengembalikan demokrasi ke
pangkalnya: kedaulatan politik berada di tangan rakyat untuk sebesar-besarnya
kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar