Arah
Baru Indonesia
Anis Matta ; Pengamat Politik Internasional
|
REPUBLIKA,
21 Februari
2018
Pada tahun ini, reformasi berusia 20 tahun.
Momentum sejarah itu menandai berakhirnya satu fase dalam perjalanan panjang
sejarah kita, yaitu fase membangun negara-bangsa modern sejak kemerdekaan 17
Agustus 1945. Pada fase itu, Indonesia melakukan trial-error sistem dan
tatanan pengelolaan negara. Setelah 72 tahun, kini kita mulai menemukan
keseimbangan baru dalam bingkai negara-bangsa modern.
Masih banyak pekerjaan rumah menumpuk untuk
dituntaskan agar kita berhasil menjadi negara-bangsa sesuai dengan cita-cita
para pendiri bangsa kita. Arah ke depan harus segera dirumuskan agar kita
tidak larut dalam tarik-menarik dan dinamika geopolitik global yang memanas.
Untuk itu, kita perlu arah baru Indonesia.
Untuk mengetahui arah baru itu, kita perlu
mengetahui di mana Indonesia sekarang. Pada 2013 saya menulis buku Gelombang
Ketiga Indonesia sebagai usaha melihat Indonesia dalam skala waktu yang
panjang dengan analogi gelombang sejarah, bukan sekadar jepretan foto
(snapshot) sesaat.
Gelombang sejarah
Gelombang pertama terjadi sejak penjajahan
di Nusantara hingga proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di situ kita
mengalami dua transformasi besar, yaitu transformasi identitas dari etnis
menjadi bangsa, dan transformasi politik dari kerajaan-kerajaan kecil menjadi
negara republik. Yang menarik, bangsa Indonesia telah lahir jauh sebelum
berdirinya negara Indonesia merdeka. Butuh waktu cukup panjang, mulai dari
hingga 1945 untuk merealisasikan gagasan kebangsaan menjadi wujud suatu
negara merdeka.
Salah satu tonggak sejarah yang menarik
adalah dipilihnya bahasa Indonesia sebagai “bahasa persatuan” dari bangsa
yang baru lahir itu. Bahasa Indonesia diserap dari bahasa Melayu yang
mengandung spirit demokrasi dan egalitarian dalam strukturnya. Tidak ada
hierarki (ngoko-kromo seperti bahasa Jawa) dan juga tidak ada dimensi waktu
(past-present-future). Sedikit banyak pemilihan ini dipengaruhi hasrat ingin
bebas dan setara dengan manusia bangsa-bangsa lain.
Setelah memproklamasikan negara Indonesia
yang merdeka dan berdaulat, kita memasuki gelombang kedua yang berisi usaha
membangun negara-bangsa modern. Rentang waktu ini diisi oleh sejumlah
eksperimen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari era Sukarno,
Soeharto, hingga Reformasi. Semua eksperimen dan pilihan itu tidak terlepas
dari kondisi global saat itu. Warna utama pada separuh gelombang itu adalah
Perang Dingin sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga runtuhnya Tembok
Berlin, hancurnya Uni Soviet, serta sejumlah peristiwa bersejarah lainnya
pada akhir 1980-an hingga paruh pertama 1990-an.
Kita mengalami pergolakan dalam waktu 72
tahun, bergulat menemukan titik keseimbangan antara semua dimensi kehidupan
kita dalam satu sistem. Orde Lama berhasil membangun fondasi konstitusi kita,
membangun dasar kehidupan bernegara, tetapi gagal dalam mewujudkan output
yang diharapkan oleh rakyat dari institusi yang bernama negara, yaitu
kesejahteraan.
Orde Baru datang dengan antitesis terhadap
Orde Lama. Ada demokrasi di masa Orde Lama, tetapi tidak ada kesejahteraan.
Orde Baru datang dengan satu tesis baru bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan,
diperlukan stabilitas dan untuk itu, diperlukan pemerintah yang kuat. Negara
menjadi terlalu kuat di masa Orde Baru. Memang ada kesejahteraan tetapi
ongkos dari kesejahteraan ini adalah reduksi demokrasi. Karena itu, orde ini
juga berakhir ketika klaim kesejahteraan runtuh digerus krisis moneter 1997.
Reformasi datang dengan usaha mewujudkan
sintesis bahwa kita bisa mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan. Karena itu
semangat zaman Reformasi adalah menolak kediktatoran dan menciptakan
kesejahteraan tanpa perlu mengawalnya dengan senjata.
Setelah 20 tahun Reformasi, kenyataannya
orang susah mempertemukan dua kata ini: “demokrasi” dan “kesejahteraan”. Kita
lupa ide ini berhubungan dengan sistem lain, yaitu sistem ekonomi pasar
bebasTak heran jika selama 20 tahun ini kita masih mencari titik temu antara
negara, pasar, dan masyarakat sipil.
Ke mana kita melangkah?
Setelah kita membaca GPS posisi sekarang,
lalu ke mana kita akan melangkah? Kita melihat fakta bahwa antara potensi
yang kita miliki dengan apa yang sudah kita capai terbentang jarak yang
sangat jauh. Sementara orang-orang di luar sana meramalkan Indonesia bisa
menjadi perekonomian ke-4 atau ke-5 dunia dalam 30 tahun mendatang, kita di
sini tidak merasakan hal itu. Langit kita masih terlalu tinggi, tetapi kita terbang
terlalu rendah. Itulah kontradiksi terbesar saat ini.
Ketika dunia mengalami krisis ekonomi global
pada 2008, hampir semua pemikir strategis berpendapat inilah akhir sistem
kapitalisme global. Salah satu reaksi dari krisis itu adalah munculnya pemimpin
“kanan jauh” di Eropa. Jika kita amati yang terjadi adalah penggunaan
instrumen nasionalisme untuk melawan liberalisme, karena ternyata yang
menikmati kesejahteraan sangat besar dari sistem ini adalah kaum korporasi
yang tidak bertanah air.
Pembelahan dan ketimpangan ekonomi semakin
tajam. Pada saat yang sama, kaum korporasi percaya mereka mampu membentuk
global government karena merasa lebih kuat dari negara. Kemenangan Donald
Trump menunjukkan bahwa yang miskin dan marah di Amerika bukan lagi imigran
dan kaum kulit berwarna tetapi kaum kulit putih yang terpuruk kehilangan
pekerjaan karena otomatisasi dan relokasi pekerjaan serta serbuan produk
impor.
Artinya, dunia akan berada dalam satu
ketidakpastian yang panjang. Ekonomi bertumbuh lambat, pergulatan sosial
terus-menerus terjadi. Dunia seperti tidak ada pemimpin karena Amerika dan
Barat pada umumnya sudah tidak bisa lagi melakukan mobilisasi besar-besaran
untuk mendukung agendanya. Struktur kekuatan global sedang berubah menjadi
nyaris datar dan multipolar. Dominasi ekonomi Amerika dibayangi China dan
Barat tak berkutik melawan Rusia. Inilah momentum berharga yang harus bisa
kita manfaatkan.
Arah baru
Inilah dunia yang kita hadapi sekarang.
Ketika kita akan melangkah, kita bertemu dua fakta: dunia yang terbelah dan
kita terbang terlalu rendah. Jika kita ingin terbang tinggi maka syaratnya
adalah penguasaan ilmu pengetahuan yang kemudian diturunkan ke dalam
pengembangan teknologi, kekuatan militer, dan penciptaan kesejahteraan.
Pada gelombang ketiga sejarah ini, Indonesia
bisa menjadi salah satu kekuatan dunia jika kita memiliki arah baru dan peta
jalan yang jelas. Yang pertama harus dilakukan adalah konsolidasi ideologi.
Bagaimana kita mempertemukan empat komponen: agama, nasionalisme, demokrasi,
dan kesejahteraan dalam satu kerangka ideologis. Ini berarti kita harus
mengakhiri konflik antara Islam dan nasionalisme serta antara Islam dan
negara. Kita juga harus bisa mempertemukan demokrasi dan kesejahteraan.
Indonesia ke depan adalah bangsa yang religius, cinta tanah air, menghargai
kebebasan, sekaligus sejahtera.
Yang kedua adalah pembangunan kapasitas
negara di bidang ekonomi, teknologi dan militer untuk memastikan delivery
kesejahteraan kepada rakyat. Kita membutuhkan paradigma dan mesin pertumbuhan
ekonomi baru untuk melipatgandakan ukuran perekonomian dan membangun fondasi
kesejahteraan jangka panjang. Sementara agenda darurat kita sekarang adalah
segera keluar dari jebakan utang luar negeri.
Yang ketiga adalah mengubah pola aliansi dan
kemitraan strategis global kita. Indonesia sejahtera pada masa Orde Baru
karena bergabung dengan sistem kapitalisme global yang sedang berjaya. Untuk
menjadi bangsa berdaulat dan sejajar di dunia, kita tidak boleh lagi hanya
menjadi follower dari kekuatan besar, karena sekarang sedang tidak ada
kekuatan dominan di dunia.
Untuk menjadi pemain utama dunia Indonesia
punya dua daya ungkit (leverage) yang selama ini terabaikan. Leverage yang
pertama adalah posisi sebagai negara terbesar di Asia Tenggara. Ke depan
Indonesia harus menegaskan peran dan kepemimpinannya sebagai jangkar
kestabilan wilayah.
Pengungkit kedua adalah Indonesia sebagai
negeri Muslim terbesar di dunia. Terbesar di sini tidak lagi dilihat dari
jumlah penduduk, tetapi kekuatan ekonomi. Indonesia adalah negeri Muslim yang
masuk G-20 bersama Turki dan Saudi Arabia. Namun, Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) kita jauh lebih besar dua negara tersebut. Di sisi politik, pengalaman
demokratisasi kita lebih dalam dan maju. Artinya, dari sisi ekonomi dan
politik, kita memiliki legitimasi memimpin dunia Islam ke depan.
Dua kekuatan ini yang harus dimainkan dengan
cantik di papan catur geopolitik dunia. Pada saat yang sama, kita harus terus
bekerja keras memperkuat pilar-pilar ekonomi, teknologi dan militer nasional.
Dengan itulah Sang Saka Merah Putih akan berkibar di langit dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar