Akar
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 09 Februari 2018
SERING
kali kita kagum pada pohon dengan daun dan buahnya yang lebat serta rindang.
Atau bunganya yang indah menawan. Namun, mata dan pikiran kita tidak
memperhatikan ranting dan dahan yang menyangganya.
Sekali
waktu kita juga terpana dan kagum melihat batang pohon yang gagah, tegak
berdiri menjulang ingin menggapai langit. Tetapi, hampir-hampir kita tidak
peduli dan kagum pada akarnya yang membuat pohon itu subur serta tidak roboh
ketika diterpa angin.
Peran
akar yang sedemikian vital bagi tegaknya bangunan di atasnya pernah
menginspirasi Prof Dr Ir Sedyatmo (1909–1984) ketika pada tahun 1961 menerima
tugas negara membangun tujuh menara listrik tegangan tinggi di daerah
rawa-rawa Ancol, Jakarta Utara. Dia berpikir keras bagaimana mesti membuat
fondasi yang kokoh di atas tanah yang labil.
Berhari-hari
berpikir namun belum menemukan formula meyakinkan. Sambil melamun melihat
pantai, tiba-tiba mata dan pikirannya terhenyak kagum ketika melihat pohon
kelapa yang batang pohonnya diombang-ambingkan angin, tapi pohon kelapa itu
tidak roboh.
Dia
menemukan pengalaman: Aha...! Pasti kekuatannya terletak pada akarnya yang
kecil-kecil panjang menghunjam dalam dan menyatu dengan tanah secara solid.
Akar-akarnya itu mencengkeram tanah bagaikan cakar ayam. Kemudian dia
memutuskan membuat fondasi dikenal sebagai teknologi “cakar ayam” yang kini
telah dipakai di lebih dari 40 negara di dunia.
Jadi,
peran akar dan kinerjanya memang tidak terlihat, tetapi sangat menentukan
kekuatan bangunan ataupun pohon yang berada di atasnya. Bahkan kita juga
mengenal ungkapan “akar masalah”.
Kita
sering terkecoh dan sibuk membahas serta menyelesaikan simpton penyakit yang
terlihat di permukaan, tapi tidak menyentuh akar dan sumber masalahnya.
Begitu pun menyangkut kepribadian seseorang, dalam psikologi dikenal istilah
“gunung es”. Hal yang terlihat di permukaan hanya sekitar 12,5%, sebagian
besar, bagaikan akar, tersembunyi di bawah.
Fenomena
gunung es (iceberg) ini dianalogikan dengan struktur kepribadian seseorang.
Kita hanya mengenal seseorang sebatas yang terlihat di permukaan, padahal
karakter sejatinya tertutup, sebagaimana sebuah gunung es atau mirip jam
tangan.
Kita
hanya melihat dan memperhatikan dua buah jarum yang menunjuk angka, sementara
di baliknya terdapat sistem mesin rumit yang menggerakkan dan mengatur
jalannya jarum jam agar kinerjanya benar, tidak menipu penggunanya.
Lagi-lagi,
kita memang mudah mencela atau mengagumi seseorang hanya berdasarkan apa yang
terlihat di permukaan atau perjumpaan sesaat sehingga sering kali tertipu.
Atau tidak tepat ketika menilai seseorang. Don't judge the book by its cover.
Di
samping kesadaran akan vitalnya peran akar, sesungguhnya sebuah pohon juga
memberikan pelajaran hidup (wisdom) amat dalam maknanya untuk manusia. Kalau
saja kita mau merenungkan, yaitu sebuah kerja sama yang kompak dan tulus
dalam menjalankan peran masing-masing, tidak saling menjegal, dan tidak iri
terhadap perannya yang lain.
Sejak
dari akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah dan kesemuanya memiliki
peran masing-masing dan berusaha tampil yang terbaik, tanpa merasa iri dengki
terhadap lainnya. Akar yang sibuk mencari vitamin di dalam tanah dan menjaga
pohon agar tidak roboh, tidak merasa iri ketika buahnya memperoleh pujian
orang.
Dahan
dan ranting dengan setia menyangga daun dan buah yang tumbuh rindang agar
misi pohon tercapai, baik untuk berteduh ketika orang kepanasan maupun untuk
mempersembahkan buahnya pada manusia atau burung-burung yang menyukainya.
Bayangkan,
apa yang terjadi kalau masing-masing bagian dari pohon itu melakukan sabotase
terhadap yang lain. Apa jadinya, kalau antarbagian itu saling iri dan
berkelahi. Pasti misi kehadiran pohon tidak tercapai.
Demikianlah
sejarah memberikan pelajaran kepada kita untuk belajar dari pengalaman masa
lalu dan orang lain. Bahwa kerukunan, kedamaian, kekompakan, dan kerja sama
itu pasti akan mendatangkan banyak manfaat untuk kita semua.
Sebaliknya,
perkelahian dan percekcokan tersebut hanya akan merugikan kita semua. Kata
“sejarah” sendiri berasal dari bahasa Arab “syajaroh” yang artinya adalah
pohon, yaitu pohon kehidupan manusia yang beraneka ragam etnis, bahasa,
budaya, dan agama. Alquran memerintahkan, yang paling penting itu berlomba
dalam berbuat baik sesuai dengan kapasitasnya, bukan mempertentangkan
keragaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar