Yaman
dan Pusaran Politik Timur Tengah
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 17 Januari 2018
PADA saat kita memulai
kerja pada hari ini, ada rata-rata 11 orang yang meninggal setiap harinya di
Yaman. Perang yang telah berkecamuk sejak Maret 2015 itu telah menelan korban
tewas kira-kira 13.000 orang dan lebih dari 1.500 di antaranya anak-anak. Lebih
dari 50.000 orang terluka dan tidak mendapatkan akses pengobatan karena
blokade ekonomi dan militer.
Informasi dari PBB
tersebut mungkin hanya pengukuran yang sangat konservatif berdasarkan laporan
fasilitas kesehatan yang tersedia di sana. Namun, angkanya mungkin saja lebih
besar daripada apa yang tertulis di atas kertas.
Serangan utama dilakukan
paling banyak melalui serangan udara dengan risiko kematian rakyat sipil yang
relatif tinggi karena pengebom tidak dapat mengendalikan siapa yang akan
menjadi korban. Serangan bom udara yang dilakukan oleh koalisi negara-negara
Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi itu telah menyasar baik sengaja atau tidak
disengaja beberapa infrastruktur seperti masjid, pasar, pabrik, pemakaman,
sekolah, dan rumah sakit. Hal ini dikonfirmasi oleh laporan investigasi yang
dilakukan oleh PBB tahun lalu.
Penghancuran infrastruktur
dan blokade angkatan laut Saudi telah menyebabkan kekurangan pasokan medis
yang melumpuhkan dan mendorong seperempat populasi negara itu ke ambang kelaparan.
UNICEF memperkirakan bahwa setiap 10 menit setidaknya satu anak meninggal di
Yaman sebagai akibat dari penyebab yang sebenarnya dapat dicegah seperti
malnutrisi, diare, atau infeksi saluran pernafasan.
Keadaan yang menyedihkan
itu dimulai dari perang sipil antara Gerakan Pemberontakan Kelompok Houthi
yang beraliran Syiah terhadap kekuasaan Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi yang
diakui secara internasional didukung oleh Arab Saudi dan dunia internasional.
Yaman sebagai salah satu negara termiskin di dunia Arab bahkan sebelum perang
dimulai menjadi semakin hancur oleh perang yang tidak berkesudahan. Namun,
apa yang sebenarnya terjadi?
Perang yang pecah pada
2015 itu adalah akumulasi dari ketidakstabilan yang terjadi pada 2011 yang
menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh dari kursi
kepresidenan. Presiden Saleh telah berkuasa sejak 1990, tepatnya ketika
krisis dunia yang membubarkan Uni Soviet telah menyatukan Negara Yaman Utara
dan Negara Yaman Selatan. Presiden Saleh adalah presiden Yaman Utara pada
saat itu didukung oleh Amerika Serikat (AS) dan sebagian besar negara-negara
Arab, sementara Yaman Selatan didukung oleh Uni Soviet.
Krisis tidak serta-merta
timbul. Krisis terjadi karena pemerintahan Presiden Saleh ternyata koruptif
dan sarat nepotisme dan telah melumpuhkan ekonomi negara tersebut. Protes dan
keluhan bermunculan dan berpotensi mengancam jabatannya. Mengantisipasi
keadaan yang lebih buruk, Presiden Saleh berusaha untuk mengganti konstitusi
dan menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Keputusan ini justru
semakin membakar aksi protes masyarakat sipil yang menyebabkan dirinya harus
mengundurkan diri dan memindahkan kekuasaannya ke Wakil Presiden Abdrabbuh
Mansur Hadi yang secara resmi menjadi presiden pada 21 Februari 2012.
Kelembagaan negara yang
sudah sangat rusak akibat korupsi telah menyulitkan kekuasaan presiden baru
Mansur Hadi. Dia berjuang mengatasi berbagai masalah mulai dari masalah
terorisme yaitu dari kelompok Al-Qaeda yang memulai sebuah gerakan separatis
di selatan, pecahnya kesetiaan militer yang masih mendua kepada mantan
Presiden Saleh, meningkatnya angka pengangguran, dan terjadinya krisis
pangan.
Kelompok bersenjata Houthi
melihat kelemahan dari Presiden Hadi demikian pula mantan Presiden Saleh yang
ingin kembali berkuasa. Dia berkoalisi dengan kelompok Houthi yang sebetulnya
adalah musuh abadi sejak 2004 saat ia masih menjabat sebagai presiden sejak
1990-an.
Mereka kemudian berkoalisi
dan mengambil alih pemerintahan pada 2014. Presiden Hadi dan keluarga
melarikan diri ke Arab Saudi dan tinggal di sana hingga hari ini.
Kelompok Houthi sendiri
sebetulnya kelompok minoritas yang namanya berasal dari nama pendirinya,
yaitu Hussein Badreddin al-Houthi yang berasal dari suku Zaidi yang beraliran
Islam Syiah dan berdomisili di sebelah Utara Yaman. Suku Zaidi minoritas
karena hanya 30% dari total penduduk Yaman yang berjumlah 24 juta dan juga
minoritas dari aliran Syiah karena tidak mempraktikkan doktrin dan
kepercayaan dari orang-orang Syiah yang mendominasi di Iran, Irak, dan di
tempat lain. Suku Zaidi tidak percaya dengan sistem Wali Fakih seperti di
Iran dan menolak model kepemimpinan Ayatollah.
Ada sejarah panjang
bagaimana suku Zaidi pernah berperang melawan kekuasaan Turki Ottoman dan
Arab Saudi, tetapi kemudian juga bekerja sama untuk menghadapi Uni Soviet dan
mendirikan Republik Yaman Utara dan sekarang bertempur lagi melawan mereka.
Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa menggambarkan suku atau
komunitas yang membentuk Kelompok Bersenjata Houthi seperti Hezbollah di
Lebanon adalah tidak tepat dan terlalu menyederhanakan masalah.
Kita akan sulit untuk
mendefinisikan ideologi Houthi apabila hanya melihatnya dari kacamata Syiah
dan Sunni karena sebagai minoritas kelompok mereka juga mendapatkan dukungan
dari pemimpin Sunni di Yaman Utara. Lawan dan kawan dapat saling bertukar
tempat tergantung dari konteks kepentingan yang berjalan.
Situasi ini semakin parah
ketika kepentingan dari luar ikut bermain. Fakta tersebut hanya menjelaskan
bahwa krisis militer dan politik di Yaman membutuhkan waktu yang lebih
panjang, namun hal yang penting dan mendesak adalah menyelesaikan krisis
kemanusiaan yang terjadi. Masalahnya tidak ada negara yang merasa terpanggil
untuk serius mengatasi masalah tersebut.
Ada harapan awalnya dari
negara-negara Arab di sekitar Yaman untuk membantu menyelesaikan karena bila
krisis berlanjut, mereka juga akan rugi karena mendapatkan pengungsi, namun
nyatanya hal ini tidak terjadi.
Negara-negara Arab, AS,
dan Eropa lebih melihat krisis di Yaman sebagai bentuk perluasan pengaruh
dari Iran ketimbang memahaminya sebagai persoalan internal dalam negeri.
Houthi akhirnya mencari dukungan eksternal, tetapi karena tidak ada lagi
negara yang mau membantu, mereka menerima Iran. Akhirnya konflik yang berawal
dari internal dalam negeri berkembang menjadi perang proksi antara Arab Saudi
dan Iran.
Sebagai pihak di luar
pusaran konflik Timur Tengah, publik Indonesia perlu jernih memahami
asal-muasal perang proksi Arab Saudi-Iran yang berkembang di sana. Perang
proksi ini bukan melulu by design dengan logika konspirasi seakan-akan Arab
Saudi dan Iran merencanakan segala sesuatu demi mengumpulkan keuntungan
sendiri.
Dari kasus Yaman ini
terlihat bahwa kebobrokan kebijakan di dalam negeri dan tidak seimbangnya
situasi konflik akibat uluran tangan negara lain mengakibatkan pihak yang
masih kecewa pada pemerintah berkuasa kemudian memilih untuk mencari
tandingan bantuan. Alhasil, negara itu remuk, apalagi dalam kondisi di mana
relasi sosial-budaya antarkelompok membuat pengotak-kotakan kepentingan
terlihat lebih jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar