Usaha
Menjadikan Keberagaman Kembali Biasa Saja
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset
dan Tim Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan
toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
05 Januari
2018
Seorang ibu menanggapi
cuitan di akun Twitter saya terkait tulisan berjudul Dakwah Islam Baik-Baik
Saja, Siapa yang Mengganggu? Saya sangat terbiasa dengan komentar. Kritik
yang membangun sering saya jadikan referensi penguat gagasan. Akan tetapi,
apa yang bisa diambil dari sebuah kalimat penuh caci maki, melontar kebencian
pada ras tertentu dan pemerintah, dengan struktur logika kacau dan pilihan
kalimat yang tidak bertendensi ngobrol baik-baik?
Saya jadi sangat risau
memikirkan latar psikologis si pengirim komentar. Media sosial, bagi saya,
memiliki fungsi utama sebagai kanal informasi dan konektivitas jejaring. Satu
efek dari media sosial adalah kita merasa dekat dengan sesuatu yang jauh dan
sering merasa bahwa sesuatu yang jauh itu akan punya keterkaitan secara
langsung dengan hidup kita, lebih jauh lagi, kita merasa harus punya andil
dalam persoalan itu. Seperti orang di Nusa Tenggara yang ikut bikin status
dengan sangat serius soal Pilkada Jakarta, padahal ia juga bukan politisi,
melainkan seorang pedagang, misalnya.
Tetapi, apa motif seorang
Ibu melontar kalimat beringas di media sosial? Apakah ia mengetik komentar
sambil menonton acara televisi di rumah atau sedang mengasuh anaknya?
Kerisauan saya kemudian mereda ketika pergi ke bioskop. Saya suka film-film
Ernest Prakasa. Setelah film Cek Toko Sebelah yang menyabet 9 nominasi
penghargaan pada Festival Film Indonesia (FFI) 2017, saya pun menonton Susah
Sinyal.
Sebelum menulis kolom ini,
saya membaca beberapa wawancara dengan Ernest yang ditulis berbagai media.
Ernest bukan tipe penulis skenario dan sutradara yang punya misi khusus atau
berhasrat menitipkan pesan moral pada karyanya. Ia hanya berupaya menulis
sesuatu yang kebetulan dekat dengan kehidupannya, seperti fakta bahwa ia
terlahir sebagai etnis Tionghoa dan cerita ibu kandungnya yang memiliki
sebuah toko keluarga sejak tahun 80-an. Tema-tema stereotyping etnis itu
disikapi Ernest dengan kemampuan menertawakan ironi dalam pentas komedi
tunggalnya. Materi-materi tentang bentuk fisik, atribut dan kebiasaan yang
biasa lekat dengan etnis Tionghoa ia bahas dengan jenaka.
Dalam film, penggarapan
tema tentu berkemungkinan dieksplorasi dengan lebih luas lewat dialog,
karakterisasi, dan visualisasi. Meskipun dalam Susah Sinyal Ernest
menjelaskan bahwa film ini lebih berhasrat menjadi film drama, tentang
hubungan Ibu dan anak dibanding misi-misi lain, saya tetap ingin
mengapresiasi Ernest lewat sudut pandang lain. Seorang teman berujar bahwa
film Ernest terlalu norak dalam upaya meredakan ketegangan etnisitas.
Barangkali ia menangkap satu unsur cerita dalam Cek Toko Sebelah, yakni Yohan
(Dion Wiyoko) yang beristrikan seorang Ayu (Adinia Wirasti) yang jelas bukan
Tionghoa. Kehadiran Ayu, menjadi satu konflik kecil dalam film ketika
berhadapan dengan Koh Afuk (Chew Kin Wah) yang punya trauma terkait kebencian
berbasis ras pada tragedi 1998.
Sejarah konflik antaretnis
memang sering tidak sederhana, akan tetapi sejarah interaksi antaretnis juga
sekaligus sesuatu yang wajar dan mengakar. Pada poin inilah gagasan Ernest
menjadi relevan. Kebetulan, keluarga saya dekat dengan interaksi semacam itu.
Di masa kecil, kami bertetangga dengan seorang Tionghoa pengusaha bumbu
rempah. Banyak orang Jawa muslim, termasuk keluarga kami, sering ikut bekerja
untuknya. Setiap hari ia memutar lagu-lagu rohani Kristen yang terbukti tidak
berpengaruh apa pun pada keimanan karyawan. Saya hafal beberapa lagu rohani
itu, lebih karena melodinya enak dinyanyikan, sama seperti juragan Tionghoa
itu yang mengaku senang menyimak pengajian Mamah Dedeh setiap pagi karena
kelugasan dan kelucuan dalam retorikanya.
Narasi kehidupan
sehari-hari yang alami ketika kita memiliki tetangga dan rekan kerja berbeda
identitas itu yang tidak norak dari film Ernest. Beberapa punch dialog dalam
Susah Sinyal seperti, "Gue yang Cina, dia yang perhitungan," dan
"Kawin sama orang Cina deh biar lo ngerti," adalah bagian biasa
yang jika jatuh pada komunitas yang tidak tepat justru jadi pemicu konflik.
Misal, pra-anggapan bahwa semua orang keturunan Cina adalah orang yang
perhitungan, pelit, jago dagang, dan kaya. Saya memiliki teman Tionghoa yang
dalam sebuah percakapan mengaku terganggu sekali dengan pelabelan itu, sebab
kenyataannya ia berasal dari keluarga biasa saja, dan juga berjuang untuk
dapat berpendidikan tinggi.
Ernest memunculkan
klarifikasi kesalahpahaman itu lewat tokoh-tokoh yang punya karakter tidak
jago dagang dan tidak perhitungan, yang seolah ingin bilang, "yang
namanya manusia, etnis apa pun ya sama saja." Bakat berdagang,
keterampilan bisnis, atau penguasaan akan ilmu, dan lebih-lebih karakter
bukan tergantung dari unsur biologis yang terberi, dan bukan suatu privilege
yang diwariskan, melainkan terbentuk dari unsur eksternal pembangun dalam
proses perkembangan masing-masing manusia.
Kita tentu masih ingat
tragedi anak-anak berteriak "bunuh-bunuh" dengan melodi lagu
Menanam Jagung di Kebun Kita dalam sebuah pawai obor Ramadan di Jakarta awal 2017.
Pawai obor tersebut berlangsung bersamaan saat di belahan Jakarta yang lain,
Kampung Melayu, terjadi bom bunuh diri setelah sebelumnya juga berlangsung
teror-teror melalui surat kaleng ancaman ke sejumlah kantor kepolisian.
Banyak anak-anak yang kini
bersekolah di institusi pendidikan yang eksklusif, ditambah dengan lingkungan
pergaulan dari orangtua yang eksklusif pula secara politik. Dan, hampir
setiap sore, di sejumlah Taman Pendidikan Al Quran (TPA), anak-anak kecil
menyanyikan sebuah lagu mars dengan lirik, "Islam-Islam Yes! Kafir-Kafir
No!" Kita dapat berdebat belakangan tentang eksistensi dan definisi
kafir, namun yang perlu diperhatikan adalah mengapa masa kanak-kanak yang
sedang kuat masa perkembangan kognitifnya harus terus diinternalisasi pesan
untuk meliyankan orang lain yang sesungguhnya terlibat interaksi yang
baik-baik saja dalam keseharian.
Konon, salah satu sebabnya
adalah 132 juta pengguna internet (data Tetra Pak Index, 2017) di mana 85% di
antaranya mengakses media sosial melalui perangkat seluler. Media sosial kini
menyajikan sebuah seleksi berbasis algoritma yang diukur berdasar bagaimana
seseorang berinteraksi dengan post yang ia sukai dan pola jejaring yang ia
miliki. Jika seseorang sekali waktu menyukai sebuah post tentang desas-desus
jutaan orang Cina yang menginvasi lapangan kerja di Indonesia dan kemudian
dibumbui pesan agar pribumi bangkit melakukan perlawanan, maka berikutnya
orang tersebut akan terus menjumpai post desas-desus sejenis dan berjejaring
dengan sesama peminat desas-desus itu.
Merlyna Lim dari Digital
Media & Global Network Society menyebut istilah algorithmic enclaves
untuk menjelaskan fenomena algoritma yang menghasilkan terbangunnya identitas
masyarakat superfisial yang saling berbagi satu sama lain, mempertahankan
opini mereka dan saling melindungi "komunitas maya" itu. Bayangkan
saja ketika komunitas pemuja hoax yang sangat eksklusif itu terbentuk,
sehingga pola kampanye politik masa kini pun sangat berkepentingan untuk
mengorganisasi mesin troll yang didukung unsur argumen sesat logika dan
teknik propaganda.
Media sosial yang telah
bertransformasi menjadi platform yang mencampurkan politik era
pasca-kebenaran, kampanye propaganda dan teknologi algoritma itu membentuk
sebuah situasi masyarakat beridentitas eksklusif, berkerumun, dan homogen.
Mereka menolak keberagaman, sebab nyaman dengan polarisasi antardivisi-divisi
politik di media sosial yang telah terbentuk demikian rapi.
Pada titik inilah, Ernest
Prakasa dan usaha menjadikan keberagaman sebagai sesuatu yang biasa saja
sesungguhnya amat penting. Apa artinya berita hoax tentang para
"kafir" jahat dengan agenda-agenda menyeramkan jika faktanya, kita
memiliki teman bahkan anggota keluarga berbeda identitas yang begitu baik dan
menyenangkan? Buang kebencian ke keranjang sampah, dan tengok sekitarmu; ada
banyak orang baik yang sungguh tak layak kau limpahi sentimen negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar