Tragedi
Asmat dan Bencana Kemiskinan
Haedar Ardi Aqsha ; Pegawai Negeri di Badan
Pusat Statistik
Kabupaten Teluk
Wondama, Provinsi Papua Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Januari 2018
UNTUK kesekian kalinya kabar buruk datang
dari provinsi paling timur Indonesia, Papua. Dalam beberapa hari terakhir
santer diberitakan adanya kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di
Kabupaten Asmat. Terhitung sejak September 2017, kejadian ini telah
menewaskan sedikitnya 67 anak yang tersebar di beberapa distrik (kecamatan).
Diperkirakan, angka itu akan terus bertambah mengingat masih banyak daerah
yang belum termonitor.
Pemerintah pusat dan daerah pun langsung
bergerak cepat menangani kasus ini. Tim medis yang dibantu TNI dan Polri
melakukan penyisiran ke setiap kampung di Kabupaten Asmat. Medan yang berat
dan minimnya alat transportasi membuat tim penanganan KLB campak dan gizi
buruk mengalami kesulitan menjangkau masyarakat yang ada di pedalaman. Tak
menutup kemungkinan jika kejadian ini akan terus membesar dan cakupannya
semakin meluas.
KLB campak dan gizi buruk di Kabupaten
Asmat sedikit banyak mirip dengan kejadian sembilan tahun silam di Kabupaten
Yahukimo. KLB yang menewaskan lebih dari 100 korban jiwa itu diakibatkan
bencana kelaparan akut yang melanda hampir di seluruh kecamatan di Yahokimo.
Kedua kejadian itu memberi sinyal kepada Indonesia bahwa bencana kemanusiaan
belum mau menjauh dari Bumi Cenderawasih.
Komitmen dunia internasional untuk
memberantas kemiskinan dan kelaparan telah tertuang dalam tujuan pertama dan
kedua Sustainable Development Goals (SDGs). Ditargetkan, pada 2030 sudah
tidak ada lagi kemiskinan dan kelaparan di muka bumi ini. Akan tetapi,
realitas telah membukakan mata dunia bahwa perjalanan masih sangat panjang
untuk mencapai kedua cita-cita itu. Kejadian KLB campak dan gizi buruk yang
melanda Kabupaten Asmat seakan membuka wajah yang sebenarnya Bumi Papua.
Kejadian ini pun sontak mendapat sorotan nasional dan dunia internasional.
Penanggulangan
kemiskinan
Merebaknya fenomena campak dan gizi buruk
di Kabupaten Asmat bukan semata-mata diakibatkan rendahnya cakupan imunisasi
campak dan kurangnya asupan gizi bagi anak-anak. Ada hal lebih besar yang
melatarbelakangi kejadian itu semua, yakni kemiskinan yang berkepanjangan.
Kejadian tersebut seakan membukakan kedua mata dunia bahwa masih banyak
masyarakat Papua yang terbelenggu dalam kemiskinan.
Kemiskinan masih menjadi momok bagi
masyarakat Papua. Dalam publikasi angka kemiskinan yang dirilis Badan Pusat
Statistik, per bulan September 2017 Provinsi Papua memiliki persentase
penduduk miskin terbesar di Indonesia. Tercatat 910,42 ribu jiwa atau 27,76%
penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut menempatkan
papua menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di
Indonesia.
Berdasarkan konsep dan definisi, penduduk
miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulannya di
bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan sendiri terdiri atas garis
kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan nonmakanan (GKNM). GKM diukur
berdasarkan kebutuhan minimum kalori seseorang per hari yakni 2.100 kalori,
sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum yang dikeluarkan untuk perumahan,
sandang, hiburan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar
tersebutlah yang melatarbelakangi merebaknya wabah campak dan gizi buruk di
Kabupaten Asmat. Minimnya asupan makanan bergizi menjadikan anak-anak rentan
terhadap berbagai penyakit. Tidak akan ada artinya sebuah imunisasi jika tak
didukung dengan pemenuhan asupan makanan bergizi yang cukup karena sejatinya
kelaparan akut yang berujung pada kasus gizi buruk menjadi gerbang masuknya
berbagai penyakit.
Akses
kesehatan
Selain karena aktor kemiskinan, faktor
aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis yang
minim di Papua juga pantas untuk menjadi sorotan. Dari total 29
kabupaten/kota di Papua, masih ada delapan kabupaten yang belum memiliki
rumah sakit umum daerah (RSUD). Adapun untuk Puskesmas, hanya ada 394 dari
total 541 distrik (kecamatan) yang ada di wilayah Papua. Sejatinya, setiap
kecamatan harus memiliki sebuah puskesmas yang berguna untuk melayani
masyarakat setempat.
Minimnya jumlah fasilitas kesehatan dan
tenaga medis yang ada membuat jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
menjadi sangat terbatas. Hal inilah yang menyebabkan penanganan dan
monitoring terhadap kesehatan masyarakat masih belum berjalan maksimal.
Kejadian di Asmat pun menjadi bukti nyata dari lambatnya monitoring dan
penanganan kesehatan masyarakat.
Faktor kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan pola hidup sehat juga berperan besar terhadap beberapa kasus
kematian anak dan gizi buruk. Kesadaran mereka berobat ke pusat pelayanan
kesehatan ketika mereka sakit masih sangatlah minim. Hal itu dapat dilihat
dari data publikasi BPS yang dimuat dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat
Provinsi Papua Tahun 2017.
Sebanyak 31,91% penduduk Papua yang
mengalami keluhan kesehatan enggan memeriksakan kesehatan ke pelayanan
kesehatan dengan alasan tidak perlu, sedangkan 58,72% tidak memeriksakan
penyakitnya ke pusat pelayanan kesehatan dengan alasan cukup dengan diobati
sendiri. Becermin dari data tersebut, masyarakat Papua masih membutuhkan
edukasi mengenai pentingnya memeriksakan kesehatan ke pelayanan kesehatan
masyarakat setempat.
Kejadian seperti di Asmat dan Yahukimo
besar kemungkinan akan terus berulang jika keadaan sosial-ekonomi masyarakat
Papua tak kunjung membaik. Percepatanan pembangunan sosial-ekonomi yang
inklusif ialah salah satu cara untuk mengentaskan mereka dari jurang
kemiskinan. Yang paling penting dari semua itu ialah perlu adanya
sinkronisasi program-program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan dari pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan yang diambil
dapat saling mendukung dan menguntungkan masyarakat. ●
|
agen sabung ayam online terpercaya s128, sv388
BalasHapusinformasi jadwal pertandingan sabung filipina setiap hari
Untuk Info, Bisa Hubungi :
Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita