Tahun
Politik dan Politik Uang
Edy Purwo Saputro ; Dosen Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Solo
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Januari 2018
TAHAPAN pilkada serentak
2018 tercoreng dengan munculnya rumor mahar politik dari salah satu kandidat
yang gagal bertarung di pilkada Jawa Timur. Nominal mahar mencapai Rp40
miliar dan tidak tanggung-tanggung mahar itu dipakai untuk pemenangan pesta
demokrasi dan pendanaan saksi. Selain itu, pilkada serentak 2018 juga
tercoreng dengan beredarnya foto 'panas' yang kemudian menjadi delik
pembunuhan karakter dari kandidat yang akhirnya mengundurkan diri dan
berdampak terhadap partai politik untuk secepatnya mencari pengganti di saat
terakhir pendaftaran calon kepala daerah. Fakta itu hanyalah awal dari geliat
pesta demokrasi di Republik ini dan akan semakin banyak lagi warnanya selama
masa kampanye sampai hari H pencentangan dan selama sang kandidat itu menang
untuk mendulang uang demi balik modal dengan berbagai cara, termasuk tindakan
korupsi. Jadi, tidak mengherankan selama 2017 lalu ada banyak kepala daerah
terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Tahun politik, yaitu
pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, tidak bisa terlepas dari fakta
ancaman politik uang meski di sisi lain marketing politics justru diabaikan.
Oleh karena itu, beralasan jika Kapolri Tito Karnavian menegaskan urgensi
pengawasan untuk bisa mereduksi ancaman politik uang di tahun politik.
Terkait dengan itu, beralasan pesta demokrasi masih 2019, tapi gempita
demokrasi telah terasa. Bahkan, pilkada serentak 2018 menjadi test case
sukses Pilpres 2019. Jadi, beralasan jika parpol mulai mengantisipasi
berbagai kemungkinan dan gencar menyusun strategi pemenangan. Selain itu,
majunya sejumlah jenderal berdampak terhadap strategi pilkada serentak 2018.
Bahkan, penundaan penanganan kasus hukum sejumlah kandidat juga berefek
terhadap supremasi hukum.
Tantangan
Sinergi antara pilkada
serentak 2018 dan Pilpres 2019 memberi tantangan bagi partai politik untuk
menentukan komposisi pasangan duet terbaik mereka karena itu juga
berkepentingan dengan memacu partisipasi pemilih, terutama dikaitkan dengan
maraknya OTT kepala daerah selama 2017. Bagaimanapun juga kasus korupsi
secara masif pada 2017 menjadi mimpi buruk bagi parpol karena sejumlah kader
mereka terjerat OTT. Bahkan, dana desa pun menjadi modus baru untuk korupsi.
Terkait dengan hal itu, muncul hipotesis mahalnya biaya politik menjadi
argumen maraknya korupsi karena tuntutan balik modal sehingga rumor mahar
politik sejatinya memang ada meski sulit dibuktikan.
Argumen mahalnya biaya
politik membuat pemerintah menyetujui alokasi dana parpol yang meningkat
signifikan untuk memicu sentimen positif terhadap pemerintah. Paling tidak,
alokasi dana parpol sangat besar diharapkan juga bisa mereduksi perilaku
korupsi dari politisi. Betapa tidak? Alokasi dana parpol untuk partai besar
saat ini mencapai puluhan miliar, misal PDIP sebesar Rp23,68 miliar, Golkar
Rp18,43 miliar, Gerindra Rp14,76 miliar, Demokrat Rp12,76 miliar, PKB Rp11,29
miliar, dan terkecil Hanura Rp6,57 miliar. Terkait dengan itu, kasus-kasus
OTT sejumlah kepala daerah menjadi ancaman terhadap kepercayaan terhadap
parpol dan tentu ini menjadi warning terkait dengan sukses dari pilkada serentak
2018 dan Pilpres 2019. Jadi, beralasan jika pesta demokrasi tidak hanya butuh
figur yang terkenal, tapi juga yang kaya karena pesta demokrasi butuh modal
besar dan yang pasti tidak ada makan siang gratis, terutama dalam wacana
pesta demokrasi.
Pertanyaan besar menjelang
pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 ialah partisipasi pemilih. Argumen
yang mendasari tidak bisa terlepas dari banyaknya korupsi dan OTT seolah
tidak memberikan efek jera. Padahal, tahun politik menjadi taruhan terhadap
citra parpol dan juga kandidat yang bertarung, baik di pilkada serentak 2018
maupun di Pilpres 2019. Bagi sebuah pesta demokrasi, semua yang bertarung
selalu berharap menang. Bahkan, sebutan siap menang selalu terngiang di semua
kubu sementara siap kalah harus dijauhkan dari kenyataan. Bahkan, isu SARA
menjadi ‘menu’ jualan klasik. Identifikasi siap menang tentu tidak terlepas
dari dana yang harus dikeluarkan untuk pertarungan di pesta demokrasi.
Ironisnya dana yang dibutuhkan untuk pesta demokrasi di Republik ini cenderung
kian mahal. Kalkulasi untuk maju pesta demokrasi pada 2014 per orang lebih
Rp2 miliar dan di tahun ini semakin tinggi. Jumlah itu tentu bervariasi,
bergantung pada dapil yang tersedia untuk calon dan juga siapa lawannya.
Dengan jumlah itu, wajar jika hanya ada satu kata yang ada, yaitu siap
menang, dan tidak siap kalah. Oleh karena itu, logis jika korupsi menjadi
modal mencari dana, terutama mempertahankan kekuasaan dan membangun dinasti
politik. Mahar politik bisa jadi benar adanya dan ini bisa digali dari para
kandidat yang nanti kalah bertarung di pilkada serentak.
Kompleks
Problem pelik seputar dana
pesta demokrasi secara tidak langsung mengindikasi politik--kekuasaan--uang
ialah mata rantai pesta demokrasi. Kian tinggi kekuasaan yang dibidik maka
pendanaan yang disediakan juga harus besar. Jika tidak ada dana, jangan
berharap memiliki kekuasaan. Terkait dengan itu, beralasan jika akhirnya
banyak kader parpol yang tersangkut korupsi pascapesta demokrasi. Fakta itu
bisa dipicu banyak aspek meskipun yang utama ialah tetap upaya bagaimana
untuk secepatnya balik modal. Bahkan, pemberitaan media juga menunjukkan ada
salah satu parpol yang dulu getol menentang korupsi ternyata mengalami
kadernya banyak yang terjerat korupsi dan karenanya OTT tidak memicu efek
jera. Pascapilkada serentak nanti dibarengi korupsi serentak juga dan pada
2017 membuktikan banyaknya kepala daerah terjerat OTT KPK.
Fakta tersebut
mengindikasikan bahwa dalam pesta demokrasi di Republik ini sepertinya
terjadi salah persepsi sehingga modal menjadi sumber utama untuk mampu
bertarung di pesta demokrasi. Di satu sisi parpol juga tidak mampu
menciptakan regenerasi dan cenderung mengambil jalan pintas untuk merekrut
orang-orang berduit untuk masuk jajaran kepengurusan parpol. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika ada orang-orang berduit yang di setiap pesta
demokrasi bisa berganti-ganti parpol. Jika sudah demikian, janganlah pesta
demokrasi yang disalahkan, tapi sistem demokrasi itulah yang harus
disalahkan. Jangan pula berharap pesta demokrasi bisa berlangsung luber
jurdil karena dengan sistem seperti ini kita tidak akan pernah bisa merasakan
pelaksanaan pesta demokrasi yang bisa luber jurdil. Ketika uang menjadi motor
pelaksanaan pesta demokrasi, intrik kekuasaan pasti akan terus berlangsung
dan dinasti politik akan terus dibangun petahana dan kasus korupsi akan terus
muncul. Ironi era otonomi daerah dengan pemekarannya justru diwarnai korupsi
berjamaah dan serentak oleh kepala daerah yang terjerat OTT KPK setahun lalu.
Ketika intrik kekuasaan
terbentuk, tidak mengherankan jika semua proses sedari awal pesta demokrasi
tercoreng dengan niat-niat kemenangan. Inilah yang tadi disebut: siap menang,
tapi tidak siap kalah. Bahkan, untuk situasi tertentu, manipulasi survei juga
sering dilakukan tiap kandidat untuk sekadar memanaskan situasi dari para
pesaing. Adanya realitas itu, sangatlah beralasan jika ada yang menyebut
bahwa situasi ini ialah bagian dari money politics, tetapi banyak juga yang
menyebut ini salah satu bagian penting dari social-political cost yang harus
dibayar untuk menjadikan demokrasi lebih hidup. Entah mana yang benar dari
kedua argumen itu, yang jelas, pesta demokrasi memang butuh dana dan hanya
orang bermodal besar yang bisa bersaing, termasuk juga untuk membayar Saracen.
Oleh karena itu, logis jika pesta demokrasi bukan demokrasi untuk memilih
leader. Jika asumsi ini benar, matinya demokrasi tinggal menunggu waktu saja
dan pesta demokrasi tidak lagi memicu empati publik karena golput kian
meningkat. Jika ini benar adanya, tidak mengherankan OTT KPK tidak akan
menyurutkan niat para koruptor dari para politikus yang ingin balik modal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar