Politik
Bikin Stres
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
30 Desember
2017
Politik itu setidaknya
berwajah tiga. Satu wajah tampak penuh senyum karena politik dijadikan instrumen
untuk pengabdian kepada rakyat. Tampak demokratis, aspiratif, dialogis. Wajah
lain terlihat sangar karena politik dijadikan alat untuk menindas rakyat.
Bengis, kejam, tiranik, otoriter. Dan, satu wajah lagi tampak culas karena
seolah-olah politik sebagai sarana kepentingan rakyat, tetapi sesungguhnya
tempat memuaskan nafsu kuasa pribadi atau kelompok. Palsu, pura-pura,
manipulatif, dan munafik. Kira-kira yang mana wajah politik di negeri ini?
Sekadar mencocokkan dengan
apa yang terjadi saat ini, survei Litbang Kompas dua hari lalu menunjukkan
lebih banyak anak muda tidak bahagia ketika mendengar kabar tentang politik
di media sosial. Kalau memperhatikan persepsi tone-nya banyak negatif:
khawatir (50,9 persen), marah (9,5 persen), miris dan takut (8,4 persen).
Kalau dijumlahkan (68,8 persen) bisa disimpulkan, mereka tak bahagia
mendengar politik. Anak muda yang menganggap politik itu biasa-biasa saja
22,5 persen, sementara yang menilai tenang dan damai hanya segelintir (1,1
persen). Buat anak muda, politik itu cuma ajang rebutan kekuasaan (35,3
persen), korupsi (15,6 persen), dan kebohongan (13,8 persen). Sisi demokrasi
cuma 18,9 persen, apalagi persepsi tentang kesejahteraan kecil sekali (2,9
persen).
Persepsi anak muda itu
adalah alarm nyaring. Kalau persepsi anak-anak muda itu tidak dijadikan bahan
reflektif bagi mereka yang bergerak di gelanggang politik, tentu keterlaluan.
Sekarang ini persoalan politik menjadi area terbuka di ruang publik. Semua
orang—tak peduli tanpa kapasitas, kapabilitas, moralitas sekalipun—bisa
ngomong atau terjun ke politik. Setiap hari menu politik tak bisa ditolak.
Jadi ingat kata-kata George Orwell, penulis novel distopia terkenal 1984
(1949). ”Di zaman kita tidak ada yang bisa menjauhkan diri dari politik.
Semua isu adalah isu politik. Dan, politik itu sendiri adalah penuh
kebohongan, pengelakan, kebodohan, kebencian, dan skizofrenia,” ujar pemilik
nama asli Eric Arthur Blair (1903-1950) ini.
Pada 2017, sekadar
reflektif saja, ada dua peristiwa politik yang mengguncang negeri ini.
Pertama, kasus korupsi yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto yang juga Ketua
Umum Partai Golkar. Hanya kasus korupsi KTP elektronik ini Setya akhirnya tak
berkutik, setelah berulang kali lolos dari jeratan korupsi. Bukan hanya itu,
perlawanan keras pun dilakukan, bahkan sempat memukul keok KPK pada babak
pertama lewat gugatan praperadilan. Semua celah dicari untuk menyerang balik
KPK, termasuk dengan sandiwara Novanto yang ”kurang menghibur”.
Padahal, pemberantasan
korupsi itu agenda reformasi. Mereka yang menikmati kursi kekuasaan sekarang
adalah berkah reformasi yang meminta pengorbanan mahasiswa dan rakyat,
terutama empat pahlawan reformasi, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto,
Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Pejabat sekarang punya utang kepada mereka
yang menjadi martir reformasi. Pejabat atau politikus yang tergiur korupsi
adalah pengkhianatan terhadap amanat reformasi.
Masihkah percaya pada
omongan politikus atau pejabat yang katanya berkomitmen terhadap
pemberantasan korupsi? Komitmen seperti itu cuma sampai di bibir. Buktinya
mereka tetap kongkalikong mengeruk uang rakyat dari bawah meja kekuasaan
mereka. Tahun 2017 ada 12 kepala daerah dan 20 legislator ditangkap KPK.
Sumpah jabatan cuma kata-kata palsu belaka. Politikus atau pejabat yang
terjerat korupsi bukan hal mengagetkan lagi. Justru yang bikin kaget itu
adalah mengapa politikus tak sadar-sadar juga. Apakah mencuri uang rakyat
sudah menjadi tabiat mereka?
Peristiwa politik kedua
adalah Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung dua putaran. Dua pasangan calon,
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat versus Anies Baswedan-Sandiaga
Uno, bertarung keras setelah pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni
terhenti di putaran pertama. Pilkada ini bikin gempar nyaris seluruh negeri
karena menguatnya politik identitas. Ada sentimen etnis, ada sentimen agama.
Ada pribumi versus nonpribumi. Publik terbelah gara-gara dukung-mendukung
hanya untuk lima tahun atau paling lama 10 tahun. Batas-batas primordial ini
dapat melupakan orang dari kinerja, kapasitas, dan kapabilitas yang disemai
dalam sistem demokrasi. Parahnya lagi, publik ngoceh tak karu-karuan di media
sosial. Berita hoaks malah dipercaya, terus diviralkan. Mungkin masyarakat
kita sedang kurang sehat. Dan, itulah yang terjadi selama 2017 yang membuat
panggung politik selalu mendidih.
Tak heran politik itu
bikin stres, seperti persepsi anak-anak muda. Di Amerika Serikat juga sama.
Pada Januari 2017, publik AS merasa stres dengan politik (VOA, 17/2).
Penelitian tim Asosiasi Psikologi AS (Februari) menyimpulkan: iklim politik
sangat atau cukup menjadi sumber stres yang signifikan (57 persen warga).
Pemi- lihan presiden yang dimenangi Donald Trump pada November 2016 juga
bikin stres (49 persen). Rakyat AS juga stres soal masa depan negeri me- reka
(pendukung Republik 59 persen; pendukung Partai Demokrat 76 persen).
Kesehatan pun terganggu: sakit kepala, kecemasan, dan depresi.
Sepertinya memang benar
politik kerap bikin stres. Politik tidak membawa perubahan di masyarakat ke
arah lebih baik. Karena politik lebih banyak mempertontonkan adegan
sandiwara, saling serang, rebutan kuasa, dan korupsi gerombolan yang begitu
vulgar. ”Kalau kita berbohong kepada penguasa disebut tindak kejahatan besar.
Tetapi kalau mereka yang berbohong kepada kita, itu dibilang politik,” sindir
Bill Murray, aktor Hollywood. Makanya Victor Pinchuk, pengusaha asal Ukraina,
lebih percaya, ”Seni, kebebasan, kreativitas akan mengubah masyarakat lebih
cepat ketimbang politik.”
Dan, ilmuwan besar asal
Tunisia, Ibnu Khaldun (1332-1406), mengingatkan, ”Sepanjang sejarah banyak
negara telah mengalami kekalahan fisik, tapi tidak pernah menandai
berakhirnya sebuah negara. Namun, ketika sebuah bangsa telah menjadi korban
kekalahan psikologis, maka itu tanda berakhirnya sebuah bangsa.”
Akhir 2017 yang menyisakan
stres juga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar