Minggu, 14 Januari 2018

Personalisasi Dunia Politik

Personalisasi Dunia Politik
Arie Saptaji ;  Penulis serabutan dan tukang nonton; Tinggal di Yogyakarta
                                                   DETIKNEWS, 12 Januari 2018



                                                           
Politik itu tak ubahnya bisnis pertunjukan --Ronald Reagan

"Politikus itu kan sebenarnya seorang aktor," kata teman saya di seberang telepon. "Sepak terjangnya di ranah politik adalah akting. Ia sedang memainkan sebuah skenario—dalam hal ini skenario politik, yaitu agenda atau program politiknya. Penampilannya di panggung politik atau dalam sorotan media disesuaikan dengan agenda tersebut, yang belum tentu cocok dengan kepribadiannya yang sesungguhnya."

Saya menyimak, dan diam-diam—mengingat hiruk-pikuk dunia politik belakangan ini—menyepakatinya.

"Maka, ketika kehidupan pribadi si politikus terkuak, dan ternyata berbeda dari harapan kita—atau berbeda dari gambaran yang tercitra dalam pemberitaan media—bisa dimaklumi jika kita kecewa."

Saya maklum.

Bayangkan saja kita penggemar Sule. Ia terkesan kocak, ramah, dan menggemaskan dalam acara talk-show kegemaran kita. Kebetulan suatu hari kita berpapasan dengannya di mal, dan alih-alih membalas sapaan kita, ia hanya mendengus judes dan bergegas seolah tak melihat kita. Itu bukan Sule yang berbeda; itu Sule yang sama, tetapi dalam peran yang berbeda: yang satu sosoknya di panggung hiburan, yang lain sosoknya pada suatu hari tertentu dalam kehidupan pribadinya. Keduanya tak perlu dicampuradukkan. Justru, kemampuan untuk membedakan peran yang berlainan itu akan menolong kita untuk menyikapi sosok idola secara lebih waras.

Masalahnya, tak jarang kita kesulitan memilah perbedaan peran itu. Atau, kita mengharapkan tokoh publik tertentu memiliki integritas yang begitu tinggi sehingga kehidupan politiknya merupakan perpanjangan dari kehidupan pribadinya. Politikus adalah aktor, dan sepak terjangnya di ranah politik adalah akting. Kita mungkin mengamini pendapat tadi, tetapi lantas menambahkan, "Kecuali politikus idola saya."

Mencoba memahami lebih jauh fenomena ini, saya menemukan artikel menarik dari Sharon Coen, seorang psikolog dari Inggris, berjudul The Age of Celebrity Politics. Ia mencatat bahwa pergeseran menuju era politik selebritas ini telah berlangsung kira-kira 2-3 dekade belakangan ini. Dulu partai politik merupakan aktor dominan di ranah politik, program partai menjadi tawaran utama, dan politikus dinilai berdasarkan kompetensinya. Kini sosok pribadi seorang politikus lebih memikat daripada partai politik, kinerja lebih disoroti daripada program, dan otentisitas lebih disukai daripada kompetensi.

Pergeseran ini tak lepas dari peran media dalam menyoroti dunia politik. Media (televisi, dan belakangan internet) menjadi ruang publik tempat masyarakat memperbincangkan dan memperdebatkan isu yang berkaitan dengan kepentingan umum. Menurut Sharon, "Berita politik di media cenderung semakin mengalami 'personalisasi', menyoroti isu sebagai pendapat politikus tertentu daripada sebagai suara ideologis partai. Begitu juga, penerimaan atau penolakan terhadap suatu argumentasi politik juga semakin sering ditautkan dengan orang yang melontarkan argumentasi itu, bukan pada landasan ideologis argumentasi tersebut."

Selanjutnya, "Pergeseran ke arah personalisasi politik ini disertai dengan sorotan yang kian tajam terhadap kehidupan dan urusan pribadi si politikus daripada kesuksesan dan kegagalan institusional mereka."

Teknologi baru dan internet juga menyediakan ruang bagi warga untuk menjalin interaksi parasosial. Interaksi parasosial adalah hubungan yang terjalin antara orang banyak dengan tokoh-tokoh dalam media, baik tokoh fiktif maupun tokoh nyata. Kita bisa "berhubungan" dengan tokoh dalam novel atau film kesukaan kita. Kita dapat menyapa bintang film, musisi, atlet, atau novelis idola kita.

Dan, politikus pun termasuk dalam jajaran kaum selebritas tersebut. Kita dapat berinteraksi dengan mereka di media sosial sebagaimana dengan teman kita. Interaksi parasosial ini, jika berlangsung secara positif, dapat menumbuhkan rasa kedekatan dan kepercayaan pada politikus bersangkutan, yang sesungguhnya tidak kita kenal secara pribadi. Melalui penampilannya di media, politikus dapat tergambar sebagai jagoan atau bajingan. Dan, sebaliknya, warga bisa menjadi Pengacara bagi politikus yang mereka idolakan, dan Jaksa bagi politikus yang mereka benci.

Sharon Coen mencatat bahwa fenomena ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, personalisasi politik ini berpotensi memulihkan keterlibatan publik dalam politik. Orang relatif lebih mudah menautkan diri dengan sesosok pribadi politikus daripada dengan ide atau institusi politik yang abstrak. Warga juga memiliki kesempatan lebih luas untuk menyuarakan pendapatnya sehubungan dengan kepentingan publik.

Di sisi lain, pertama, kita perlu menyadari bahwa kepribadian dan perilaku privat seorang politikus tidak senantiasa selaras dengan kemampuan dan efektivitas politiknya. Kita asyik membicarakan jaket dan sepatu seorang tokoh politik dan keakrabannya dengan cucu, dan mengira seakan semua itu berbanding lurus dengan kecakapannya memimpin dan relevan dengan tugas politiknya. Sebaliknya, ketika politikus idola kita ternyata retak kehidupan domestiknya, kita pun terguncang. Padahal, tentu saja, keduanya berada di ranah yang berbeda, dan belum tentu saling menunjang.

Kedua, berfokus pada politikus secara individual bisa jadi membuat kita alpa bahwa keputusan politik diputuskan secara kolegial. Sharon menegaskan, "Dalam sistem demokratis, kesempatan seseorang untuk berbuat sesuatu secara pribadi hanyalah sedikit. Karena itu, menampilkan politik sebagai pertarungan antara orang baik versus orang jahat, bukannya sebagai suatu proses kolektif, adalah penggambaran realitas proses politik secara menyesatkan."

Tidak jarang orang malah terbalik-balik dalam menyikapinya. Politikus dianggap sebagai sesosok pribadi yang mandiri, dan sebutan sebagai "pejabat partai" dianggap sebagai sebutan yang tercela. Penampilan mereka di media kita tangkap bukan sekadar sebagai penampilan politik, melainkan sebagai perpanjangan kehidupan pribadi mereka.

Makanya, tidak perlu heran, ketika ada politikus menggugat cerai istrinya, linimasa medsos blingsatan. Namun, ketika ada keputusan politik yang memaksa sejumlah petani bercerai dengan tanahnya, linimasa medsos adem-ayem saja—yang hiruk-pikuk paling hanya segelintir aktivis agraria.

W.S. Rendra memiliki perspektif menarik tentang dunia politik. Sebagaimana diungkapkan oleh muridnya, D.S. Priyadi, "Rendra punya filosofi 'hidup di angin'. Itu sudah disiplin kepujanggaan dia. Kedudukan pujangga diibaratkan sebagai roh, sementara pemerintahan adalah badan. Sebagai penyair ia akan berada pada posisi yang berseberangan: mengkritisi, memberi masukan, mengingatkan. Ia mungkin saja mendukung siapa pun yang memiliki agenda-agenda positif, dan setelah yang didukung berhasil, ia kembali ke angin dan mengkritisi lagi."

Apakah soal "hidup di angin" ini bisa diperluas sehingga bukan hanya mengacu pada penyair (seniman), melainkan juga mencakup sosok-sosok seperti rohaniman dan ilmuwan? Kita mengharapkan mereka memberikan pendidikan politik yang mencerahkan bagi bangsa ini, tetapi tidak sedikit yang ikut terseret ke dalam keberpihakan terhadap figur politisi tertentu. Alih-alih menolong kaum awam memahami fenomena politik selebritas ini secara jernih, mereka malah turut memancing di air keruh dengan ikut-ikutan bermain dalam dinamika selebritas. Menyedihkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar