Minggu, 14 Januari 2018

Pembelaan bagi Populisme Ekonomi

Pembelaan bagi Populisme Ekonomi
Dani Rodrik  ;  Profesor Politik Ekonomi Internasional John F Kennedy
School of Government, Harvard University
                                                      KOMPAS, 13 Januari 2018



                                                           
Kaum populis tidak menyukai pengekangan yang dilakukan terhadap politisi lembaga eksekutif. Kaum populis menganggap mereka mewakili mayoritas warga sehingga peraturan yang diberlakukan kepada mereka dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap kehendak publik. Pengekangan ini hanya akan menguntungkan ”musuh masyarakat”, seperti kaum minoritas dan asing (dalam sudut pandang kaum populis sayap kanan) atau kaum elite keuangan (dalam sudut pandang kaum populis sayap kiri).

Ini adalah sebuah pendekatan politik berbahaya karena memungkinkan mayoritas menindas hak minoritas. Tanpa ada pembagian kekuasaan, sistem peradilan yang independen, atau kebebasan pers—semua hal yang dibenci pemimpin autokrat populis mulai dari Vladimir Putin, Recep Tayyip Erdogan, Viktor Orbán, hingga Donald Trump—demokrasi beralih jadi tirani.

Pemilu berkala di bawah pemerintahan populis hanya menjadi kedok. Tidak adanya penegakan hukum dan kebebasan sipil memungkinkan rezim populis dapat melanggengkan kekuasaan dengan memanipulasi media dan sistem peradilan sesuka hati.

Kebencian kaum populis terhadap pembatasan kekuasaan juga terjadi dalam sektor ekonomi. Di sini, mereka beranggapan, untuk menjalankan kekuasaan penuh ”demi kepentingan rakyat”, tak selayaknya ada hambatan yang diberlakukan terhadap kewenangan dan sepak terjang lembaga regulator otonom, bank-bank sentral yang independen atau aturan perdagangan global.

Namun, berbeda dengan populisme politik yang hampir selalu berdampak buruk, populisme ekonomi kadang justru dibenarkan. Pertama, kita bahas mengapa pembatasan kebijakan ekonomi mungkin diperlukan. Para ekonom cenderung menyukai pembatasan karena pembuatan kebijakan yang sepenuhnya tunduk pada tuntutan politik dalam negeri dapat menuntun pada kondisi yang sangat tidak efisien.

Terlebih lagi, kebijakan ekonomi sering kali dihadapkan pada persoalan yang oleh ekonom disebut sebagai inkonsistensi waktu: kepentingan jangka pendek sering kali tidak sejalan dengan kepentingan jangka panjang.

Contoh nyata dari hal ini adalah kebijakan moneter diskresioner. Politisi yang punya kewenangan mencetak uang sesuka hati mereka dengan dalih untuk meningkatkan output ekonomi dan mendongkrak lapangan kerja dalam jangka pendek (misalnya menjelang pemilu) bisa memicu ”inflasi kejutan”.

Namun, kebijakan seperti ini bisa jadi bumerang karena korporasi dan rumah tangga tidak tinggal diam. Mereka akan me- nyesuaikan diri terhadap ekspektasi inflasi mereka. Pada akhirnya kebijakan moneter diskresioner hanya akan menuntun pada naiknya inflasi tanpa berdampak apa pun terhadap output perekonomian dan lapangan kerja.

Bank sentral

Solusi terhadap kondisi seperti ini adalah pentingnya keberadaan bank sentral yang independen, yang steril dari politik, dan bekerja semata untuk menjalankan mandatnya menjaga stabilitas harga.

Dampak populisme makroekonomi itu bisa kita lihat dengan mudah di Amerika Latin. Sebagaimana argumen Jeffrey D Sachs, Sebastián Edwards, dan Rüdiger Dornbusch beberapa tahun lalu, kebijakan moneter dan fiskal yang tidak berkelanjutan adalah kecaman bagi wilayah tersebut sebelum akhirnya ortodoksi ekonomi mulai muncul pada awal 1990-an. Kebijakan populis secara berkala menghasilkan krisis ekonomi yang paling merugikan warga miskin. Untuk memutus siklus ini, Amerika Latin mau tak mau harus kembali pada disiplin fiskal dan memercayakan urusan itu kepada para menteri keuangan yang teknokratis.

Contoh lain kebijakan terhadap investor asing. Ketika perusahaan asing berinvestasi, mereka harus tunduk kepada kebijakan pemerintah setempat. Janji kepada investor asing mudah dilupakan dan digantikan dengan kebijakan yang bertujuan memeras perusahaan demi kepentingan anggaran nasional atau perusahaan dalam negeri.

Namun, investor tidak bodoh, dan, karena mereka takut dengan kemungkinan ini, mereka melakukan investasi di negara lain. Adanya kebutuhan pemerintah untuk menunjukkan kredibilitas menyebabkan meningkatnya perjanjian perdagangan yang mencantumkan klausul penyelesaian sengketa investor dengan negara tuan rumah (ISDS) sehingga memungkinkan perusahaan menggugat di pengadilan internasional.

Beberapa contoh di atas menunjukkan pengekangan dalam kebijakan ekonomi dalam bentuk delegasi kekuasaan kepada badan otonom, teknokrat, atau otoritas eksternal. Ini bertujuan mencegah pihak yang berkuasa mengambil kebijakan jangka pendek yang merugikan diri sendiri.

Namun, ada contoh pengekangan dalam kebijakan ekonomi tidak berdampak baik. Apalagi jika hambatan itu dibuat kelompok kepentingan tertentu atau elite untuk mengukuhkan kendali permanen mereka atas pengambilan kebijakan. Dalam kasus itu, delegasi kekuasaan kepada badan otonom atau keikutsertaan dalam peraturan global tidak akan memberikan manfaat bagi warga, tetapi menguntungkan segelintir ”orang dalam”.

Populisme politik

Bagian dari narasi kaum populis saat ini bersumber dari anggapan—yang tak sepenuhnya salah—bahwa sebagian besar pengambilan keputusan oleh pemerintah beberapa dekade terakhir memang hanya menguntungkan kelompok elite. Perusahaan multinasional dan investor semakin besar pengaruhnya dalam menentukan agenda negosiasi perdagangan internasional sehingga rezim global secara tidak proporsional menguntungkan pemodal dan merugikan pekerja.

Ketatnya aturan-aturan mengenai hak paten dan keberadaan peradilan-peradilan internasional untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan investor adalah contoh nyata dalam hal ini. Contoh lain adalah pengambilalihan lembaga-lembaga otonom oleh kalangan industri yang seharusnya diatur oleh lembaga-lembaga tersebut.

Bank dan institusi keuangan lainnya sukses besar dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan dan memasukkan regulasi yang memberikan mereka kebebasan bertindak. Kehadiran bank sentral yang independen berperan penting dalam menurunkan inflasi pada 1980-an dan 1990-an. Namun, ketika inflasi rendah seperti saat ini, fokus mereka pada stabilitas harga punya bias yang anti-inflasi terhadap kebijakan ekonomi dan tak selalu sejalan dengan upaya penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Teknokrasi liberal seperti ini mungkin sedang berada pada puncaknya di Uni Eropa, di mana peraturan ekonomi dirancang dengan tak banyak melibatkan musyawarah demokratis di tingkat nasional. Dan hampir di setiap negara anggota, kesenjangan politik ini—yang disebut sebagai defisit demokrasi di Uni Eropa— membuka peluang bagi bangkitnya partai politik populis yang skeptis terhadap Uni Eropa.

Dalam kasus seperti itu, memangkas hambatan ekonomi dan mengembalikan otonomi pengambilan kebijakan pada pemerintah yang terpilih mungkin pilihan yang baik. Situasi yang eksepsional ini menuntut keleluasaan melakukan eksperimen dalam kebijakan ekonomi.

Populisme politik adalah ancaman yang harus dihindari sesulit apa pun. Sebaliknya, populisme ekonomi kadang dibutuhkan karena pada kasus tertentu populisme ekonomi adalah satu-satunya cara menghambat munculnya populisme politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar