Pakailah
Topi Kerucut dengan Gembira
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul, Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
02 Januari
2018
Kemarin sore, saya
sekeluarga transit di Ngurah Rai, di tengah perjalanan pulang dari Perth
menuju Jogja. Di bandara yang megah karena jasa Pak SBY itu, pandangan saya
tertumbuk pada dua pemandangan penggoncang iman. Yang pertama adalah boneka
salju-saljuan, lengkap dengan syal merahnya, dan tulisan Merry Christmas di
depannya. Yang kedua adalah "pohon" Natal yang terbuat dari
lembar-lembar daun panjang kering, entah daun tebu atau ilalang, komplet
dengan lonceng dan lelampu kecil.
Yang pertama membuat saya
gatal. Di Bali, pulau tropis yang lembap dan membuat badan kami kaget
berleleran keringat usai beberapa tahun tinggal di negeri kering, ekspresi
ucapan Selamat Natal disampaikan dengan boneka salju. Duh, apa nggak meleleh
dia tersengat matahari Khatulistiwa? Lagian siapa pula yang merayakan Natal
sambil bermain salju di Bali?
Namun yang kedua cukup
cerdas. Bentuk kerucut menyerupai pohon Natal dikawinkan dengan sumber daya
lokal, yakni dedaun kering yang memang merupakan realitas sehari-hari manusia
Bali.
Kalau boleh saya bilang,
pemandangan yang pertama mewakili alam pikiran tekstual campur bingung.
Karena Natal dirayakan masyarakat Barat saat musim dingin, maka tahniah Natal
diekspresikan dengan boneka salju. Yang bikin pajangan itu tentu tak peduli
bahwa Kristenitas tidak lahir di Barat, melainkan di Timur Tengah. Namun itu
tetap termaafkan, sebab memang banyak turis Barat yang datang ke Bali, meski
kemungkinan para turis itu malah tertawa ngakak karena jauh-jauh ke Bali cuma
untuk dikasih salju yang sudah mereka miliki hahaha.
Pemandangan kedua
merupakan bentuk strategi budaya yang cerdik. Ia barangkali bisa dipahami
sebagai glokalisasi, melokalkan yang global, walau si pembikin pohon-ilalang
saya kira tak peduli juga dengan konsep yang dipopulerkan sosiolog Roland
Robertson itu.
***
Dari dua pemandangan itu
saja, kita sudah bisa melihat bahwa budaya dan produk budaya senantiasa
bersifat lentur, lincah, meresap dengan mudah, dan melahirkan produk-produk
budaya baru yang lain lagi.
Si boneka salju memang
saya sebut sebagai wujud alam pikiran tekstual-bingung. Sebab memang
penggunaan boneka salju sebagai ikon Natal hingga hari ini tidak bisa
dibilang sebagai kebiasaan global. Meski demikian, jika hal itu dijalankan
terus-menerus dan meluas, bukan mustahil suatu hari kelak di Pantura yang
panas pun visualisasi boneka salju menjadi lazim. Kenapa? Sebab memang
seperti itulah sifat budaya yang dinamis.
Kita bisa membandingkannya
dengan Sinterklas, terutama dengan bagian paling berbahaya dari Sinterklas, yaitu
topinya!
Sosok Sinterklas sendiri
sebenarnya perkawinan dari berbagai produk budaya. Ada pengaruh dari cerita
rakyat Jerman kuno, jauuuh hari sebelum kelahiran Yesus. Lalu sosok dalam
legenda itu dikawinkan dengan profil Santo Nikolas dari Myra. Hasilnya,
produk budaya yang tidak terdapat dalam kisah biblikal, yang tidak terkait
dengan teologi Kristen, yang tidak memengaruhi sedikit pun kualitas ritual
dan liturgi gereja, menjadi ikon Natal.
"Upacara Natal kami
tidak akan jadi lebih baik dengan Sinterklas, dan tidak akan lebih buruk
tanpa Sinterklas," begitu kata seorang kawan beragama Kristen.
Ikon Natal ini pada
awalnya memang ikon Natal. Namun lambat laun dia dikooptasi oleh kapitalisme,
menjadi ikon pasar. Maka Sinterklas dan topinya yang mengerikan itu lambat
laun, waktu demi waktu, bermunculan bukan untuk menghadirkan semangat Natal,
melainkan semangat berbelanja. Gebyar diskon Natal dan Tahun Baru di
pusat-pusat pertokoan pun dijajakan oleh sosok pria tambun berjanggut dan
bertopi kerucut, juga oleh para perempuan cantik dengan topi yang sama.
Maka tak aneh, meski sosok
Sinterklas muncul di mana-mana, dua pekan silam saya membaca surat pembaca di
sebuah koran lokal di Perth, yang menyatakan sedih karena suasana Natal di
Perth sama sekali tidak menghadirkan simbol Natal dan simbol Kristen. Lho,
berarti Sinterklas bukan simbol Kristen, dong?
Memang bukan. Dulu
barangkali iya, tapi sekarang rasa-rasanya bukan lagi. Lihat saja di
negeri-negeri non-Kristen, semisal Jepang. Sosok Sinterklas muncul di
mana-mana, demi tujuan pasar, pasar, dan pasar. Di zaman ini tak bisa lagi
kita melihat kostum Sinterklas (dan sekali lagi: topinya!) sebagai alat
identifikasi spesifik penganut Kristen. Bahkan pada beberapa hari menjelang
Natal lalu tersebar berita seorang pemuda Palestina berkostum Sinterklas dan
berkalung kafiyeh melemparkan batu ke arah tentara Israel, lalu membakar foto
Donald Trump. Tambah rumit, kan?
***
Oke, bicara tentang
Sinterklas memang sudah agak terlambat. Maka mari kita lanjutkan dengan topi
kerucut Tahun Baru saja.
Di obrolan media sosial,
kemarin ramai lagi tentang larangan memakai topi kerucut, alias topi
Sanbenito. Sebab katanya topi kerucut adalah simbol bagi umat Islam Andalusia
yang sudah murtad saat Spanyol kembali ditaklukkan oleh kekuatan Kristen.
Dengan topi itu, mereka akan selamat dari eksekusi oleh penguasa Kristen.
Begitu, katanya.
Saya mencoba mencari
rujukan yang lebih bertanggung jawab soal itu. Namun yang ketemu justru
informasi bahwa topi Sanbenito merupakan simbol hukuman bagi penganut ajaran
yang dianggap sesat. Jadi ia justru tanda hukuman, bukan tanda keselamatan.
Entahlah. Saya sendiri
tidak terlalu ambil pusing dengan "makna asalnya". Kenapa? Sebab
saya rasa problem yang terjadi pada ketegangan orang banyak atas topi kerucut
dan topi Sinterklas bukan pada penerimaan atas dalil-dalil dalam teks kitab
suci. Melainkan lebih karena orang menolak memahami bahwa budaya bersifat
sangat dinamis, dan produk budaya mengandung makna yang akan selalu berubah,
mengikuti kesepakatan tiap masyarakat dan tiap zaman.
Budaya dan produk budaya
terus berkembang dan berubah, terus bergeser posisinya dalam hubungan antara
penanda dan tinanda, terus berkombinasi dan berkawin-mawin dengan
produk-produk budaya lainnya, yang bersifat cair, lentur, dan gampang
berganti makna mengikuti bahasa setiap zaman. Dengan demikian, cara
melihatnya pun mesti lentur dan tidak tegang-tegang amat.
Oleh sebab itu,
"makna asal" tidak selalu relevan dibicarakan. Tidak proporsional
juga melihat budaya dalam orientasi "mengembalikan kepada akar".
Kenapa? Sebab fungsi komunikasi dari sebuah produk budaya pada hari ini ya
berjalan dengan konvensi hari ini, bukan dengan konvensi di masa lalu.
Saya ambil contoh
pembanding. Permainan sepak bola pada awalnya adalah ritual kaum pagan. Tapi
apakah sekarang ketika Anda membela Real Madrid atau Persebaya, maka Anda
sedang memuja dewa-dewa?
Andai seorang muslim ikut
main sepak bola pada zaman ketika olah raga itu masih menjalankan fungsi
sebagai pemujaan dewa pagan, saya sepakat saja dengan ulama yang
mengharamkannya. Namun sekarang produk budaya bernama sepak bola tidak lagi
menjalankan peran demikian. Ia semata berisi gerak badan, kompetisi prestasi,
tawuran, juga judi.
Saya juga sepakat dengan
para ulama Nusantara di zaman kolonial Belanda yang mengharamkan celana
pantalon dan dasi. Sebab pada masa itu pantalon dan dasi identik dengan
penjajah, dan penjajah harus dilawan dengan segenap kekuatan, termasuk kekuatan
perlawanan kultural. Namun di zaman ini, pantalon dan dasi tidak lagi
menjalankan peran serupa dalam komunikasi budaya, sehingga hanya orang
ngelindur saja yang masih mengharamkan dasi.
Denys Lombard
menggambarkan bahwa selama masa kolonial, penutup kepala masyarakat Nusantara
gagal dibaratkan. Topi Eropa sulit menjadi populer, demikian pula topi
bergaya kolonial yang ternyata hanya berhasil populer di Vietnam. Seiring
hilangnya kebiasaan memakai kuluk oleh para priayi, juga semakin jarangnya
orang memakai blangkon dan destar, muncullah peci atau kopiah beledu hitam.
Kopiah hitam tersebut pada
awalnya adalah pakaian kaum muslim Nusantara. Namun kemudian ia diluaskan
pemakaiannya oleh Sukarno dan PNI, sehingga menjadi lambang nasionalisme.
Jadilah sifat keislaman pada peci hitam lambat laun menghilang. Maka Anda pun
tidak merasa perlu membuat demo berjilid-jilid saat seorang pejabat berkopiah
hitam tersambar OTT-nya KPK.
Tuh, betapa dinamisnya
makna produk-produk budaya, bukan?
***
Saya sekarang sudah pulang
ke Bantul, tanah kelahiran saya. Di depan rumah saya persawahan membentang,
para tetangga dan handai taulan yang mayoritas hidup sebagai petani mengolah
tanah dengan riang.
Banyak sekali di antara
mereka yang memakai caping bambu berbentuk kerucut, dan hati saya terbakar
melihat itu semua. Ingin sekali saya memperingatkan mereka dengan keras, agar
mereka tidak meniru-niru kaum muslim murtad dan terus-menerus tanpa sadar
menjadi korban ghazwul fikr alias perang pemikiran.
Namun menyadari bahwa
mereka lebih lebih rajin ke masjid ketimbang saya, dan menyadari bahwa
mencangkul tanah atau menyiangi rumput gulma sambil bersorban justru membuat
kepala mereka gerah kepanasan, maka saya simpan rasa ingin mendakwahi itu
dalam-dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar