Menurunnya
Performa
Infrastruktur
Maritim Indonesia
Iswandi Wahab ; Anggota FORMAPAS Malut Sejabodetabek;
Sekertaris PKPL Malut
(Pusat Kajian Pesisir dan Laut Maluku Utara
|
REPUBLIKA,
22 Desember
2017
Berdasarkan penalaran
saya, dari sudut pandang seorang masyarakat biasa, keterwakilan anak daerah,
dan sebagai seorang akademisi, mencoba untuk memberikan sedikit 'oase' bagi
kita yang haus dan seakan-akan tidur nyenyak di atas kelimpahan sumber daya
alam. Membuka sedikit cakrawala berpikir dalam memoles khazanah hati peduli
akan kondisi daerah, melihat realitas kekinian pada satu bingkai 'Morotai
Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)'.
Suatu rasa kebanggaan dan
optimisme yang tinggi disampaikan oleh pihak dinas kelautan dan perikanan DKP
provinsi maluku utara 'Buyung Rajilun' bahwa Morotai akan menjadi pengerak
ekonomi maluku utara kedepan, baik di sektor perikanan dan kelautan. Hal ini
menjadi sesuatu yang patut diapresiasi, terkait ditetapkan Morotai sebagai
kawasan ekonomi khusus, berdasarkan peraturan pemerintah nomor 50 tahun 2014.
Terkait KEK morotai, data
sekertariat dewan nasional KEK menjelaskan bahwa penggarapan dan pembebasan
lahan proyek awal sekitar 1.101,76 hektare. Sejalan dengan itu, salah satu
yang menjadi fokus utama dalam KEK di morotai yaitu pengembangan sektor
bisnis. Dimana akan dibangun beberapa perusahaan industri berupa industri
pengolahan ikan, manufaktur, logistik dan parawisata, dengan kisaran nilai
investasi awal yang diperkirakan mencapai Rp 6,8 triliun untuk pembagunan
kawasan dan proyeksi investasi para pelaku usaha hingga tahun 2025 mencapai
Rp 30,44 triliun, dengan diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 30
ribu orang.
Berawal dari pengantar
kawasan ekonomi khusus KEK di atas, maka suatu pemahaman mendasar sebelum
menelah jauh ke dalam yaitu apa itu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)? Kawasan
ekonomi khusus adalah kawasan dengan batas tertentu yang tercakup dalam
daerah atau wilayah untuk menyelengarakan fungsi perekonomian dan memperoleh
fasilitas tertentu.
KEK dikembangkan melalui
penyiapan kawasan yang memiliki keungulan geoekonomi dan geostrategi yang
berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan
ekonomi lainya yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing
international. Dasar dalam pembentukan KEK yaitu untuk membentuk lingkungan
kondusif bagi kreatifitas investasi, ekspor dan perdagangan guna mendorong
laju pertumbuhan ekonomi serta katalis reformasi ekonomi.
Secara geoekonomi, Morotai
mempunyai sumber daya alam yang memiliki nilai jual bertaraf international.
Hal ini terkait ditetapkan morotai sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK).
Nilai jual morotai ini tidak terlepas dari sumber daya alam baik sumber daya
perikanan kelautan dan parawisata yang menonjol di wilayah ini.
Penetapan wilayah Morotai
sebagai kawasan ekonomi khusus menandakan bahwa pemerintah indonesia selama
ini baru sadar dari tidur lelap yang berkepanjangan. Sebab, secara histori
para penjajah dari bangsa barat dan lainya sudah mengetahui kawasan ini
sebagai kawasan yang strategis dari aspek geoekonomi, demografi kewilayahan
dan bahkan geopolitik. Terlepas dari keberadaan Morotai yang berada di
hadapan Samudera Pasifik dan berbatasan langsung dengan negara-negara kawasan
asia pasifik Filipina dan Jepang.
Secara geografis morotai
berada pada jalur Arlindo (arus laut lintas Indonesia) yang diketahui
merupakan wilayah dengan perairan yang hangat dan menjadi indikator sebaran
beberapa komoditas ikan yang bernilai ekonomi tinggi yaitu ikan tuna. Morotai
juga berdasarkan letak kewilayahan berada pada ujung utara indonesia tepat di
bibir samudera pasifik.
Keberadaan Morotai di
depan Pasifik ini bila dicermati dengan cermat dan komprehensif, terdapat
suatu potensi yang dapat diusulkan sebagai suatu kawasan yang tidak hanya
difokuskan pada pengembangan kawasan parawisata dan perikanan. Namun, juga
pada pengembangan kawasan pelabuhan bertaraf international di kawasan
indonesia timur.
Hal ini di dukung oleh keberadaan
morotai yang secara geografis berdekatan dengan beberapa negara tetanga yaitu
philipina dan jepang, morotai juga berada pada jalur ALKI III (alur laut
kepulauan Indonesia) yang menghubungkan dua perairan bebas dari segi
pelayaran/ perdagangan Asia dan Australia. Sehingga, adanya pengusulan
pembagunan pelabuhan di morotai sesuai dengan dasar pembentukan KEK yaitu
'membentuk lingkungan kondisif bagi kreatifitas investasi, ekspor dan
perdagangan guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi serta katalis reformasi
ekonomi'.
Keberadaan morotai yang
berdekatan dengan negara jepang dan Filipina ini jika dimanfaatkan dalam
perdagagan komoditi antara kawasan rgional Indonesia dengan negara asia
pasifik sangat menguntungkan, dikarenakan dari segi pengeluaran atau biaya
(cost) bisa diminimalisasi. Artinya bahwa jika komoditas yang memiliki pasar
dan nilai jual yang di butuhkan oleh negara tetanga berati tidak harus
dikirim ke Jakarta kemudian ke Jepang dan Filipina akan tetapi bisa langsung
dikirim dari Morotai.
Terkait dengan itu adanya
informasih surat kabar dari Halmahera (23/10/2017) yang menginformasikan
bahwa adanya ekspor awal ikan asap “fufu” oleh CV Marino Rayah sebanyak 11
ton dengan tujuan ke Pelabuhan Shimizu jepang, menunjukan bahwa potensi
sumber daya alam yang ada di Morotai sangat memadai. Sehingga, membutuhkan
suatu sarana dan prasarana yang mendukung dalam hal ini kepelabuhan. Dan
kegiatan ekspor ikan fufu ke jepang merupakan ekspor perdana Maluku Utara
selama 17 tahun tidak pernah melakukan kegiatan ekspor ke negara Jepang.
Dengan demikian, kegiatan ini, menjadi indikator mendorong Morotai dijadikan
kawasan pelabuhan international.
Apabila potensi Morotai
ini jika dikembangkan secara potensial dalam skala nasional hingga lokal,
maka yakin dan percaya peroses pemerataan pembagunan khususnya di kawasan
Indonesia Timur akan dapat terlaksana dengan cepat. Sementara itu, terkait
dengan menurunya performa infrastruktur maritim Indonesia sesuai data Bank
Dunia melalui Logistic Performance Index (LPI) tahun 2014, Indonesia
menempati urutan 53, Vietnam 48, Thailand 35, Malaysia 25 dan Singapura 5.
Sedangkan pada 2016, posisi Indonesia melorot diposisi ke 63 atau turun 10
peringkat.
Penurunan ini menandakan
pemerintah secara empiris/nyata belum mampu melakukan pembenahan dan belum
cermat dalam melihat potensi sumber daya yang ada untuk dikembangkan dalam
kurun waktu empat tahun terakhir. Adapun indikator penempatan urutan LPI,
berdasarkan kategorinya terdiri dari beberapa komponen sebagai dasar pemijakan
yaitu a) infastruktur, b) kepabeanan (custom), c) kemudahan mengatur
pengapalan international, d) kompetensi logistik dari pelaku dan penyedia
jasa lokal, e) pelacakan atau tracking and tracing, f) biaya logistik dalam
negeri dan waktu antar.
Menurut data Bank Dunia
menunjukan kelemahan Indonesia terletak pada performa logistik yaitu bea dan
cukai (customs), infrastruktur, dan international shipments. Sementara untuk
logistics competence, timeliness, dan tracking & tracking performa sudah
cukup membaik.
Berdasarkan pada indikator
di atas, maka pengusulan pembagunan pelabuhan bertaraf international di
wilayah Morotai menjadi suatu alasan yang fundamental untuk dapat
direalisasikan guna mendorong peningkatan performa infrastruktur maritim
Indonesia. Pengusulan tersebut tidak terlepas dari keberadaan di Jalur ALKI
III dan terpenuhinya potensi sumber daya morotai secara khusus dan sangat
sesuai dalam syarat indikator LPI pada keseluruhan point yang ada dan kawasan
Indonesia timur lainya pada umumnya.
Sebagai salah satu contoh,
pada point (f) biaya logistik dalam negeri dan waktu antar), dimana kita
ketahui bahwa kawasan Indonesia timur memiliki luas wilayah laut lebih besar
dari daratan dan memiliki sumber daya laut yang melimpah. Namun, kadang dalam
hal memasarkan sumber daya laut yang ada terkendala dengan biaya (cost)
pengiriman yang sangat mahal dan waktu pengiriman yang cukup lama ke kawasan
Indonesia bagian barat.
Sedangkan terkait dengan
hangatnya isu kelompok radikal dari Filipina di kawasan Pasifik, maka Morotai
secara geopolitik sangat mendukung kedaulatan negara berdasarkan letak
wilayahnya. Contoh kasus kisruh Indonesia-Malaysia diperbatasan yang ditulis
Hikmahanto Juwana (Kompas, 24 agustus 2010) perlu diperluas kajianya.
Keberadaan Morotai di
pasifik juga dapat menekan isu masuk kelompok ektrimis teroris di wilayah
pasifik.
Ada tiga isu pokok dalam
masalah ini, yaitu isu batas wilayah, isu pengamatan laut dan isu posisi
nelayan di wilayah perbatasan. Peran geopolitik: dalam pandangan peran
geopolitik ada beberapa langkah untuk membuat posisi nelayan mereka tangguh.
Pertama perubahan cara pandang nelayan, dimana nelayan tidak hanya dipandang
sebagai pelaku ekonomi yang menghasilkan protein hewani, tetapi sebagai
bagian pilar national security belt. Sehingga perlu adanya peran baru bagi
nelayan yaitu peran geopolitik.
Kedua langkah pemberdayaan
nelayan pada konteks secara intrinsik pertahanan. Maka, nelayan harus berdaya
secara ekonomi untuk menopang peran geopolitik tersebut. Oleh karena itu,
perlu desain khusus pemberdayaan nelayan di wilayah pebatasan. Peran
geopolitik ini bila dicermati dan diterapkan dalam suatu sistem kebijakan
kedaerahan maka kestabilan kedaulatan negara di wilayah perbatasan terutama
Morotai dapat terkontrol dengan pengawasan yang baik.
Pentingnya regulasi
terkait kebijakan fasilitas fiskal KEK dengan investasi asing di Morotai
Suatu kebijakan khusus
yang disebut fasilitas fiskal yang diberikan kepada investor asing di kawasan
ekonomi khusus (KEK) perlu mendapat sorotan guna untuk antisipasi pemerintah
baik pusat dan daerah dalam mengontrol dan mengawasi pengelolaan sumber daya
alam di kawasan KEK. Hal terkait dengan pemberian kemudahan akses kepada
investor asing meliputi tax allowance, dibebaskannya untuk barang kena pajak
(PPN & PPnBM), penanguhan untuk barang impor ke KEK (bea masuk),
dibebaskan untuk baran mentah dan barang penolong untuk tujuan produksi
(cukai), tidak di pungut biaya pajak dalam rangka impor (PDRI) dan
pengurangan pajak bumi dan bagunan sesuai dengan aturan yang berlaku (PBB),
selain itu adanya tambahan kemudahan berupa penambahan Hak Guna Bagunan HGB
untuk kawasan ekonomi khusus di Morotai yang awalnya 10 tahun ditambah 20
tahun sehingga menjadi 30 tahun.
Pernyataan ini disampaikan
langsung oleh direktur utama PT Jababeka tbk (KIJA) ke Presiden di Istana
Negara, Jakarta, Selasa (3/2/2015). Dengan dalih bahwa kawasan ini memiliki
laba atas investasi (return of investment) sehingga 80 tahun mendatang.
Berdasarkan penetapan dan pemberlakuan sistem seperti ini secara tidak
langsung menimbulkan 2 mata sisi yaitu berupa peluang dan ancaman dalam suatu
kawasan KEK. Penilaian ini berdasarkan asumsi dan kacamata dari berbagai
pihak. Dimana peluang yang bersifat positif dengan rasa optimisme yang tinggi
dan peluang yang negatif dengan rasa pesimisme yang tinggi.
Peluang positif dengan
rasa optimisme yang tinggi disebabkan pemberlakuan sistem ini secara langsung
membuka kerang secara terbuka lebar kepada investor asing untuk melakukan
investasi dan eksploitasi sebesar besarnya tanpa diikat dengan pajak dan ijin
yang ketat. Hal ini otomatis menjadi bola emas bagi investor atau rejeki
“durian runtuh” secara serentak. Akan tetapi, hal ini, bukan membuat
pemerintah lepas tangan tetapi pemerintah juga bertanggung jawab sepenuhnya
untuk mengontrol dan mengawasi sehinga iklim investasi yang tercipta
merupakan iklim yang baik dan berkesan mengeksplorasi bukan eksploitasi.
Adapun aturan revisi UU
pun mulai diatur terkait dengan invastasi asing. Sehingga diharapkan ada
suatu kesepakatan MOU yang saling menguntungkan bagi semua pihak terutama
masyarakat. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat pada kenyataannya
pelaku usaha asing di wilayah pesisir khususnya wisata bahari, sering
menimbulkan konflik dengan masyarakat nelayan traditional.
Persoalan ini merupakan
salah satu contoh dari persoalan lainya, dikarenakan akses pada lahan di
pulau kecil selalu diikuti klaim di wilayah perairan terdekatnya, sehinnga
terjadilah penutupan akses bagi nelayan atau sekedar menambatkan perahunya di
pantai. Biasanya dalam studi kasus dan kajian agraria hal ini disebut dengan
istilah “pencaplokan” pesisir (coastal grabbing) dan dalam ekologi politik
Bryant and Bailey (1997) tergolong “tragedi pemagaran”. Sehingga, akhirnya
nelayan hanya menjadi tamu di lautnya sendiri.
Penerapan kontrak kerja
sama yang detail dan melalui pertimbangan tertentu untuk masyarakat pesisir
sangat penting untuk dikedepankan. ,akhirnya menimbulkan suatu kebijakan yang
pro terhadap rakyat pesisir. Prasyarat tersebut merupakan bentuk kompromi
dari pro-kontra investasi asing di wilayah pesisir. Tantanganya adalah bagaimana
syarat-syarat tersebut bisa diterapkan secara proposional sehingga asing
tidak meraja lela dan sewenang wenangnya di kawasan ekonomi khusus (KEK). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar