Senin, 08 Januari 2018

Menghitung Hari

Menghitung Hari
Arie Saptaji ;  Penulis serabutan dan Tukang Nonton; Tinggal di Yogyakarta
                                                 DETIKNEWS, 29 Desember 2017



                                                           
"Tidak ada tragedi, yang ada hanyalah yang tak terhindarkan. Segala sesuatu ada alasannya: engkau tinggal memilah-milah mana yang sementara dan mana yang abadi."

"Manakah yang sementara?"

"Yang tak terhindarkan."

"Dan manakah yang abadi?"

"Pelajaran-pelajaran yang dipetik dari yang tak terhindarkan itu."

--Paulo Coelho, Gunung Kelima


1945. 1969. 1988. 2000. 2009. 2012. 2017. 2018. 2020. 2049….

Mengapa angka-angka itu? Benarkah ada yang lama dan yang baru pada tahun-tahun kita? Waktu kita jalani sebagai hari ini demi hari ini, dengan bayangan masa lalu yang kian lama kian memanjang. Adapun harapan masa depan berpijar menyemangat di dada. Terwujud oleh kini demi kini.

Mengapa angka-angka itu? Kenapa kita menghitung hari? Hanya satu lagi kegenitan manusiawi? Manusiawi, tampaknya iya. Genit atau tidak, biarlah penyair saja yang memberinya sebutan.

Coba bayangkan, sebuah dunia tanpa penanda waktu. Murid-murid sekolah merengut karena tak tahu kapan berhenti duduk bersedekap di bangku kelas dan mulai bisa bertamasya ke luar kota. Sebelumnya, kapan pula seorang anak memasuki usia wajib belajar? Majikan dan karyawan bertengkar soal hari kerja dan hari libur. Ibu hamil bingung kandungannya tiga minggu atau sembilan bulan kurang sehari. Sang presiden mengeluh karena tak sempat rehat dari memikirkan nasib bangsa dan rakyat. Dan kita tak pernah berpesta ulang tahun.

Seorang sekretaris, setelah bekerja sekian tahun, meminta kenaikan gaji kepada direkturnya. Direkturnya menjawab, "Baiklah, akan saya pertimbangkan permintaan Anda. Namun sebelumnya, mari kita berhitung dahulu."

Direktur itu mulai menghitung hari kerja efektif pegawainya itu. "Tahun lalu adalah tahun kabisat, jadi ada 366 hari. Setiap hari Anda bekerja selama 8 jam. Jadi, dalam setahun, Anda hanya bekerja selama sepertiga tahun atau 122 hari. Namun, setiap hari Sabtu dan Minggu Anda libur, jumlahnya 104 hari. Hari kerja Anda tinggal 18 hari. Tahun lalu, Anda cuti dua belas hari. Lalu, ada libur hari besar sebanyak 5 kali. Tinggal 1 hari, itu tanggal 17 Agustus. Habis sudah. Kalau saja tahun lalu bukan tahun kabisat, Anda malah berutang satu hari kerja kepada perusahaan!"

Sekretaris itu melongo.

Tentu kita tidak berhitung secara serampangan. Kita mengembangkan metode penanggalan yang kian tertib, akurat, dan canggih.

Namun, ada apa sebenarnya dengan angka-angka itu? Barangkali karena ini: karena hidup perlu dibagi.

Pada mulanya, pembagian hari sesederhana peralihan dari gelap ke terang. Ketika hidup kian rumit, kita mengenal saat tidur dan saat terjaga; musim kawin dan musim bertelur; waktu tanam dan waktu panen; masa perang dan masa damai; zaman batu dan zaman besi; era industri dan era informasi. Tak lupa kita membubuhkan angka merah di sela deretan angka-angka biru pada kalender.

Bila dibandingkan dengan sejarah peradaban, terlebih bila dibandingkan dengan bentang alam semesta yang mencapai jutaan tahun cahaya, masa hidup kita benar-benar terbatas. Orang Jawa melukiskannya sebagai sekadar mampir ngombe, singgah untuk minum. Begitu singkat. Bisa jadi, justru karena itu, hidup ini perlu ditandai dengan cermat.

Dalam film Groundhog Day (Harold Ramis, 1993), Phil Connors, penyiar TV songong, terjebak dalam putaran waktu. Ia selalu terbangun pada 2 Februari di Punxsutawney, Pennsylvania dengan rangkaian peristiwa yang persis sama.

Ketika menyadari bahwa apa pun yang dilakukannya pada hari itu tak bakal menuai konsekuensi, ia memanfaatkan pengulangan waktu itu untuk bersenang-senang memuaskan gairah pribadi—mabuk-mabukan, ngebut sambil mabuk-mabukan, main perempuan. Lama-kelamaan ia bosan, dan mati gaya. Lalu beneran ingin mati. Namun, beberapa kali ia bunuh diri, percuma belaka. Tetap saja ia terbangun pada pagi 2 Februari, mengulangi rangkaian peristiwa yang begitu-begitu lagi, di kota kecil yang dibencinya itu.

Phil pun mulai memikirkan cara lain untuk menjalani hari yang terus berulang itu. Ia belajar main piano, mengukir es, dan berbahasa Prancis untuk memikat perempuan yang mencuri hatinya. Ia mulai mengarahkan perhatian pada orang lain: menolong dan memperbaiki kehidupan penduduk kota kecil itu. Jika sebelumnya ia hanya mencoba bertahan hidup, kini ia benar-benar menjalani dan menghayati hidup ini.

Hidup, seperti diungkap Coelho, terdiri atas yang sementara dan yang abadi. Yang sementara seperti serpihan-serpihan debu yang terusir oleh angin. Yang abadi? Kita terus mencoba memaknainya di dalam hati.

Saya teringat kepedihan dua orang sahabat saya, suami-istri yang semestinya bersukacita atas kehadiran putri pertama mereka. Karena suatu komplikasi dalam saluran pencernaannya, bayi mungil mereka hanya bertahan hidup kurang dari tiga hari. Untuk mengenang kehadirannya yang singkat itu, saya diminta menuliskan sebuah puisi untuk diterakan pada foto si kecil yang hendak dibingkai dan dipajang di ruang tamu mereka. Inilah puisi itu:

202.200 – setiap detik adalah sayap-sayap halus
beterbangan di udara desember dan angin yang larut
menciumi lumut: waktu adalah roda yang menggerus
namun tangan kecilmu adalah nyanyian
menenun sayap-sayap, mengeja musim-musim
huruf-hurufnya jadi puisi bebas gravitasi

Ya, ia hanya menghirup udara bumi selama sekitar 202.200 detik. Namun, kehidupannya yang amat singkat itu telah meninggalkan kesan yang mendalam, pengaruh yang tak terhapuskan, paling tidak pada dua kehidupan lainnya: ayah dan ibunya. Bagaimana pula dengan kehidupan yang merentang sepanjang 2.524.608.000 detik atau 80 tahun? Berapa banyak kehidupan lain yang dipengaruhinya?

Begitulah. Kehidupan setiap orang tak ayal berdampak pada kehidupan lainnya. Sekecil apa pun. Persoalan yang lebih utama: dampak macam apa yang memancar dari kehidupan yang kita jalani?

George Bailey dalam film It's a Wonderful Life (Frank Capra, 1946) mendapatkan kesempatan istimewa untuk melihat dampak hidupnya. Sejak muda, laki-laki dari Bedford Falls, New York ini bermimpi meninggalkan kotanya dan bertualang keliling dunia. Nyatanya, hidup tak selalu berjalan sesuai dengan harapannya. Berbagai kejadian memaksanya terus bertahan di kota kecil yang baginya membosankan itu. Ia meneruskan bisnis bapaknya, menyediakan perumahan dengan harga terjangkau bagi penduduk setempat.

Sampai, pada pagi menjelang Natal 1945, bisnisnya mengalami krisis keuangan, yang kemudian menyeretnya ke dalam krisis iman. Tak juga melihat sinar terang di ujung terowongan, ia nekad hendak mengakhiri hidupnya.

Namun, seorang malaikat menolongnya dan memberinya kesempatan langka: menyaksikan apa yang terjadi dengan Bedford Falls seandainya dirinya tidak dilahirkan. Harry, adiknya, tidak berumur panjang karena tewas akibat kecelakaan di sungai pada musim dingin. Seharusnya ia ada di sana untuk menyelamatkan adiknya.

Bedford Falls juga terhapus dari peta, berganti menjadi Pottersville. Alih-alih sebuah kota kecil yang makmur dan hangat, Pottersville adalah kota yang gemerlap, tetapi juga penuh dengan sarang kegelapan karena dikendalikan oleh seorang bankir tamak.

Kesadaran akan dampak hidupnya itu, tentu saja, membatalkan niatnya bunuh diri. Ia siap melanjutkan hidupnya, dengan segala krisis dan konsekuensinya. Di ujung kisah, Harry memujinya sebagai "orang paling kaya di kota ini."

Kita tak mendapatkan keistimewaan seperti George Bailey. Karenanya, kita perlu jeda. Perlu ruang untuk tersenyum dan mensyukuri keberhasilan yang tercapai. Perlu berhenti untuk meredakan gulana, dan mengingat bahwa tak banyak kegagalan yang final: masih ada kesempatan untuk membereskan yang gawal dan memulai lagi dari titik yang kita bayangkan sebagai tahap yang baru dan awal. Perlu relung untuk mencerna tawa. Perlu naungan untuk memamah musibah.

Kita perlu jeda. Untuk menghitung hari. Untuk memilah-milah yang sementara. Untuk menatah yang abadi. Untuk memberi nama pada detik-detik yang bergegas.

Tanpa jeda, tanpa kesempatan memberi nama, mungkinkah kita hanya bisa gila? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar