Mendudukkan
Nalar LGBT
Imam Nawawi ; Sekretaris Jenderal
Syabab (Pemuda) Hidayatullah
|
REPUBLIKA,
29 Januari
2018
Publik kembali dibuat masygul dengan tidak
hentinya isu LGBT mengambil ruang begitu besar di khalayak. Padahal, rasio,
konsitusi, data, dan argumentasi yang disampaikan para pakar melalui berbagai
forum publik sangat gamblang membuktikan bahwa LGBT tidak sesuai fitrah
manusia, inkonstitusional, amoral, bahkan dapat mengakibatkan pemiskinan
negara.
Namun, seperti sesuatu yang dipaksakan,
LGBT terus menggelinding masuk ke ruang-ruang vital di dalam negeri ini,
sehingga LGBT bukan lagi sebatas diskusi dan debat. Melainkan telah merangsek
lebih jauh ke dalam ranah legislatif.
Pro-kontra tentang status, hukum, dan
eksistensi LGBT akan menjadi legal atau ilegal di negeri yang meyakini sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Jika LGBT di DPR telah masuk wilayah pro-kontra
maka ujungnya bisa ditebak, voting akan menjadi penentu penyelesaian status
hukum LGBT di Indonesia.
Sekalipun ratusan juta rakyat Indonesia
menolak, jika anggota DPR menutup telinga dan nuraninya dari kebenaran dan
lebih mementingkan kesenangan dirinya sendiri, maka voting akan menghasilkan
suara pro LGBT lebih besar daripada yang kontra. Dan, itu berarti LGBT
mendapatkan kebebasan di negeri ini. Pertanyaannya, apa dasar yang membuat
pengasong isu LGBT terus berargumen di negeri ini? Kemudian, mengapa DPR
seakan terbelah, menjadi pro dan kontra dalam isu ini?
Dan, argumentasi ilmiah apa yang
menunjukkan Indonesia sangat butuh LGBT? Pertama, jika kita cermati, hampir
semua pengasong ide LGBT menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai dasar
berpikir mereka. Menarik di sini kita bedah pijakan mereka ini, sebab mereka
menganggap HAM seperti orang beriman bersikap terhadap kitab sucinya.
Dengan kata lain, mereka meyakini HAM
sebagai satu-satunya sumber kebenaran (baca: agama) dan “memaksa” orang lain
mengakuinya. Di sisi lain, mereka menolak orang lain meyakini agama sebagai
sumber berpikir. Karena itu, nyaris semua pembela paham LGBT terkesan agak
bahkan sangat anti terhadap agama, terutama Islam. Untuk mendiskreditkan
ajaran agama, mereka menggunakan diskrimasi sebagai senjata untuk melemahkan
pandangan agama terhadap para pengasong ide LGBT.
Sikap mereka pun seperti kanak-kanak
ketimbang orang dewasa. Kala agama memvonis LGBT itu penyakit dan harus
disembuhkan, mereka mengadu kepada HAM yang mengakomodasi eksistensi mereka.
Kemudian dengan girang mereka berteriak bahwa jangan ada diskriminasi
terhadap LGBT. Cara berpikir seperti itu sama dengan posisi anak-anak yang
mendapatkan pelajaran dari kedua orang tuanya secara tegas.
Karena si anak tidak paham lantas tidak
menyukai sikap kedua orang tuanya tersebut, ia mengadu kepada temannya,
“Orang tuaku tidak sebaik orang tuamu. Mereka selalu ingin aku mengikuti
kehendak mereka. Padahal, aku ingin kebebasan.”
Jika memang LGBT adalah sebuah pemahaman
yang mengandung maslahat dan dibutuhkan umat manusia secara universal, tidak
seharusnya LGBT antiagama dan menyerang agama dengan istilah yang mereka
bangun sedemikian rupa untuk melengahkan, melemahkan, dan menghilangkan agama
dalam nalar publik.
Padahal, pada hakikatnya, saat kaum LGBT
kegirangan karena merasa tidak lagi didiskriminasi dengan pengakuan negara
terhadap mereka. Negara telah mendiskriminasi para pemeluk agama yang
memandang LGBT sebagai penyimpangan, penyakit, dan harus diberangus.
Terlebih, jika merujuk secara empiris,
betapa hanya orang-orang yang beriman semata yang siap terdepan menjaga
kesatuan dan keutuhan NKRI ini. Kemudian, posisi DPR yang jika benar terbelah
soal LGBT. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Sebagai wakil rakyat, semestinya anggota
dewan di Senayan secara otomatis mampu bersikap secara tegas, menolak LGBT
dilegalkan. Tidak kemudian malah terbelah ada yang pro dan ada yang kontra.
Jika mayoritas rakyat menolak, landasan
berpikir yang seperti apa yang menjadi pegangan anggota dewan menerima LGBT
dilegalkan di negeri ini. Terlebih, sejak MK menolak judicial review yang
diajukan Aila dan banyak pihak terkait perluasan pasal perzinaan termasuk
perilaku LGBT, secara tanggung jawab masalah LGBT benar-benar berada dalam
kekuasaan legislatif.
Jika sampai legislatif berbeda dengan suara
mayoritas rakyat Indonesia, sesungguhnya mereka tidak layak menyandang
predikat wakil rakyat. Terakhir, argumentasi ilmiah apa yang menjadikan LGBT
sangat penting dan mendesak diterima, dilegalkan, dan dibebaskan di NKRI ini?
Apakah jika negeri ini menolak LGBT lantas
penduduknya akan menjadi idiot? Atau jika negeri ini menerima LGBT maka
Indonesia akan menjadi negara yang benar-benar bisa menerapkan Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan beradab?
Atau jika LGBT dilegalkan anak-anak
Indonesia akan lebih progresif-revolusioner? Atau seperti apa? Tentu saja
akan sangat sulit menjelaskan atau menemukan jawaban ilmiah dan bisa
dipertanggungjawabkan bahwa Indonesia butuh LGBT.
Jangankan masyarakat awam, para ahli pun
akan terbata-bata menjelaskan bahwa LGBT adalah kebenaran, dibutuhkan oleh
manusia dan karena itu penting dan mendesak negara mengakui LGBT di
Indonesia.
Pakar psikologi forensik Indonesia, Reza
Indragiri Amriel, mengatakan, berdasarkan teori psikologi tentang perilaku
dan penelitian yang dilakukan Michael Bailey, periset kromosom homoseksual,
perilaku LGBT merupakan suatu yang abnormal. Dengan demikian, bagi pendukung
LGBT yang terus menyuarakan (mengampanyekan) keabnormalan itu, dimungkinkan
bagi mereka untuk dipidanakan.
Adapun argumen yang mengatakan LGBT telah
diakui di banyak negara, maka sungguh itu adalah logika yang tidak
konstruktif bahkan cenderung menegasikan akal sehat. Sebab, sangat sulit
menjelaskan bahwa apa yang diakui, diterima, dan dikembangkan di suatu negara,
harus juga diperlakukan sama di dalam negeri. Dalam lagu Rhoma Irama, “Baik
bagi bangsa lain, belum tentu Indonesia. Benar bagi bangsa lain, belum tentu
Indonesia.”
Akhirnya, penting bagi kita memahami
rekomendasi Reza Indragiri, "Masyarakat luas yang ingin memidana LGBT,
kudu mengupayakannya lewat jalur revisi KUHP. Nah, bagi masyarakat luas yang
anti-LGBT, fokuslah di DPR sebagaimana 'arahan' MK." (Republika.co.id, 17/12/2017). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar