Malu
Bercerita kepada Orang Jepang
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK
(2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 20 Januari 2018
SAYA terperangah dan takjub ketika pada
Selasa, 16 Januari 2018, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab
pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Zainal Arifin
Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh
pimpinan ASEAN Nagoya Club (ANC) di
sebuah restoran di Nagoya.
ANC adalah sebuah komunitas pebisnis untuk
kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng
berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang
advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya
University, Prof Shimada.
Dengan maksud mengobrol masalah yang
ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus
penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Haruna terperanjat dan
tampak heran atas pertanyaan itu.
Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia
tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir
pun tidak pernah.”
Di Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa
hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena
integritasnya. “Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga
mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua
putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai
dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim
disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim,
paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang
spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam
berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok
memutus karena disuap,” tambah Haruna.
Ketika Haruna mau bertanya balik tentang
Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat
kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera
makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan
begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.
Saya lihat Uceng segera berpatut-patut
mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi untuk
foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional.
Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.
Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang
“penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita
jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak
mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan
hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan
ANC bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
Saya memang berbicara, aturan hukum (legal
substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak
berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya
hukum (legal culture).
Bisa malu kalau saya harus berbicara
keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya harus bercerita,
hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang
digelandang ke penjara karena penyuapan.
Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus
bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap
atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak
pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi
hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau
menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.
Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon
pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior
justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa,
atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman
adanya.
Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari
mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang
dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak
bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim
jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri
sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru
Jepang.
Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya
diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya
tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur
Tokyo.
Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi
bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang
definitif, mengundurkan diri.
Mengapa mengundurkan diri? Karena sang
gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar
dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya. Karena
pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan
dalam bentuk, mungkin, korupsi politik.
Jadi, sang gubernur mengundurkan diri
karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya
untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya
pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang
di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh
ribu rupiah). Untuk apa?
“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia
kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu
pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari
Kedubes Jepang itu.
Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan
fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan
kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik
taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata
saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus
mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.
Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7,
salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah,
peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi
budaya Pancasila.
“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum
seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang
Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar