Kekuatan
Dialog Lintas Agama dan Mazhab
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Januari 2018
BANGSA yang besar ialah bangsa yang
memuliakan dialog. Dialog sesungguhnya merupakan pengejawantahan nilai-nilai
keluhuran manusia. Begitu penting arti dialog, Tuhan dalam berbagai kitab
suci setiap agama sering memperkenalkan diri-Nya melalui dialog. Dalam Islam,
sebagaimana dapat ditemukan di dalam Alquran dan dalam Hadis Qudsi, Allah SWT
sering memperkenalkan diri dan kapasitas-Nya melalui dialog.
Menariknya, karena Ia tidak hanya berdialog
dengan makhluk termulia-Nya, tetapi juga kepada seluruh lapisan makhluk-Nya.
Ia berdialog dengan iblis, malaikat, dan manusia. Proses dialogis inilah yang
seharusnya menjadi ciri setiap agama dan umat beragama. Alquran dan hadis
juga banyak mengungkapkan dialog secara vertikal dan horizontal sehingga
dialog menjadi lambang kekuatan anak manusia yang mungkin tidak dimiliki
semua makhluk Tuhan.
Konsekuensi dialog menuntut adanya proses
yang terkait dengan waktu, tempat, dan manusia sebagai subyek. Mungkin dari
segi ini bisa kita memahami mengapa Allah SWT menurunkan ayat-ayat suci
Alquran dalam kurun waktu 23 tahun? Mengapa tidak sekaligus? Kurang apa power
yang dimiliki Tuhan untuk memaksakan kehendaknya kepada makhluk lemahnya yang
bernama manusia?
Kenapa tidak menggunakan kekuatan “kun fa
yakun”, langsung Alquran turun sekaligus dan nilai-nilainya terimplementasi
di dalam masyarakat juga sekaligus? Sudah barang tentu di sini ada pelajaran
penting buat manusia, khususnya umat beragama. Kekuatan dialog mampu
mengangkat dan menghidupkan kembali komunitas masyarakat yang sudah jatuh
berkeping-keping. Yang paling penting dialog ialah manifestasi hak asasi
manusia (HAM) yang dimiliki semua anak manusia (Bani Adam).
Kitab suci memberikan pelajaran berharga
tentang dialog. Dalam Islam, turunnya wahyu berangsur-angsur sesungguhnya
bagian dari dialog, bagian dari dialektika masyarakat yang mendapatkan
pengakuan Tuhan. Meskipun Tuhan Mahapemaksa (al-Qahhar), Ia tidak menggunakan
hak prerogatifnya. Penciptaan alam dilakukan dengan proses kun fa yakun,
tetapi penjabaran nilai-nilai kemanusiaan Tuhan menunjukkan sifat sabar-Nya
(al-Shabur).
Ini penting buat kita bahwa manakala
mengorder suatu sistem nilai di dalam suatu masyarakat, kesabaran harus
didahulukan seperti dicontohkan Tuhan. Sesungguhnya para nabi pun meniru
kekuatan dialog yang diperkenalkan Tuhan. Para nabi sering mendekati umat
dengan kekuatan dialog, sebagaimana bisa dilihat di dalam kisah-kisah nabi
dan rasul.
Pelajaran lain bisa dipetik dari kisah Nabi
Nuh. Ia berdakwah selama 950 tahun, tetapi pengikutnya bisa dihitung dengan
jari. Akhirnya ia berdoa agar Allah SWT menggunakan kekuatannya sehingga
umatnya binasa, selain yang naik di atas perahu mereka. Ini pula yang membuat
Nabi Nuh menyesal seumur hidup sampai di hari Padang Mahsyar karena
kesabarannya masih memiliki batas, tidak seperti yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW.
Nabi Hud yang dikisahkan di dalam Surah
Al-A’raf juga menunjukkan dialog interaktif dengan para tokoh dan pemimpin
masyarakatnya. Nabi Shaleh, Nabi Syuaib, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,
dan Nabi Muhammad, diabadikan dialog panjangnya dengan umatnya. Dalam dialog
nabi dengan umatnya, tidak jarang nabi ‘mengalah’ terhadap tuntutan umat.
Para sahabat nabi dan penerusnya juga terus
mengedepankan dan mengembangkan dialog. Akhirnya satu per satu
wilayah-wilayah Timur Tengah mempercayai Islam sebagai agamanya, yang dalam
sejarah Islam disebut futuhat. Hal yang sama juga telah dilakukan para Wali
Songo ketika pertama kali menganjurkan Islam di Kepulauan Nusantara. Pertama
kali mereka melakukan dialog dengan raja-raja lokal dengan menunjukkan
akhlaqulkarimah, sambil berdagang dan berdakwah.
Kekuatan dialog menjadi ciri khas mereka.
Tidak pernah bosan berdialog bahkan dihujat dan dimaki sesuatu yang biasa
bagi mereka yang memiliki jiwa besar. Kebiasaan untuk berdialog merupakan
latihan untuk memiliki jiwa besar dan dada yang lapang. Orang yang tidak
biasa dan tidak mau berdialog, hatinya kecil, nyalinya kerdil, dadanya
sumpek, dan pikirannya sempit. Bahkan, orang-orang yang antidialog cenderung
memilih jalan pintas, termasuk menggunakan kekerasan, bahkan dengan cara
terorisme dalam mencapai tujuan. Justru hal ini tidak pernah dicontohkan
dalam setiap agama.
Rahasia kesuksesan para Nabi bukan melalui
peperangan atau kekerasan, melainkan pada umumnya melalui jalan dialog.
Daripada ribut di media sosial, saling hujat, lebih baik ditempuh dialog,
minimum dialog interaktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar