Jangan
Biarkan Perempuan Berjuang Sendirian
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan
toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
22 Desember
2017
Berbicara tentang
pengarusutamaan keadilan untuk perempuan tidak tampak semudah yang ada pada
mimbar orasi. Jalan tengah perspektif keadilan hakiki dan timbal balik
(mubaadalah) dalam relasi gender juga tidak sesederhana mengambil sikap pro
atau anti pada diskursus feminisme. Atau, setidaknya, sebelum gencar
berteriak pro atau anti, realitas seharusnya jadi dasar pijakan paling utama
dari sebuah pemecahan masalah atau kesimpulan.
Spektrum masalah perempuan
masih terlalu luas. Persoalan perempuan desa berbeda dengan perempuan kota.
Apalagi masa kini, banyak teori semakin membuat kabur makna antara desa dan
kota. Desa, katanya sudah tidak ada lagi. Dulu, perempuan adalah pewaris aset
keluarga berupa sawah, sehingga ia adalah pemilik aset sekaligus pelaku
produksi. Ketika modernitas melibas hikmah hidup agraris, keluarga desa
menjual aset tanah dan sawah kepada pengembang.
Yang luput terpikir adalah
bukan hanya tanah dan sawah yang hilang, tetapi sekaligus pola hidup yang
kalang kabut. Struktur masyarakat industri membutuhkan peran manusia sebagai
mekanik yang mengoperasikan mesin. Pada bagian ini, laki-laki kemudian lebih
mendapat kesempatan di sektor produksi sebab sejak lama kebutuhan akan
pendidikan lebih dipercayakan kepadanya. Perempuan desa dengan ekonomi lemah
pada akhirnya mengisi peran sebagai buruh pabrik, buruh migran, pekerja
wilayah domestik, atau pekerja seks komersial, dengan nominal gaji separuh dari
standar penghasilan laki-laki karena peran perempuan yang dianggap
komplementer.
Isu perempuan dalam
ekstremisme agama juga mengalami pergeseran tradisi. Kelompok ekstremis
beragama mengenal istilah jihad kabir (besar) dan jihad saghir (kecil). Jihad
besar adalah jihad dengan mempertaruhkan nyawa di medan perang wilayah
konflik yang biasanya diambil peran oleh laki-laki. Sedangkan jihad kecil
adalah jihad khas terkait peran perempuan untuk melahirkan anak, terutama
anak lelaki yang kelak menjadi pelaku jihad kabir, serta bersikap sabar
ketika suami pergi berjihad.
Belakangan, publikasi
Rumah KitaB berjudul Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang Perempuan dan
Fundamentalisme di Indonesia menjelaskan bahwa para perempuan dalam komunitas
ekstremis semakin banyak yang mengambil peran jihad kabir karena merasa
kehadiran dan eksistensinya dalam dunia jihad kurang diakui.
Akan tetapi, isu dan
persolaan perempuan sering tidak dilihat berdasarkan realitas. Mengapa zaman
menuntut perempuan bekerja, perempuan melawan pasangannya, perempuan meminta
keadilan pada hak-haknya, selalu saja dihalau dengan teks terlebih dulu.
Ujungnya, potret perempuan yang melawan jatuh kepada stigma tidak mulia, lalu
dihukumi haram, neraka, dan tidak bermoral.
Faktanya, sakralitas teks
dan sakralitas tokoh adalah problem utama peradaban Islam. Martin van
Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (2012) menyebut
nama Syekh Nawawi Banten sebagai seorang ulama yang memiliki pengaruh kuat
dalam tradisi pesantren karena kiprahnya menulis banyak kitab berbahasa Arab
rujukan pesantren. Tema kitab mencakup berbagai disiplin pengetahuan dalam
kajian keilmuan Islam, seperti akidah, tasawuf, fikih, tafsir, bahasa dan
ilmu hadist. Sekitar 26 kitab karyanya beredar di pesantren-pesantren
Indonesia, 11 di antaranya menjadi bagian dari 100 kitab terpenting. Satu di
antara yang terkenal adalah kitab Uqud Al Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zawjain
(selanjutnya kita singkat KUL).
Zaman telah bergerak maju.
Semangat kedirian dan kepemimpinan perempuan makin terbentuk, tetapi KUL
masih diajarkan di hampir semua pesantren tradisional di Indonesia dengan
tafsir lama yang tidak berkesesuaian dengan napas zaman. Dalam KUL, peran
utama perempuan adalah ketaatan total pada suami, berperilaku baik dan menyenangkan,
bersedia penuh melayani kebutuhan biologis suami, bersabar atas perangai
buruk suami, tunduk dan rendah hati, tidak melakukan aktivitas tanpa seizin
suami, tidak melakukan kontak dengan yang lain, tidak membangkitkan amarah,
tidak menyusahkan dan tidak meminta materi di atas kemampuan sang suami.
Fikih Islam seharusnya mau
mendengar perempuan terlebih dahulu sebagaimana sikap Rasulullah SAW
mendengar alasan Sayyidah Fatimah bahwa bagaimana pun poligami akan menyakiti
diri perempuan sehingga Rasul melarang Ali berpoligami. KUL, seiring zaman
yang mengubah tata politik, sosial dan ekonomi, harusnya memberi ruang kepada
konteks tafsir kesabaran yang dibebankan kepada perempuan, ruang penolakan,
hingga fikih perlawanan yang boleh dilakukan perempuan dalam upaya
perlindungan diri atau protes.
Mengapa hal ini penting?
Pada 18 Juni 2015, misalnya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan untuk
menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia. Dua
penggugat, yakni Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak
menghendaki batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan ditingkatkan dari
16 tahun menjadi 18 tahun.
Jika semata merujuk kepada
teks, perempuan memang boleh dinikahkan setelah mendapatkan menstruasi.
Tetapi, kita mengenal istilah akil baligh. Jika baligh merujuk kepada
kedewasaan biologis yang ditandai dengan sejumlah perubahan pada tubuh
laki-laki maupun perempuan, maka akil adalah kemampuan yang melingkupi aspek
kedewasaan emosi, intelektual serta spiritual yang sulit diukur tetapi justru
aspek inilah yang paling penting dalam pernikahan.
Sensus nasional hasil
kerja sama dengan UNICEF pada 2012 menunjukkan, satu dari empat anak
perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan 50% dari angka pernikahan dini
itu berujung pada perceraian. Selain perceraian, menurut Lies Marcoes,
perkawinan dini juga berdampak kepada kekerasan dalam rumah tangga, penyakit
organ reproduksi, dan angka kematian ibu melahirkan. Jika teks hanya
menimbang tesis "menghindari zina", maka realitas menimbang banyak
hal soal masa depan, sebab penindasan sama sekali bukan kodrat yang harus
kita aminkan.
Kongres Perempuan Pertama
yang kita peringati sebagai Hari Ibu tiap 22 Desember sesungguhnya telah
menyampaikan amanat penolakan pernikahan dini, penolakan poligami, penolakan
diskriminasi atas perempuan, penolakan pembatasan akses pendidikan dan
pekerjaan terhadap perempuan. Betapa majunya pemikiran kaum perempuan
Indonesia sejak 1928 silam.
Sayangnya, dalam seminar,
lokakarya maupun kongres, hingga hari ini, hampir 90 tahun sesudah Kongres
Perempuan Pertama, bahasan soal perempuan sering hanya sebatas topik.
Perlakuan itu membuat perempuan seolah eksklusif, padahal yang terjadi justru
fakta bahwa perempuan memang masih marjinal.
Dr. Nur Rofiah Bil. Uzm,
salah seorang penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI 2017)
menegaskan bahwa menjadikan perempuan sebagai topik diskusi berbeda dengan
menjadikan perempuan sebagai metode berpikir atau perspektif. Dalam koridor
kedua, sebuah kelompok atau institusi yang berisikan laki-laki maupun
perempuan boleh berbicara apa saja soal pembangunan, politik, ekonomi sampai
sosial budaya, namun melibatkan perspektif perempuan sebagai subjek ketika
memutuskan sebuah kebijakan.
Selamat Hari Perempuan dan
Hari Ibu. No one left behind, rangkul bersama, jangan ada satu perempuan pun
yang kita biarkan berjuang sendirian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar